Rabu, 09 Juli 2014
WUDHU MADZHAB LENGKAP(VENA VULVENA)
1. Menurut Ulama mazhab Hanafi: menyentuh (persentuhan kulit lelaki dengan wanita) semata tidaklah membatalkan wudhu, tetapi yang membatalkan ialah “bertemunya kemaluan lelaki dengan perempuan tanpa penghalang”. Hal ini berdarkan hadits:
Dari Aisyah r.a : “Rasulullah saw.mencium sebagian isteri-isterinya, lalu sholat tanpa berwudhu lagi”. (Hadits Ahmad dan Arbaah dengan sanad dan para perawinya dapat di percaya)
Dari Aisyah r.a : “Bahwa Rasulullah saw. menciumnya dan saat itu beliau sedang berpuasa. Lalu sabdanya :’Ciuman itu tidak merusak wudu dan tidak pula membatalkan puasa’.” (Dikeluarkan oleh Ishaq bin Rahawaih dan Bazzar dengan sanad cukup baik)
Dari Aisyah r.a : “ Pada suatu malam, aku kehilangan Rasulullah saw. dari tempat tidur, lalu aku mencarinya dan kebetulan tanganku menuentuh telapak kakinya yang tegak karena beliau sedang sujud”. (Hadits riwayat Muslim dan Tirmizi yang mensahkannya.
Mengenai firman ALLOH swt. Di surat an-Nisa ayat 43 yang berbunyi (atau jika kamu menyentuh wanita), maka yang dimaksud dengan ‘menyentuh’ di sini adalah ‘bersenggama’. Maksud ini di riwayatkan dari Ali dan Ibnu Abbas. Diterima dari Ubaid bin Humaid, bahwa ibnu Abbas menafsirkan kata al-musalamah dalam ayat tersebut secara demonstrative, ia memasukkan jari telunjuk ke dalam telinganya seraya berkata: ‘Ketahuilah bahwa arti kata itu ialah an-naik, bersetubuh’.
2. Menurut ulama mazhab Syafii : berpendirian bahwa wudu menjadi batal disebabkan bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan, dengan syarat orang yang disentuh itu bukan anak kecil dan bukan muhrim serta antara keduanya tidak terdapat penghalang, dan tidak batal karena menyentuh rambut, gigi, atau kuku, karena menyentuh semua itu tidak akan menimbulkan suatu rangsangan atau perasaan negative. Hal ini berdasarkan arti harafiah dari ayat au lamastumun nisa’ di atas, dan karena ibnu Mas’ud membacanya au lamastumun nisa; (tanpa membaca huruf panjang huruf lam, sehingga artinya: atau kamu menyentuh wanita)
Juga berdasarkan penjelasan Umar r.a:’Ciuman seseorang kepada isterinya atau menyentuhnya dengan tangan termasuk mulamasah. Maka barang siapa mencium isterinya atau menyentuhnya dengan tangan, hendaklah dia berwudu”.(Diriwayatkan oleh Darraqutni dalam sunannya, juga ia meriwayatkan penjelasan serupa dari ibnu Mas’ud)
3. Menurut ulama mazhab Maliki dan Hambali: Dalam hal ini, menempuh jalan kompromi antara berbagai dalil yang ada. Mereka berkata, persentuhan kulit dengan lawan jenis, sekalipun muhrim, membatalkan wudu jika perbatan ini dilakukan dengan sengaja untuk mendapatkan kenikmatan atau ia merasa nikmat. Tetapi jika tidak disengaja, tidaklah membatalkan wudu. Disamping itu mazhab Maliki mensyaratkan adanya ‘rasa nikmat’, sehingga jika rasa ini tiada maka persentuhan tidaklah membatalkan wudu. Karena itu pada hemat mereka, menyentuh anak remaja yang ganteng sama halnya dengan menyentuh wanita; sebaliknya menyentuh atau persentuhan dengan orang tua pikun yang sudah tidak mempunyai nafsu seksual lagi tidak membatalkanseperti halnya menyentuh anak kecil.
Hanafiyyah
Menurut mazhab ini, sentuhan dengan lawan jenis mutlak tidaklah membatalkan wudhu, baik karena syahwat ataupun tidak. [9]
Malikiyyah dan Hanabilah
Menurut kedua mazhab ini menyentuh lawan jenis tidaklah membatalkan wudhu, asalkan tidak diiringi dengan syahwat. Tetapi bila sentuhan itu karena syahwat, maka wudhunya menjadi batal. [10]
Syafi’iyyah
Mazhab ini menetapkan sentuhan seseorang dengan wanita ajnabi yang bukan mahram, baik diiringi dengan syahwat atau tidak, maka hal tersebut membatalkan wudhu.
Meskipun yang disentuh adalah jenazah, atau wanita yang sudah tua. Namun, apabila yang disentuh adalah rambut, gigi atau kuku, maka hal tersebut tidaklah membatalkan wudhu. [11]
Demikian perbedaan pendapat para ulama dalam masalah ini. Silahkan kita memilih pendapat yang kita yakini sebagai pendapat yang paling tepat, tanpa disertai sikap menyalahkan dan merendahkan pendapat yang berbeda.
Adapun menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan penulis kitab Fiqh Islami wa Adillatuhu, yakni Syaikh Wahbah Zuhaili, mereka memandang bahwa pendapat yang menyatakan hanya sentuhan yang disertai syahwat saja yang membatalkan wudhu sebagai pendapat yang paling rajih (kuat) dan moderat. [12]
• Menyentuh
Syafi’i: kalau orang-orang yang berwudhu itu menyentuh wanita lain tanpa ada aling-aling (batas), maka wudhunya batal, tapi kalau bukan wanita lain, seperti saudara wanita maka wudhunya tidak batal.Syafi’iyah : Mereka berpendapat bahwa menyentuh wanita bukan mahram itu membatalkan wudhu secara mutlak sekalipun tanpa merasakan nikmat, sekalipun lelakinya itu lemah tua dan wanitanya lemah tua juga dan tidak berwajah menarik. Namun mereka memperkecualikan rambut, gigi, dan kuku yang tidak membatalkan wudhu jika tersentuh antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram[9].
Hanabillahberpendapat bahwa menyentuh wanita dengan tanpa ada penghalang dan dengan sahwat membatalkan wudhu. Baik itu wanita muhrimnya atau bukan muhrimnya, baik itu yang disentuh hidup atau sudah mati, baik itu yang disentuh wanita mudah, tua atau anak perempuan kecil. Hal ini juga berlaku pada perempuan, apabila perempuan meyentuh laki-lak dengan sahwat maka wudhunya batal. Tidak membatalkan wudhu apabila menyentuh kuku, rambut dan gigi.
Untuk yang disentuh hanabilah berpendapat bahwa wudhu orang yang disentuh tidak batal walaupun dalam dirinya terdapat sahwat. Dan tidak membatalkan wudhu juga laki-laki menyentuh laki-laki (walaupun amrod), perempuan menyentuh perempuan, banci menyentuh banci meskipun kesemuanya itu timbul rasa sahwat.
Malikiyah berpendapat : apabila orang yang wudhu menyentuh perempuan dengan tangganya atau dengan anggota badanya maka wudhunya batal dengan syarat bertemunya kulit antara yng menyentuh dengan yag disentuh. Dan syarat bagi orang yang menyentuh adalah udah baligh yang mana dalam menyentuh tersebut bertujuan untuk kenikmatan meskipun dalam menyentuhnya tidak ada rasa nikmat, atau tidak bertujuan mencari kenikmatan tetapi dalam menyentuh mendapatkan kenikmatan dan yang disentuh tidak memakai satir (aling-aling) atau yang disentuh menggunakan satir yang tipis, apabila yang disentuh menggunakan satir yang tebal maka wudhunya tidak batal.
Tidak membatalkan wudhu menyentuh anak wanita yang kecil yang tidak menimbulkan sahwat, dan tidak batal wudhunya menyentuh wanita yang tua. Adapun menyentuh rambut seorang wanita dengan tujuan mencari kenikmatan atau tudak bertujuan mencari kenikmatan akan tetapi dia menemukanya ketika menyentuh maka wudhunya batal.
Ruang lingkup menyentuh yang dapat membatalkan wudhu dalam madzhab malikiyah adalah menyentuh dengan tujuan mencari kenikmatan, atau tidak mencari kenikmatan tapi menemukanya dalam menyentuh maka wudhunya batal, tidak peduli istrinya sendiri atau pemuda amrod. Akan tetapi kalau yang disentuh adalah muhrimnya sendiri, seperti saudara perempuanya, anak perempuanya, bibinya dan orang yang menyentuh adalah orang mudah sahwat, tapi ketika menyentuh tidak ada kenikmatan maka wudhunya tidak batal. Akan tetapi kalau yang disentuh itu bukan mahramnya maka wudhunya batal.
Sama halnya dengan menyentuh (dalam madzhab maliki) adalah mencium dengan bibir, maka wudhunya batal secara muthlaq meskipun tujuanya tidak mencari kenikmatan dan tidak dalam menciumnya tidak menemukan kenikmatan.
Mencium dengan tujuan kasih sayang tidak membatalkan wudhu, akan tetapi dikembalikan lagi pada tujuanya, apabila tujuanya tidak mencari kenikmatan maka wudhunya tidak batal, apabila tujuanya mencari kenikmatan maka wudhunya batal.
Kesemuanya ini adalah untuk yang menyentuh, adapun syarat bagi yang disentuh adalah baligh,dan apabila dia disentuh menemukan rasa nikmat maka wudhunya batal. Atau dia menyengaja untuk disentuh dengan tujuan mencari kenikmatan maka wudhunya batal, dalam hal ini ( menyengaja untuk disentuh) dia seperti orang yang menyentuh dan hukumnya seperti orang yang menyentuh seperti yang tertera diatas.
Wudhu tidak batal karena memikirkan (menghayal) sesuatu yang bisa menimbulkan rasa enak (sahwat), atau sebab melihat sesuatu yang bias menimbulkan rasa nikmat. Akan tetapi kalau dia memikirkan tersebut sampai dia keluar madzi, maka wudhu batal. ( batalnya wudhu karena keluar madzi bukan karena memikirkan/ menghayal). Begitu pula kalau dia memimikirkan/ menghayal tersebut sampai keluar mani, maka dia wajib mandi karena sebab keluar mani.
Hanafiyah berpendapat bahwa menyentuh dengan menggunakan anggota badan manapun tidak membatlakan wudhu baik bagi yang disentuh maupun yang menyentuh malaupun kedua-duanya bugil.
Seperti misalkan seorang laki-laki tidur bersama istrinya dalam satu ranjang dan kedua-duanya bugil maka wudhu kedua-duanya tidak batal, kecuali dalam dua hal: yang pertama apabila dari keduanya keluar sesuatu seperti madzi atau yang lainya maka wudhunya batal. Yang kedua sisuami menaruh kemalunya kepada kemaluan istrinya.[10]
Dari sini dapat disimpulkan dalam pembahasan menyentuh terdapat perbedaan para imam madzhab, ketika menentukan hukum menyentuh hanafiyah sangat berbeda dengan imam-imam yang lain. Malikiyah dalam masalah menyentuh ruang lingkupnya pada menyengaja mendapat kenikmatan atau menemukan kenikmatan ketika menyentuh. Sedangkan syafiiyah dan hanabilah terdapat perbedaan pendapat dalam menyentuh perempuan tua yang tidak menimbulkan sahwat. Syafi’iyah berpendapat tidak membatalkan wudhu, sedangkan hanabilah membatalkan wudhu. Begitu pula para imam madzhab berbeda dalam menyentuh amrod yang jamil, malikiyah berpendapat membatalkan wudhu, sedangkan syafi’iyah dan hanabilah tidak membatalkan wudhu. Dalam menyentuh rambut, malikiyah berpendapat apabila laki-laki menyentuh rambut perempuan wudhunya batal apabila menyengaja untuk mencari kenikmatan atau tidak dengan tujuan mencari kenikmatan tapi dalam menyentuh dia menemukan kenikmatan maka wudhunya batal. Akan tetapi bagi wanita yang disentuh rambutnya wudhuya tidak batal, tetapi menurut hanabilah dan syafi’iyah mereka berpendapat menyentuh rambut tidak batal wudhunya.
Hanafi: wudhu itu tidak batal kecuali dengan menyentuh, di mana sentuhan itu dapat menimbulkan ereksi pada kemaluan.
Imamiyah: menyentuh itu tidak membatalkan wudhu secara mutlak. Ini kalau sentuhan itu pada wanita. Begitu pula orang yang berwudhu itu menyentuh kemaluanya, baik anus maupun qubulnya tanpa ada aling-aling maka menurut Imamiyah dan Hanafi: ia tidak membatalkan wudhu.
Syafi’I dan Hambali: menyentuh itu dapat membatalkan wudhu secara mutlak, baik sentuhan dengan telapak tangan maupun dengan belakangnya.
Maliki: ada hadis yang diriwayatkan oleh mereka, yang membedakan antara menyentuh dengan telapak tangan. Yakni, jika ia menyentuh dengan telapak (bagian depan), maka membatalkan wudhu, tapi jika menyentuh dengan belakangnya tidak membatalkan wudhu.[11]
• Muntah
Menurut Hambali: ia dapat membatalkan wudhu secara mutlak, tapi menurut Hanafi: ia dapat membatalkan wudhu kalau sampai memenuhi mulut. Sedangkan menurut syafi’I, Imamiyah dan Maliki: ia tidak membatalkan wudhu.[12]
Hanabilah berpendapat sesuatu yang keluar dari tubuh manusia yang mana keluarnya selain dari qubul atau dubur itu bisa membatalkan wudhu dengan syarat yang keluar itu banyak. Untuk batasan yang keluar itu banyak atau sedikit itu dikembalikan kepada urf. Seperti contoh muntah-muntah apabila muntah-muntah itu keluanya banyak menurut urf (kebiasaan) maka muntah-muntah tersebut membatalkan wudhu, apabila sedikit maka tidak membatalkan wudhu.[13]
• Darah dan nanah
Sesuatu yang keluar dari badan bukan dari dua jalan (qubul dan dubur), seperti darah, dan nanah, maka menurut Imamiyah, Syafi’I dan Maliki: ia tidak membatalkan wudhu. Hanafi: ia dapat membatalkan wudhu, jika mengalirdari tempat keluarnya.
Hambali: Ia dapat membatalkan wudhu dengan syarat darah dan nanah yang keluar itu banyak.[14]
• Tertawa
Tertawa itu dapat membatalkan sholat, menurut kesepakatan semua kaum muslimin, tetapi tidak dapat membatalkan wudhunya ketika waktu sholat, maupun diluarnya kecuali menurut Hanafi.
Hanafi: dapat membatalkan wudhu karena ketawanya itu sampai terbahak-bahak didalam sholat, tetapi diluar sholat tidak membatalkan wudhu.Hanafiyah : Mereka berpendapat bahwa tertawa terbahak-bahak ketika shalat dapat membatalkan wudhu’. Hal itu telah banyak ditegaskan dalam beberapa hadits. Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ath Thabrani dari Abu Musa, beliau berkata : Ketika Rasulullah shalat bersama orang-orang, tiba-tiba ada seorang lelaki yang masuk, kemudian ia terjatuh ke dalam lubang yang terdapat didalam mesjid, ia adalah seorang yang buta, maka banyak diantara mereka yang tertawa sedangkan mereka dalam keadaan shalat. Kemudian Rasulullah SAW menyuruh mereka yang tertawa untuk berwudhu kembali dan mengulangi shalatnya.
Yang dimaksud tertawa terbahak-bahak adalah tertawa yang mengeluarkan suara yang dapat terdengar oleh orang di sekitarnya. Namun bila tertawanya hanya bias di dengar oleh dirinya sendiri, maka wudhunya tidak batal, akan tetapi shalatnya batal karenanya. Tertawa terbahak-bahak, dalam shalat hanya akan membatalkan wudhu, manakala orang tersebut sudah baligh, baik laki-laki maupun perempuan, dan baik sengaja maupun tidak sengaja.[15]
• Memakan Daging Unta dan Memandikan Jenazah
Memakan daging unta dan sebab memandikan jenazah, imam mujtahid juga sepakat tidak membatalkan wudhu. Kecuali hanabilah berpendapat bahwa memakan daging unta dan sebab memanikan jenazah membatalkan wudhu.[16]
• Darah Haid
Al’allamah Al-Hilli dalam bukunya al-Tadzkirah menjelaskan, beliau termasuk salah seorang ulama besar ahli fiqih dari kalangan Imamiyah: Darah Haid itu kalau sakit, ia wajib berwudhu, begitulah menurut pendapat ulama kami, kecuali Ibnu Abi ‘Uqail. Sedangkan menurut Maliki: bagi orang yang Haid tidak di wajibkan berwudhu.[17]
• Ø Menyentuh Dzakar
Hanafiyah : berpendapat bahwa menyentuh dzakar tidaklah membatalkan wudhu sekalipun dengan syahwat. Baik dengan menggunakan telapak tangan ataupun dengan bagian dalam jemari tangannya.
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :
من مس ذ كره فليتوضأ
Artinya : “Barang siapa menyentuh dzakarnya, maka hendaklah ia berwudhu.”
Malikiyah : Mereka berpendapat bahwa wudhunya itu dapat batal disebabkan menyentuh dzakar dengan beberapa syarat berikut :
1. Orang yang menyentuh dzakarnya sendiri maupun dzakar orang lain.
2. Orang tersebut baligh, walaupun ia adalah seorang banci. Maka wudhu seorang anak kecil tidaklah batal akibat sentuhan itu.
3. Sentuhan itu tanpa pengahalang
4. Sentuhan itu dilakukan dengan menggunakan bagian dalam telapak tangan, atau bagian tepi telapak tangan, atau bagian dalam jemari tangan, atau bagian tepi jemari tangan, atau ujung jari sekalipun jari itu adalah jari lebih (yaitu) bila jari lebih itu sama dengan salah satu jari aslinya dalam menangkap rasa dan dalam berbuat. Maka wudhu itu tidak batal apabila ia menyentuh dzakarnya dengan anggota badan lainnya, seperti menyentuh dengan pahanya atau dengan lengan tangannya.
Syafi’iyah : mereka berpendapat bahwa wudhu itu dapat batal dengan menyentuh dzakar dengan menyentuh tempat potongannya (tempat sunatannya), dengan syarat berikut :
1. Tidak ada suatu penghalang.
2. Sentuhan itu dilakukan dengan menggunakan telapak tangan atau jemari tangan bagian dalam. Maksudnya, adalah bagian yang tertutup disaat kedua tangan itu dirapatkan satu sama lainnya dengan sedikit ditekan. Sehingga, menyentuh dzakar dengan menggunakan bagian pinggir telapak tangan atau ujung jemarinya dan dengan menggunakan bagian yang terdapat antara pinggir telapak tangan dan ujung jemarinya tidak membatalkan wudhu.[18]
• Ø Murtad
Hanafiyah : Mereka berpendapat bahwa wudhu itu tidak batal disebabkan karena murtad. Walaupun murtad itu dapat menghapus semua amal keagamaan yang banyak dan menggugurkan semua perbuatan yang berbentuk pengorbanan harta dan sebagainya.
Syafi’iyah : Murtad itu tidak membatalkan wudhu bila orang itu murtad dalam keadaan sehat dari penyakit beser dan semacamnya. Sedangkan bila orang itu beser, maka wudhunya batal dengan sebab murtad, karena kesuciannya itu lemah.[19]
1. B. Sebab-sebab Batalnya Wudhu Menurut Imam Ja’far Shadiq.
Imam Shadiq berkata, “Tidak ada yang mewajibkan wudhu kecuali : buang air besar, kencing, atau keluar angin yang kamu dengar suaranya atau kamu cium baunya.” Dan beliau berkata juga, “Adakalanya mata itu tidur, tapi hati dan telinga tidak ikut tidur. Jika mata, telinga, dan hati semuanya tidur, maka wajib wudhu.” Dalam riwayat ketiga, beliau berkata, “Yang menghilangkan wudhu adalah : buang air besar, kencing, keluar angin, keluar mani, dan tidur yang menghilangkan akal.” Dalam riwayat keempat, “Tidak ada yang menghilangkan wudhu kecuali hadas dan tidur.” Dan tidak diragukan bahwa junub, haid, istihadhah, dan nifas tergolong hadas[20].
Secara globlal dapat disebutkan bahwa riwayat-riwayat diatas dan riwayat-riwayat lainnya menunjukkan bahwa wudhu diwajibkan karena : buang air besar, buang angin, kencing, junub, haid, istihadhah, nifas, dan tidur yang menghilangkan pendengaran dan akal. Adapun hilangnya akal karena mabuk, gila, dan pingsan maka kewajiban wudhu pada kasus-kasus ini didasarkan pada ijma’, bukan nash. Karena itu, sesudah menukil hadis-hadis yang membatalkan wudhu, pengarang al-Wasail berkata, “Hadis-hadis yang menjelaskan batalnya wudhu menunjukkan bahwa hilangnya akal tidak membatalkan wudhu. Tapi itu cocok dengan ihtiyath.” Hal-hal yang menghilangkan wudhu adalah juga yang mewajibkannya., karena ia merusak dan membatalkan wudhu.
Dari penjelasan diatas jelas bagi kita bahwa keluarnya cacing, batu, darah, madzi, wadhi, dan muntah, juga mencium, menyentuh, dan sebagainya, semua itu tidak mewajibkan wudhu dan tidak merusaknya.
________________________________________
[1] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, hal
[2] Ibid, hal
[3] Abdul Rahman Al jaziri, kitabul fiqhi fi Madzahibu al arba’ah (bairut Lebanon, darul fikr, 1996) cetakan pertama,hal 76
[4]Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, hal
[5] Abdurrahman Al-Jaziri, Al Fiqh ‘Ala Al Mazahib Al Arba’ah, hal 76
[6]Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, hal
[7] ibid
[8]Abdurrahman Al-Jaziri, Al Fiqh ‘Ala Al Mazahib Al Arba’ah, hal 75
[9]Ibid, hal 77
[10]Ibid, 78-79
[11] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, hal
[12] Ibid
[13] Abdurrahman Al-Jaziri, Al Fiqh ‘Ala Al Mazahib Al Arba’ah, hal 82
[14] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, hal
[15] Ibid
[16]Abdurrahman Al-Jaziri, Al Fiqh ‘Ala Al Mazahib Al Arba’ah, hal 83
[17]Muhammad
C. BERSENTUHAN LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN
Sentuhan dalam bahasa Arab disebut dan
Oleh syafi’iyah dan hanabilah kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama. Berbeda dengan Hanafiyah dan Malikiyah, kedua istilah tersebut mempunyai pengertian tersendiri.
a. Hanafiyah berpendapat bahwa persentuhan kulit laki-laki dengan perempuan tidak membatalkan wudhu’.
b. Hanafiyah mendaarkan mazhab mereka kepada hadits Aisyah:
“Rasulullah mencium sebagian istri-istrinya, lalu sholat tanpa wudhu’ lagi” (HR: Ahmad dan empat Ahli Hadits).
Juga berdasarkan hadits Aisyah:
“Sesunggguhnya Rasulullah SAW menciumnya dan saat itu beliau sedang puasa lalu beliau bersabda: ciuman ini tidak membatalakan wudhu’ dan tidak pula membatalakan puasa”. ( Dikeluarkan oleh Ishak bin Rahawaih dan Bazzar)
Mengenai firman Allah dalam surat an-Nisa’: 43 yang berbunyi:
(atau jika kamu menyentuh wanita).
Maksudnya adalah “bersenggama”, kata kiasan dari (sentuh menyentuh). Pengertian ini diriwayatkan dari Ali dan Ibnu Abbas. Berdasarkan berita yang diterima dari Ubaid bin Humaid, bahwa Ibnu Abbas menafsirkan kata dalam ayat tersebut dengan “bersenggama=bersetubuh”. [2]
Malikiyah berpendapat bahwa apabila seseorang menyentuh orang lain dengan tangannya atau dengan angota badan lainnya, maka wudhu’nya batal dengan beberapa syarat:
Persyaratan bagi yang menyentuh adalah , dia suadah baligh dan bermaksud merasakan nikmat atau ada rangsangan dalam dirinya. Orang yang disentuh, wudhu’nya menjadi batal , apabila kulitnya disentuh tanpa ada batas penghalang seperti kain, ataupun batasnya ada tetapi terlalu tipis. Persyaratan lain bagi yang disentuh adalah oadalah orang yang dapat mengundang syahwat atau ada rangsangan, bersentuhan dengan gadis kecil tidak membatalkan wudhu’. Demikian juga wudhu’ tidak batal jika menyentuh wanita tua yang tidak mengundang syahwat.
Jadi hal yang menjadi persoalan inti dalam mazhab Malik ini adalah adanya rangsangan (syahwat), baik bagi yang menyentuh maupun yang disentuh.
c. Syafi’iyaH berpendapat bahwa menyentuh wanita bukan mahram akan membatalkan wudhu’ secara mutlak walaupun tiodak merasakan nikmat. Apakah laki-laki dan wanita itu sudah berusia lanjut atau masih muda.
Oleh golongan Syafi’iyah dikatakan wudhu’ menjadi batal apabila sentuhan itu langsung dengan kulit, dan tidak ada batas penghalang seperti kain. Syafiiyah mengecualikan menyentuh rambut kuku dan gigi tidak membatalkan wudhu’.
Menurut Syafi’iyah wudhu’ juga menjadi batal apabila menyentuh mayat, karena golongan ini tidak melihat pada adanya rangsangan atau tidak seperti pada golongan Malikiyah.
d. Hanabilah berpendapat bahwa wudhu’ seseorang menjadi batal apabila bersentuhan disebabkan adanya syahwat dan tanpa batas penghalang. Golongan ini tidak membedakan wanita mahram atau tidak, hidup atau mati, tua atau muda, besar atau kecil.
5. Menyentuh
Imam Syafi’I mengatakan kalau orang berwudhu itu menyentuh wanita lain tanpa adanya aling-aling (batas), maka wudhunya batal, tapi kalau bukan wanita lain seperti saudara wanita maka wudhunya tidak batal.
Menurut Imam Hanafi : wudhu itu tidak batal kecuali dengan menyentuh, dimana sentuhan itu dapat menimbulkan ereksi pada kemaluan.
Menurut Imamiyah : menyentuh itu tidak dapat membatalkan wudhu secara mutlak. Ini kalau sentuhan itu pada wanita. Begitu pula orang yang berwudhu itu menyentuh kemaluannya, baik anus maupun qubulnya tanpa adanya aling-aling, maka menurut Imamiyah dan Hanafi ia tidak membatalkan wudhu.
Syafi’i dan Hambali mengatakan bahwa menyentuh itu dapat membatalkna wudhu secara mutlak, baik sentuhan dengan telapak tangan maupun dengan belakangnya.
Imam Malik mengatakan : ada hadits yang diriwayatkan oleh mereka, yang membedakan antara menyentuh dengan telapak tangan. Yakni, jika ia menyentuh dengan telapak tangan (bagian depan) maka membatalkan wudhu, tetapi jika menyentuh dengan belakangnya tidak membatalkan wudhu.
Hadits Nabi :
مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَ ضَّأ
Artinya :”Barang siapa menyentuh kemaluannya, maka hendaklah ia berwudhu”. [8])
Rasionalisai : penulis berpendapat bahwa apabila kita sudah berwudhu kemudian menyentuh wanita yang bukan muhrim dan tanpa aling-aling, maka dapat membatalkan wudhu, kecuali dalam keadaan darurat tidak membatalkan wudhu. Sedangkan untuk menyentuh kemaluan sendiri, hal itu dapat membatalkan wudhu baik memakai telapak tangan ataupun punggung tangan.
Menurut ulama mazhab Syafii : berpendirian bahwa wudu menjadi batal disebabkan bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan, dengan syarat orang yang disentuh itu bukan anak kecil dan bukan muhrim serta antara keduanya tidak terdapat penghalang, dan tidak batal karena menyentuh rambut, gigi, atau kuku, karena menyentuh semua itu tidak akan menimbulkan suatu rangsangan atau perasaan negative. Hal ini berdasarkan arti harafiah dari ayat au lamastumun nisa’ di atas, dan karena ibnu Mas’ud membacanya au lamastumun nisa; (tanpa membaca huruf panjang huruf lam, sehingga artinya: atau kamu menyentuh wanita)
Juga berdasarkan penjelasan Umar r.a:’Ciuman seseorang kepada isterinya atau menyentuhnya dengan tangan termasuk mulamasah. Maka barang siapa mencium isterinya atau menyentuhnya dengan tangan, hendaklah dia berwudu”.(Diriwayatkan oleh Darraqutni dalam sunannya, juga ia meriwayatkan penjelasan serupa dari ibnu Mas’ud)
Menurut ulama mazhab Maliki dan Hambali: Dalam hal ini, menempuh jalan kompromi antara berbagai dalil yang ada. Mereka berkata, persentuhan kulit dengan lawan jenis, sekalipun muhrim, membatalkan wudu jika perbatan ini dilakukan dengan sengaja untuk mendapatkan kenikmatan atau ia merasa nikmat. Tetapi jika tidak disengaja, tidaklah membatalkan wudu. Disamping itu mazhab Maliki mensyaratkan adanya ‘rasa nikmat’, sehingga jika rasa ini tiada maka persentuhan tidaklah membatalkan wudu. Karena itu pada hemat mereka, menyentuh anak remaja yang ganteng sama halnya dengan menyentuh wanita; sebaliknya menyentuh atau persentuhan dengan orang tua pikun yang sudah tidak mempunyai nafsu seksual lagi tidak membatalkanseperti halnya menyentuh anak kecil.
EPUBLIKA.CO.ID, Menjawab pertanyaan itu, Ulama Quraish Shibab mengungkapkan bahwa persoalan ibadah mahdhah (murni) oleh para ulama kita dinyatakan sebagai persoalan yang harus diterima sebagaimana tuntunan Nabi, karena berada di luar wilayah nalar. ''Seandainya agama (ibadah murni) berdasarkan pertimbangan akal, maka bawah alas kaki (yang penuh kotoran) lebih utama (logis) dibersihkan (ketika berwudhu dalam keadaan udara dingin misalnya) daripada bagian atasnya (tetapi tidak demikian).'' Begitu ucap Sayyidina Ali ra.
Jika demikian pertimbangan ''akal'' dalam hal ini harus terlebih dahulu didasari oleh keterangan Alquran dan atau Assunnah. Memang ulama berbeda pendapat menyangkut persoalan yang Anda ajukan, berdasar perbedaan penafsiran dan penilaian terhadap hadis-hadis Nabi saw.
Imam Syafi'i, seperti ditulis Ibnu Rusyd berpendapat, bahwa siapa yang menyentuh lawan jenisnya tanpa alat -- baik menimbulkan berahi atau tidak -- maka batal wudhunya. Ada riwayat lain menyangkut pendapat Syafi'i yang menyatakan bahwa yang batal hanya yang menyentuh bukan yang disentuh. Di sisi lain ada riwayat lain menyatakan bahwa dalam hal wudhu Imam Syafi'i mempersamakan istri dengan semua mahram (demikian istilah yang benar, bukan muhrim yang merupakan kesalahan populer).
Ada lagi riwayat yang menyatakan bahwa hanya pasangan (istri/suami) yang batal wudhunya. Mazhab Abu Hanifah mempunyai pendapat yang amat longgar dalam persentuhan pria dan wanita. Menurut mereka, wudhu baru batal apabila terjadi persentuhan yang berat, yakni bertemunya dua alat kelamin yang disertai berahi tanpa pemisah. Sedang mazhab Malik dan Hanbali menyatakan bahwa batalnya wudhu adalah akibat persentuhan yang mengakibatkan birahi, baik terhadap istri/suami maupun selainnya.
Demikian terlihat bahwa ketiga mazhab tidak menjadikan sekadar persentuhan dua jenis kelamin sebagai membatalkan wudhu, berbeda dengan pendapat populer dari Imam Syafi'.
Ketiga mazhab pertama mendasarkan pendapatnya pada Firman Allah: Auw Laamastum an-Nisa' (atau kalau kamu menyentuh/menyetubuhi perempuan) (QS 5:6) yang oleh Abu Hanifah diartikan berdasar penafsiran Ibnu Abbas atas hubungan seks, dan bahwa pakar bahasa menyatakan bahwa kata lamasa jika digandengkan dengan wanita maka maknanya seperti itu, serta dikuatkan pula oleh hadis Aisyah bahwa Nabi saw mencium istrinya kemudian shalat tanpa berwudhu.
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud, An-Nasaiy, Ahmad, dan Tirmizi, tetapi tidak bersambung (mursal) dan dinilai antara lain oleh Imam Bukhari sebagai hadis yang lemah. Karena itu pendapat di atas tidak didukung oleh banyak ulama.
Adapun Malik dan Abu Hanifah memahami kata ''lamasa'' dengan sentuhan, yang disertai syahwat. Karena, bahasa pada dasarnya menggunakan kata tersebut dalam arti demikian. Sedang persyaratan syahwat mereka tetapkan berdasarkan hadis-hadis, antara lain dari istri Nabi, Aisyah, yang menginformasikan bahwa, ''Suatu malam aku mencari Rasul saw di pembaringan dan tidak menemukan beliau maka kuletakkan tanganku di telapak kaki beliau yang ketika itu beliau berada di masjid'' (Diriwayatkan oleh Muslim dan Attirmizy).
Kamar tidur Nabi berdempetan dengan masjid. Syafi'i memahami arti ''lamasa'' dengan menyentuh, sedang hadis di atas walaupun dinilai shahih beliau memahami persentuhan tersebut tidak secara langsung tetapi dibatasi oleh batas/pakaian. Pendapat ini memang ketat, tetapi aman. Sedang pendapat moderat adalah pendapat mazhab Malik dan Hanbali.
Isi masalah
Para imam mazhab berbeda pendapan mengenai hal yang membatalkan wudhu terhadap masalah menyentuh kemaluan dan bersentuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Dibawah ini akan dijelaskan pendapat-pendapat dari macam-macam mazhab.
a. Menurut mazhab hanafi
Mereka berpendapat bahwa bahwa menyentuh kemaluan itu tidak membatalkan wudhu. Begitu pula pendapat Ali Ibn Mas’ud, ‘Ammar, Huzaifah, ‘Imran bin Husain dan Abu Darda’ dari kalangan sahabat Nabi saw. Ini juga pendapat Rabi’ah, Al-Thauri, Ibn Munzir, Abu Hanifah dan sahabatnya dan satu riwayat dari Ahmad. Hujah mereka adalah hadith yang diriwayatkan oleh al-Nasai, Abu daud dan Tarmidzi tentang seorang badui yang bertanya kepada Nabi saw :
Dari thalq bin ‘Ali RA, ia berkata,” kami pernah datang menemui Rasulullah SAW, kemudian seorang laki-laki yang tampak seperti Arab badui bertanya, “wahai Nabi Allah, apa pendapatmu tentang seorang laki-laki yang menyentuh kemaluannya setelah ia berwudhu?’ Rasulullah SAW menjawab, “bukanlah ia (kemaluaanya) itu segumpal daging darinya, (atau bersabda ,”....sepotong daging darinya?”[1]
Maksudnya adalah karena kemaluan adalah salah satu anggota badan manusia, maka tidak membatalkan wudhu dengan menyentuhnya, sama seperti menyentuh anggota yang lain.
Mengenai hal yang membatalkan wudhu akibat menyentuh wanita mereka berpedoman kepada hadits nabi Saw:
Dari Aisyah RA, bahwa Rasulullah pernah mencium beberapa istrinya, kemudian beliau menunaikan shalat dan tidak berwudhu lagi.[2]
Kandungan hukum hadits:
Menyentuh atau mencium istri tidaklah membatalkan wudhu’, baik dilakukan dengan syahwat (hasrat seksual) ataupun tidak. Karena tidak ada dalill shahih yang membatalkannya.
Serta masih banyak sekali hadist yang menunujukkan bahwa menyentuh (istri itu tidak membatalkan wudhu. Di antaranya adalah hadist shahih dari Aisyah RA, ia berkata, “Aku kehilangan Rasulullah pada suatu malam dari tempat tidur, kemudian aku pun mencarinya. Lalu kuletakkan tanganku pada telapak kakinya dan saat itu beliau tengah berada di tempat sujudnya dan kedua telapak kakinya dalam keadaan tegak” (HR. Muslim dan Tirmizi)
Atau juga hadist dalam shahihan, dari Aisyah RA, ia berkata, “Aku pernah tidur di hadapan Rasulullah SAW sedang kedua kakiku berada di arah kiblatnya. Jika bersujud beliau pun menyolekku, maka kulekukkan kakiku. Ketika beliau berdiri, aku membentangkan keduanya kembali. Saat itu semua rumah tidak berlampu. “ (HR. Bukhari dan Muslim)[3]
Hadist lainnya adalah dari Aisyah RA, ia berkata, “Rasulullah SAW sedangkan mengerjakan shalat dan aku melintang di hadapannya seperti melintangnya jenazah. Ketika beliau ingin mengerjakan shalat Witir, beliau menyentuhku dengan kakinya.”[4]
b. Menurut pendapat Mazhab Safi’i
Mereka berpendapat bahwa menyentuh kemaluan dan bersentuhan dengan wanita yang bukan mahram itu dapat membatalkan wudhu. Begitu pula pendapat dari mazhab Ahmad, pandangan Ibn Umar, Sa’id bin Musayyib, ‘Ata, Urwah, Sulaiman bin Yasar, Al-Zuhri, Al-Auza’i, hujjah mereka berdasarkan hadits Nabi Saw:
Dari busrah binti shafwan RA, bahwa rasulullah SAW bersabda. “barang siapa yang telah menyentuh kemaluaanya, maka hendaklah ia berwudhu.”[5]
Kandungan hukum Hadits:
Yang dimaksudkan dengan menyentuh, adalah menyentuh zakar disertai dengan syahwat dan tanpa lapis.
“barang siapa memegang kemaluan dengan tangannya tanopa ada penghalang , maka ia wajib untuk berwudhu” (HR. Ahmad dan hakim, dan dinyatakan sahih opleh Albani)
Kandungan hukum Hadits:
Menyentuh kemaluan tanpa syahwat. Ibnu tamiyah berkata dalam Al majmu’ 21/137, “ketika disebut kata menyentuh dalam kitab dan Al-sunnah, maka yang dimaksud adalah yang dilakukan dengan syahwat.”
Kemudian mengenai Hal yang membatalkan wudhu apabila menyentuh wanita mazhab safi’i berpegang kepada Ayat Al-Quran surat An-Nisa ayat 43, yang bunyinya:
c. Menurut Mazhab Maliki
Mereka berpendapat apabila menyentuh kemaluan dan menyentuh wanita disertai dengan syahwa maka barulah sentuhan itu membatalkan wudhu. Pendapat mereka dikuatkan dengan hadits nabi yang pernah menyentuh istri-istrinya dan langsung mengerjakan shalat tanpa wudhu lagi.
Dari habib bin Abi Tsabib dari Urwah dari Aisyah r.a, Bahwa Rasulullah Saw mencium sebagian Isterinya kemudian keluar untuk shalat tanpa berwudhu’. Lalu ditanya kepada Aisyah, “ siapakah istri yang dimaksud kecuali anda?” lalu Aisyah tertawa. ( HR Tarmidzi, Abu Daud, An-Nasai, Ibnu majah dan Ahmad)
Hadits lain yang menguatkan pandangan ini adalah:
Suatu malam aku mencari Rasulullah Saw di pembaringan dan tidak menemukan beliau maka kuletakkan tanganku ditelapak kaki beliau yang ketika itu beliau berada di mesjid (HR. Muslim dan Tarmidzi)
Sedangkan tentang permasalahan menyentuh kemaluan mereka berpendapat sama dengan mazhab Safi’i dan dalil-dalil yang menjadi hujah bagi mereka juga sama. Menurut mereka menyentuh kemaluan dapat membatalkan wudhu baik tanpa syahwat ataupun adanya syahwat.[6]
C. Anilisis
Berdasarkan uraian pendapat hadits diatas , dapat dipahami bahwa menurut imam hanafi menyentuh kemaluan dan wanita tidak mebatalkan wudhu, berdasarkan hadits yang telah dipaparkan dibelakang. Sedangkan menurut imam syafi’i menyentuh kemaluan dan wanita dapat membatalkan wudhu, dan yang terahir menurut imam maliki menyentuh wanita tanpa syahwat tidak membatalkan wudhu sedangkan apabila menyentuh kemaluan baik bersyahwat ataupun tanpa syahwa dapat membatalkan wudhu.Berdasarkan dari uraian hadits di lihat dari buku hadits maka ada yang shahih adapula yang dhaif sesuai dengan apa yang dikatakan ahli hadits.
D. Pendapat yang terkuat
a. Mengenai batal atau tidaknya wudhu apabila menyentuh kemaluan
Jika memandanh hadits dari thalq, yang disimpulkan bahwa menyentuh kemaluan tidak membatalkan whudu’ adalah hadits yang shahih, maka penulis lebih setuju pendapat yang dinyatakan ibnu tamiyah yaitu berwudhu apabila menyentuh kemaluan maka hukumnya sunah (bukan wajib). Pendapat ini dinilai lebih tepat karena menempuh jalan pertengahan dengan mengkompromikan dalil, tanpa menghapus salah satu dalil.
Syaikh Ibnu Tamiyah mengatakan: pendapat yang terkuat , hukum berwudhu ketika menyentuh kemaluan adalah sunah (dianjurkan) dan bukan wajib. Hal ini ditegaskan dari salah satu pendapat imam Ahmad. Pendapat ini telah mengkompromikan berbagai dalil sehingga dalil yang menyatakan perintah dimaksudkan dengan sunah (dianjurkan) dan tidak perlu adanya nasakh pada hadits nabi saw, “Bukanlah kemaluan tersebut adalah sekerat daging darimu?”.
Namun bila ingin berhati-hati, ada pendapat dari syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin bahwa menyentuh kemaluan tanpa syahwat hukumnya sunah (dianjurkan) untuk berwudhu, sedangkan jika dilakukan dengan syahwat diwajibkan untuk berwudhu. Inilah pendapat beliau dalam Syarhul mumthi’ dalam rangka kehati-hatian, untuk melepaskan diri dari perselisihan ulama yang ada.
b. Mengenai batal atau tidaknya wudhu apabila menyentuh wanita
Berdasarkan dalil yang ada dalam analisa diatas, penulis memilih satu pendapat yang terkuat yang bisa dijadikan kebiasaan atau kepastian yaitu pendapat yang menyatakan bahwa batal whudu’ apabila menyentuh wanita. Karena haditsyang diriwayatkan oleh Aisyah ra yg mengatakan bahwa nabi saw mencium diantara istrinya lalu keluar menuju shalat tanpa berwudhu lagi”. ( Hadits itu dhaif, hadits ini didhaifkan oleh Imam Bukhari, dan hadits lainnya yg riwayat Attaimy adalah mursal, ia telah tertolak untuk dijadikan hujjah.) kalaupun bila itu dijadikan dalil maka hal itu adalah kekhususan bagi nabi saw.
Penulis berpendirian bahwa wudhu menjadi batal apabila menyentuh wanita , dengan syarat orang yang disentuh itu bukan anak-anak, bukan mahramnya serta antara keduanya tidak ada penghalang, dan tidak batal karena menyentuh rambut, gigi, atau kuku karena menyentuh itu tidak akan menimbulkan rangsangan atau perasaan negative.
Berdasarkan penafsiran surat An-nisa ayat 43 arti harfiah dari au lamastumun nisa’ (tanpa membaca huruf panjang huruf lam, sehingga artinya : atau kamu menyentuh wanita). Penafsiran yang benar adalah bersentuhan dalam ayat itu yang dimaksudkan adalah bersentuhan kulit bukan bersenggama ataupun lainnya. Juga ada penjelasan Umar r.a mengatakan “ciuman seseorang kepada istrinya atau menyentuhnya dengan tangan termasuk mulamasah. Maka barang siapa mencium atau menyentuh istrinyadengan tangan , maka hendaklah dia berwudhu”.
emikian perbedaan penafsiran ulama tentang ayat diatas, adapun dalam penyimpulan hukumnya, berikut pendapat 4 mazhab :
Hanafiyyah
Menurut mazhab ini, sentuhan dengan lawan jenis mutlak tidaklah membatalkan wudhu, baik karena syahwat ataupun tidak. [9]
Malikiyyah dan Hanabilah
Menurut kedua mazhab ini menyentuh lawan jenis tidaklah membatalkan wudhu, asalkan tidak diiringi dengan syahwat. Tetapi bila sentuhan itu karena syahwat, maka wudhunya menjadi batal. [10]
Syafi’iyyah
Mazhab ini menetapkan sentuhan seseorang dengan wanita ajnabi yang bukan mahram, baik diiringi dengan syahwat atau tidak, maka hal tersebut membatalkan wudhu.
Meskipun yang disentuh adalah jenazah, atau wanita yang sudah tua. Namun, apabila yang disentuh adalah rambut, gigi atau kuku, maka hal tersebut tidaklah membatalkan wudhu. [11]
Demikian perbedaan pendapat para ulama dalam masalah ini. Silahkan kita memilih pendapat yang kita yakini sebagai pendapat yang paling tepat, tanpa disertai sikap menyalahkan dan merendahkan pendapat yang berbeda.
Adapun menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan penulis kitab Fiqh Islami wa Adillatuhu, yakni Syaikh Wahbah Zuhaili, mereka memandang bahwa pendapat yang menyatakan hanya sentuhan yang disertai syahwat saja yang membatalkan wudhu sebagai pendapat yang paling rajih (kuat) dan moderat. [12]
Wallahu a’lam.
Malikiyah berpendapat, bahwa apabila seseorang menyentuh orang lain dengan tangannya atau dengan anggota badan lainnya, maka wudhunya batal dengan beberapa syarat.
Persyaratan bagi yang menyentuh adalah menjadikan wudhunya batal, yaitu:
a. Dia sudah balig
b. Merasakan kenikmatan atau rangsangan sesudah terjadi sentuhan sengaja atau tidak.
Sedangkan bagi orang yang disentuh, wudhunya menjadi batal apabila:
a. Apabila kulit yang disentuh tanpa ada batas penghalang seperti kain, ataupun batasnya ada, tetapi terlalu tipis.
b. Bagi yang disentuh adalah orang yang dapat mengundang syahwat atau ada rangsangan.
Wudhu tidak batal jika bersentuhan dengan gadis kecil dan wanita tua yang tidak mengundang syahwat. Jadi, persoalan inti dari mazhab Malikiyah ini adalah ada rangsangan (syahwat), baik bagi yang menyentuh maupun yang disentuh.
Syafi`iyah, menyentuh kulit lawan jenis yang bukan mahram termasuk yang membatalkan wudhu` secara mutlak. Pendapat mereka didasarkan pada penafsiran ayat Al-Quran yaitu :
…. …..
Artinya : “….atau kamu telah ‘menyentuh’ perempuan…(QS. An-Nisa : 43)
Para ‘ulama mengartikan kata ‘menyentuh’ sebagai kiasan yang maksudnya adalah jima` (hubungan seksual). Sehingga bila hanya sekedar bersentuhan kulit, tidak membatalkan wudhu`. Ulama kalangan Syafi`iyah cenderung mengartikan kata ‘menyentuh’ secara harfiyah, sehingga menurut mereka sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram itu membatalkan wudhu`.
Menurut mereka, bila ada kata yang mengandung dua makna antara makna hakiki dengan makna kiasan, maka yang harus didahulukan adalah makna hakikinya. Kecuali ada dalil lain yang menunjukkan perlunya menggunakan penafsiran secara kiasan.
Hanabilah berpendapat, bahwa wudhu seseorang menjadi batal, apabila bersentuhan laki-laki dengan wanita disebabkan ada syahwat dan tidak ada batas penghalang. Golongan ini tidak membedakan antara wanita mahram dan bukan mahram (ajnabiyah= orang lain), hidup atu mati, muda atau tua, besar atau kecil. Dalam banyak hal antar Syafi’iyah dan Hanabilah dalam persoalan ini adalah sama, seperti menyentuh kuku, rambut dan gigi, tidak membatalkan wudhu. Ada satu hal yang mendasari perbedaan pndapat antara keduanya yaitu mengenai “mahram”.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar