Rabu, 09 Juli 2014
madzhab (vena vulvena)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Belakangan ini penelitian tentang sejarah fiqih Islam mulai dirasakan penting. Paling tidak, karena pertumbuhan dan perkembangan fiqih menunjukkan pada suatu dinamika pemikiran keagamaan itu sendiri. Hal tersebut merupakan persoalan yang tidak pernah usaidi manapun dan kapanpun, terutama dalam masyarakat-masyarakat agama yang sedang mengalami modernisasi. Di lain pihak, evolusi historikal dari perkembangan fiqih secara sungguh-sungguh telah menyediakan frame work bagi pemikiran Islam, atau lebih tepatnya actual working bagi karakterisitik perkembangan Islam itu sendiri. Kehadiran fiqih ternyata mengiringi pasang-surut perkembangan Islam, dan bahkan secara amat dominan, fiqih -- terutama fiqih abad pertengahan -- mewarnai dan memberi corak bagi perkembangan Islam dari masa ke masa. Karena itulah, kajian-kajian mendalam tentang masalah kesejahteraan fiqih tidak semata-mata bernilai historis, tetapi dengan sendirinya menawarkan kemungkinan baru bagi perkembangan Islam berikutnya.
B. Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah agar kita khususnya para mahasiswa dapat memahami dan mengerti tentang:
1. Pembentukan Mahzab Dan Pembukuan Hadist
2. Faktor-faktor yang mendorong perkembangan hukum islam
3. Madzhab hukum islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. PEMBENTUKAN MAHZAB
Setelah kekuasaan Umayyah berakhir, kendali pemerintahan Islam selanjutnya dipegang oleh Dinasti Abbasiah. Sebelum itu ada madzhab di kalngan sahabat madzhab umar,aisyah,Abbas,dan Ali.
B. PEMBUKUAN HADITS
Hadis Pada Masa Rasulullah SAW
Para sahabat adalah penerima hadis langsung dari Muhammad SAW baik yang sifatnya pelajaran maupun jawaban atas masalah yang dihadapi. Pada masa ini para sahabat umumnya tidak melakukan penulisan terhadap hadis yang diterima. Kalaupun ada, jumlahnya sangat tidak berarti. Hal ini di sebabkan antara lain;
a. Khawatir tulisan hadis itu bercampur dengan tulisan .Al-Qur'un.
b. Menghindarkan umat menyandarkan ajaran Islam kepada hadis saja.
c. Khawatir dalam meriwayatkan hadis salah, dan tidak sesuai dengan yang disampaikan Nabi Muhammad SAW.
Hadis pada masa Khutafaur Rasyidin
Setelah Rasulullah SAW wafat para sahabat mulai menebarkan hadis kepada kaum muslimin melalui tabligh.
Ada dua cara meriwayatkan hadis pada masa sahabat:
a. Dengan lafal aslinya, sesuai dengan yang dilafalkan oleh Nabi Muhammad SAW.
b. Dengan maknanya, bukan lafalnya karena mereka tidak hafal lafalnya.
Masa pembukuan hadis pada masa Umar bin Abdul Aziz
Ide pembukuan hadis pertama-tama dicetuskan oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz pada awal abad ke 2 hijriyah. Sebagai Khalifah pada masa itu beliau memandang perlu untuk membukukan hadis. Karena ia meyadari bahwa para perawi hadis makin lama semakin banyak yang meninggal. Apabil hadis-hadis tersebut tidak dibukukan maka di khawatirkan akan lenyap dari permukaan bumi. Di samping itu, timbulnya berbagai golongan yang bertikai daIam persoalan kekhalifahan menyebabkan adanya kelompok yang membuat hadis palsu untuk memperkuat pendapatnya. Sebagai penulis hadis yang pertama .
C. FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
Faktor utama yang mendorong perkembangan hukum Islam adalah berkembangnya ilmu pengetahuan di dunia Islam. Yang disebabkan oleh hal-hal berikut:
Pertama, banyaknya mawali yang masuk Islam
Kedua, berkembangnya pemikiran karena luasnya ilmu pengetahuan
Ketiga, adanya upaya umat Islam untuk melestarikan Al-Qur’an dengan dua cara, yaitu dicatat (dikumpulkan dalam satu mushaf) dan dihafal.
D. MADZHAB HUKUM ISLAM
1. Madzhab Imam Hanafi
a) Biografi Imam Hanafi (80 – 150 H / 699-767 M)
Biografi Imam Hanafi (80 – 150 H / 699-767 M)
Imam Hanafi atau nama lainnya disebut Abu Hanifah, yang memiliki nama lengkapnya adalah Al-Numan ibn Tsabit ibn Zuhthi (80-150 H). Secara politik, Abu Hanifah hidup dalam dua generasi. Ia dilahirkan dikufah pada Tahun 80 H, artinya ia lahir pada zaman Dinasti Umayyah, tepatnya pada Tahun 80 H, yaitu pada zaman kekuasaan Abd Al-Malik ibn Marwan .Beliau meninggal pada zaman kekuasaan Abbasiah pada saat beliau berumur 70 tahun.
b) Dinamika Tarikh Tasyri’ Pada Masa Imam Hanafi
Di bawah ini akan dipaparkan beberapa contoh ijtihad Abu Hanifah dalam penerapan tarikh tasyri’, diantaranya :
1). Bahwa benda wakaf masih tetap milik wakif. Kedudukan wakaf dipandang sama dengan ‘Ariyah (pinjam-meminjam). Karena masih tetap milik wakif, benda wakaf dapat dijual, diwariskan, dan dihibahkan oleh wakif kepada yang lain, kecuali wakaf untuk masjid, wakaf yang ditetapkan berdasarkan keputusan hakim, wakaf wasiat, dan wakaf yang diikrarkan secara tegas bahwa itu terus dilanjutkan meskipun wakif telah meninggal dunia.
2). Bahwa Perempuan menjadi hakim di pengadilan yang tugasnya khusus menangani perkara perdata, bukan perkara pidana. Karena perempuan tidak dibolehkan menjadi saksi pidana, ia hanya dibenarkan menjadi saksi perkara perdata. Karena itu, menurutnya perempuan boleh menjadi hakim yang menagani perkara perdata. Dengan demikian metode ijtihad yang digunakannya adalah Qiyas dengan menjadikan kesaksian sebagai al-Ashl dan menjadikan hakim perempuan sebagai far’i.
3). Abu Hanifah dan Ulama Hufadh berpendapat bahwa sholat gerhana matahari dan bulan dilakukan dua rakaat sebagaimana sholat ‘ied, tidak dilakukan dua kali rukuk dalam satu rakaat..
c) Sumber – Sumber Imam Hanafi
Ulama Hanafiyah menyusun kitab-kitab fiqih, diantaranya Jami’ al-Fushulai, Dlarar al-Hukkam, kitab al-Fiqh dan Qawaid al-Fiqh, dan lain-lain. Sumber-sumber hukum madzhab hanafi :
1) Al-Quran, Hadist dan Ijma’
2) Qiyas (Deduksi Analogis).
3) Istihsan (Preperensi)
4) ‘Urf (Tradisi Lokal).
d) Metode dan Cara Ijtihat Abu Hanifah
Metode ijtihad yang digunakan oleh imam hanafi adalah :
1. Metode Dialektika
2. Metode Istihsan
Sedangkan cara berijtihad Abu Hanifah yang bersifat tambahan adalah:
1. Bahwa Dilalah lafad umum (“am”) adalah Qoth’i seperti lafadz Khash;
2. Bahwa pendapat sahabat yang tidak sejalan dengan pendapat umum adalah bersifat Khusus.
3. bahwa banyaknya yang meriwayatkan tidak berarti lebih kuat (Rajih).
4. adanya penolakan terhadap Mafhum (makna tersirat) syarat dan sifat.
5. bahwa apabila perbuatan Rawi menyalahi riwayatnya yang dijadikan dalil adalah perbuatannya, bukan riwayatnya.
6. mendahulukan Qiyas Jali atas Khabar Ahad yang dipertentangkan.
7. menggunakan Istikhsan dan meninggalkan Qiyas apabila diperlukan.
2. Madzhab Imam Malik
a) Biografi Imam Malik (93-179 H)
Nama lengkap pendiri mazhab maliki adalah Malik bin Annas bin Abu Amir. Lahir pada tahun 93 H = 721M di Madinah pada perkembangan selanjutnya beliau dikenal dengan sebutan Imam Malik. Beliau wafat pada tahun 179 H, hanya berbeda 29 tahun dengan Abu Hanifah, walaupun pada zaman yang sama, tetapi tempatnya yang berbeda.
Imam Malik membangun madzhabnya yaitu dengan :
1. Nash Al-Qur’an
2. Keumuman Al-Qur’an, yakni zhahir Al-Qur’an
3. Dalil Al-Qur’an, yakni mafhum mukhalafahnya
4. Mafhum Al-Qur’an, yakni mafhum muwafaqahnya
5. Tambih Al-Qur’an, yakni memperhatikan illat (sebab) suatu ayatIjma’
6. Qiyas
7. Amal/perbuatan penduduk Madinah
8. Perkataan Sahabat
9. Istihsan
10. Saddu Dzari’ah
11. Memperhatikan perbedaan
12. Istishab
13. Mashlahah Mursalah
14. Syar’u man qablana (syariat sebelum kita).
b) Dinamika Tarikh Tasyri’ Pada Masa Imam Malik
Ditengah bekembangnya Mazhab hanafi, Imam Maliki memposisikan diri sebagai ulama’ Ahlu Al-Hadist, yang berpijak kepada tekstualitas dan memasukkan beberapa konsep Dhuruf wa Al-Hal serta diikuti dengan maslahah mursalah.
Tujuan imam malik adalah ingin mengemukakan doktrin-doktrin yang deterima dari kalangan ulama’ madinah dan begitu jauh konsep-konsepnya didasari pada pemikiran perorangan dan wakil aliran madinah tersebut
Dalam berbagai hal banyak ditemui bahwa pemikiran imam Malik banyak mengambil dari tradisi masyrakat Madinah yang didasari pertimbangan-pertimbangan yang matang.
faktor yang mempengaruhi fatwa-fatwa imam Malik antara lain, budaya, sifat, dan kondisi masyarakat pada masa itu yang plural, sehingga imam Malik menggunakan teori maslahah mursalah.
Contoh pendapat Imam Malik
Ulama sepakat bahwa adzan shalat dilakukan dua kali-dua kali, tetapi mereka berbeda pendapat tentang jumlah jumlah qamat shalat. Menurut Imam Malik, qamat shalat dilakukan satu kali-satu kali. Ketika ditanya tentang adzan dan qamat yang dilakukan dua kali-dua kali, imam malik menjawab, “Tidak sampai kepadaku dalil tentang adzan dan qamat salat,aku hanya mendapatkannya dari amal manusia… qamat shalat dilakukan satu kali-satu kali. Itulah yang senantiasa dilakukan oleh ulama dinegeri kami. (Ijma’ Ulama Madinah)
c) Sumber-Sumber Hukum Imam Maliki
Adapun sumber-sumber hukum yang digunakan imam Malik antara lain:
1. Al-Quran
2. Hadist (yang berkualitas shahih dan masyhur)
3. Ijma’ (amalan ulama’ madinah ketika itu)
4. Qiyas (analogis)
5. Maslahah mursalah (kepentingan umum)
d) Metode Ijtihad Imam Malik
Hal-hal yang membuat metodenya istimewa, yang memberi pengaruh dalam perluasan lapangan perselisihan atau perbedaan antara beliau sendiri dengan yang lainnya, yaitu:
1) Amal atau perbuatan Penduduk Madinah, adalah sebagai hujjah bagi Maliki dan didahulukan dari pada Qiyas dan Khobar Ahad.
2) Mashlahah Mursalah Istishlah yaitu kemaslahatan-kemaslahatan yang tidak diperlihatkan oleh syara’ kebatalannya dan tidak pula disebutkan oleh nash tertentu dan dikembalikan pada pemeliharaan maksud syara’ yang keadaan maksudnya dapat diketahui dengan Al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan tidak diperselisihkan mengikutinya kecuali ketika terjadi pertentangan dengan maslahat lain. Maka ketika seperti ini Malik mendahulukan beramal dengannya.
3) Perkataan Sahabat
4) As-Sunnah
5) Beliau berpendapat menggunakan istihsan dalam berbagai masalah, seperti jaminan pekerjaan, menolong pemilik dapur roti dan mesin giling, bayaran kamar mandi bagi semua orang itu sama dan pelaksanaan Qisas harus menghadirkan beberapa orang saksi dan sumpah; hanya saja Malik tidak meluaskan dalam pendapatnya tidak seprti madzhab Hanafi.
3. Mazhab Imam Syafi’i
a) Biografi Imam Syafi’i (150-204 H)
Mazhab ini dibangun oleh imam Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Syafi’i, beliau di juluki Imam Syafi’i karena kakeknya bernama Syafi’i, Imam Syafi’i adalah keturunan Bani Hasyim yang memiliki nasab kepada Rasul, beliau lahir di Ghazah pada tahun 150 H dan wafat di Mesir pada tahun 204 H pada saat imam berumur 52 tahun.
b) Dinamika Tarikh Tasyri’ Pada Masa Imam syafi’i (767-820 M)
Pada awal terbentuknya Mazhab Imam Syafi’i bertepatan dengan awal pertengahan Khalifah Bani Abbas berkisar antara kekhalifahan Abu Ja’far Almansur (754-775 M) dan Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M)
Imam Syafi’i berusaha mengembangkan eksinitas hukum yang bisa menjawab permasalahan-permasalahan pada masa itu khususnya di Mesir dan Iraq, dengan mempelajari fiqh-fiqh Imam Malik dan Hanafi, Imam Syafi’i memperoleh perbandingan dan mengetahui kelemahan-kelemahan kedua Imam tersebut, maka Imam Syafi’i berusaha menciptakan yang lebih kompleks dari kedua imam tersebut.
Pada masa ini perkembangan tasyri’ sudah berjalan dengan baik, pengadilan-pengadilan sudah terbentuk, pembukuan kitab-kitab fiqh mulai beredar. Buku-buku yang notabennya banyak dikarang oleh kaum lelaki, factor tersebut menyebabkan dari kalangan wanita tidak begitu berperan dalam perkembangan keilmuan, tetapi tetap saja pengaruh dan kondisi orang arab yang keras dan masih berbau badui dan mazhab yang berbeda mewarnai perjalanan tasyri’ pada masa itu.
Pendapat-Pendapat
1) Tertib dalam wudhu Orang yang wudunya tidak tertib karena lupa adalah sah Orang yang wudunya tidak tertib meskipun karena lupa adalah tidak sah
2) Menyentuh dubur tidak membatalkan wudhu
3) Shalat isya lebih utama dilaksanakan dengan segera (ta’jil) Shalat isya lebih utama dilaksanakan dengan diakhirkan (ta’khir)
4) Waktu pengeluaran zakat fitrah. Zakat fitrah wajib pada hari idul fitri setelah terbit fajar (waktu subuh tiba) Zakat fitrah wajib dikeluarkan pada malam hari idul fitri setelah matahari terbenam (waktu maghrib tiba)
5) Meninggalkan bacaan Fatihah karena lupa Seseorang yang shalat dan tidak membaca surat al-Fatihah karena lupa, salatnya adalah sah Seseorang yang shalat dan tidak membaca surat al-Fatihah karena lupa shalatnya tidak sah, jika yang bersangkutan ingat atau sesudahnya sebelum berdiri yang kedua, ia kembali berdiri dan membaca al-Fatihah ketika berdiri tersebut apabila yang bersangkutan baru teringat pada rakaat kedua, maka rakaat tersebut dianggap sebagai rakaat pertama. Apabila yang bersangkutan baru teringat setelah salam, maka shalatnya wajib diulangi.
c) Sumber-Sumber Hukum Imam Syafi’i
Imam Syafi’i hanya menggunakan empat macam, hal ini di utarakan Imam Syafi’i dalam kitab Ar-Risalah:
a) Al-Qur’an
b) Al-Hadist
c) Ijma’
d) Ra’yu (Qiyas)
4. Qiyas
Imam Syafi’i sangat membatasi pemikiran analogis, qiyas yang dilakukan oleh Syafi’i tidak bisa independent karena semua yang diutarakan oleh Syafi’i dikaitkan dengan nash Al-Quran dan Sunnah.
d) Metode Ijtihad Imam Syafi’i
Dalam berijtihad Imam Syafi’i menggunakan pemikiran-pemikiran yang jeli dan teliti, kita lihat model ijtihadnya sebagai berikut :
1. Metode induktif (Istiqra’i)
Metode ini lebih menekankan kepada penelitian fakta lapangan, cara ini pernah dilakukan oleh Imam Syafi’i dalam menentukan waktu terpanjang dan terpendek bagi wanita yang lagi haid, dalam menentukan waktu tersebut Imam Syafi’i melakukan penelitian kepada beberapa wanita yang ada di mesir, hasil penelitian tersebut dihasilkan data yang beragam, ada yang satu hari satu malam, ada yang sepuluh hari dan lima belas hari. Dari data tersebut Imam Syafi’i menyimpulkan bahwa paling cepat masa haid adalah satu hari dan paling lama adalah lima belas hari.
2. Metode dialektika (Jadali) Terkait dengan hukum menikahi anak dari hasil perzinahan,Dalam menetapkan hokum ini syafi’I meruju’ kepada firman allah yaitu surat An-Nisa’ ayat 23, “Diharamkan kepada kamu menikahi ibu-ibumu, anak-anak (perempuanmu)”
Imam Syafi’i memberi devinisi bahwa yang diharamkan adalah anak dari istri yang telah kamu kawini dengan halal bukan dengan perbuatan haram, jadi kamu boleh menikahi anak istrimu dari hasil perbuatan zina antara kamu dan istrimu, dikarenakan dia bukan anak istrimu yang syah, dan dia tidak memiliki nasab dengan kumu(suami), tetapi kebolehan yang diberikan oleh Imam Syafi’i adalah kebolehan dalam arti Makruh.
Jawaban yang diberikan oleh Imam Syafi’i menjelaskan, bahwa Syafi’i berusaha memberikan suatu eksistensi kekuatan daya nalar terhadap penggalian hukum.
4. Imam Madzhab Hambali
a) Biografi Imam Ahmad ibn Hambal
Beliau bernama Abu Abdillah Ahmad ibn Hambal ibn Hilal Ibn Asad al-Syaibani al-Marwazi. Ia lahir di Baghdad pada Tahun 164 H, dibesarkan dan wafat disana pada Tahun 231 H. Ahmad ibn Hambal dilahirkan ketika kekalifahan dipegang oleh Musa Al-Mahdi dari kalangan Abbasiyah.
b) Dinamika Tarikh tasryi’ Pada Masa Imam Hambali
Sebagaimana diketahui bahwa Imam Ahmad dilahirkan di Baghdad, kemudian melakukan perjalanan ke berbagai daerah. Daerah yang pernah dikunjungi adalah Kufah, Bashrah, Mekah, Madinah, Syam, dan Yaman. Perjalanan ini dilakukan untuk belajar dan mengumpulkan Hadist, karena perjalanan yang begitu luas dalam mengumpulkan hadist Imam ibn Hambal menurut beberapa ulama’ dikenal dengan ahli hadist bukan imam Fiqh. Akan tetapi Imam Ahmad memiliki salah satu guru dalam belajar ilmu Fiqih yang berkesan yaitu Imam Syafi’I yang dijumpainya di Baghdad. Ia pun menjadi murid Imam Syafi’I yang terpenting bahkan menjadi seorang mujtahid mandiri. Orang yang belajar hadist akan mengenalnya seperti halnya orang yang belajar ilmu fiqh. Karena belajar kepada Imam Syafi’I, para pengikut Imam Syafi’I menilai bahwa Ahmad Ibn Hambal adalah pengikut Imam syafi’I, meskipun dalam kasus tertentu ia berijtihad sendiri. Selain Imam Syafi’I yang dikenal menjadi guru Imam Ahmad adalah Abu Yusuf yaitu murid dan penerus Madzhab Hanafi. Akan tetapi dalam proses Tasyri’ Imam Hambali banyak.
Terpengaruh oleh Imam Syafi’I, yang masih nelakukan pendekatan tekstual, tidak seperti imam Hanafi yang menggunakan Ra’yu dan Qiyas dalam mengistinbathkan hukum.
c) Sumber-Sumber Hukum Madzhab Hambali
Pendapat-pendapat Ahmad ibn Hambal dibangun atas lima dasar yaitu sebagai berikut:
1. Al-Nushush dari Al-qur’an dan Sunnah. Apabila telah ada ketentuan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, ia berpendapat sesuai dengan makna yang tersurat , makna yang tersiratnya ia abaikan.
2. Apabila tidak didapatkan dalam Al-qur’an dan Sunnah ia menukil fatwa sahabat memilih pendapat sahabat yang disepakati sahabat lainnya.
3. Apabila fatwa sahabat berbeda-beda ia memilih salah satu pendapat yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
d) Metode Ijtihad Imam Ahmad ibn Hambal
Metode yang di kembangkan oleh ahmad bin hambal adalah Metode Dialektika hal ini dpat kita lihat cara beliau menjelaskan tentang seatu hukum, Fiqih Imam Ahmad menjelaskan tentang syarat-syarat penegakan sanksi potong tangan. Dari sisi pelaku pencurian, syarat-syarat yang meski dipenuhi adalah pencurinya sudah mukallaf, dapat memilih, merdeka, dan budak pemilik, meskipun Syubhat. Sedangkan syarat dari segi benda adalah benda yang dicurinya berupa harta dan sudah mencapai nishab.Menurut Ahmad ibn Hambal, nishab harta curian yang pencurinya harus dikenai sanksi potong tangan adalah ¼ dinar atau 3 Dirham.
Imam Daud dilahirkan di kota Bagdad. Ia digelari al Zhahiri karena pendapatnya tentang cara memahami Al-Qur’an dan Sunnah, yakni dengan menggunakan kata zhahir Al-Qur’an dan Sunnah. Pada awalnya, Imam Daud belajar fikih al Syafi’i kepada guru-gurunya di Bagdad. Setelah itu dia melakukan perjalanan ke Naisabur untuk belajar hadits. Setelah itu ia keluar dari aliran Syafi’i dan membangun satu pendirian yang kemudian menjadi aliran tersendiri.
Imam Daud menolak al qiyas dan mengajukan al dalil sebagai cara memahami nash. Bagi Imam Daud, makna yang digunakan dari Al-Qur’an dan Sunnah adalah makna zhahir atau makna tersurat, ia tidak menggunakan makna tersirat, apalagi mencari I’lat sebagaimana dilakukan oleh ulama yang mengakui al qiyas sebagai cara ijtihad. Menurut Imam Daud, syariat tidak boleh diintervensi oleh akal.
Imam Daud menentang al qiyas, dalam penolakannya ia berpendapat bahwa yang pertama melakukan qiyas adalah iblis. Meskipun demikian, ia tidak menolak qiyas secara keseluruhan. Qiyas yang ditolak Imam Daud adalah qiyas khafi, sedangkan qiyas jali diterimanya. Di antara pendapat Imam Daud adalah sebagai berikut:
1. Yang junub boleh menyentuh Al-Qur’an
Pendapatnya yang sejalan dengan situasi ini adalah menurut Imam Daud Al-Qur’an yang ditulis dalam kertas dan beredar itu adalah makhluk, sedangkan Al-Qur’an yang tertulis dalam Lauh Al-Mahfuzh bukan makhluk. Al-Qur’an yang ditulis dalam kertas dan beredar di kalangan manusia adalah makhluk dan boleh disentuh oleh wanita yang sedang haid dan junub.
2. Pemimpin Mesti dari Kalangan Quraisy
Imam Daud berpendapat bahwa pemimpin mesti dari kalangan Quraisy. Alasannya, adanya hadits politik yang sangat terkenal di kalangan sunni yang dinilai shahih oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Selanjutnya, menurut Imam Daud pemimpin umat Islam di dunia ini mesti satu, orang yang meninggal dalam kadaan tidak bai’at kepada imam, mati dalam keadaan jahiliah, dan manusia tidak boleh taat kepada pemimpin yang memerintahkan melakukan maksiat.
3. Bagian tubuh perempuan yang boleh dilihat kepada dipinang
Menurut Imam Daud, seluruh anggota tubuh perempuan yang dipinang boleh dilihat oleh laki-laki yang meminangnya, karena Nabi Muhammad SAW menganjurkan laki-laki yang meminang melihat perempuan yang dipinangnya secara mutlak tanpa dirinci tentang anggota tubuh yang boleh dilihat.
Daulah Abbasiah merupakan daulah yang mempunyai kecenderungan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan umat Islam, baik ilmu filsafat maupun ilmu-ilmu lainnya. Berikut tabel pembukuan Fikih dan Hadits
E. FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN BERKEMBANGNYA EMPAT MAZHAB
Ada beberapa faktor yang menyebabkan berkembangannya mazhab para imam-imam tersebut antara lain:
1. Pendapat-pendapat imamnya itu dikumpulkan dan dibukukan, hal ini tidak terdapat pada salah satu imam salaf atau mazhab-mazhab yang lain.
2. Adanya murid-murid mereka yang berusaha menyebarluaskan pendapat-pendapat mereka.
3. Adanya kecendrungan imam-imam muslim (penguasa) agar keputusan suatu perkara diberikan oleh hakim yang berasal dari imam mazhab yang ia ikuti.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan kajian tentang cara madzhab dan perannya dalam pembentukan hukum Islam dapat disimpulkan:
1) Pengertian madzhab menurut bahasa, merupakan sighat isim makan dari fi’il madli dzahaba. Dzahaba artinya pergi; oleh karena itu madzhab artinya: tempat pergi atau jalan. Kata-kata yang semakna ialah: maslak, thariiqah dan sabiil yang kesemuanya berarti jalan atau cara.
Mazdhab menurut istilah, merupakan sejumlah fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat seorang alim besar di dalam urusan agama, baik ibadah maupun lainnya.
2) Macam-macam madzhab antara lain:
• Madzhab Hanafi
• Madzhab Maliki
• Madzhab Syafi’i
• Madzhab Hambali
Dan, beberapa madzhab yang lain:
• Sunni
• Jafari
• Ismailiyah
• Zaidiyah
• Khawarij
3) Pada dasarnya, peran madzhab dalam sejarah hukum Islam adalah berawal dari semangat para fuqaha melakukan ijtihad sebagai upaya dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat yang semakin kompleks.
4) Sebab-sebab perbedaan antar madzhab:
• Adanya perbedaan akal melakukan istinbath.
• Adanya kenyataan perbedaan banyak dan sedikitnya ilmu seseorang Dalam artian, ada ilmu yang telah sampai kepada seseorang, namun tidak sampai kepada orang lain, orang ini keilmuannya begini dan orang itu keilmuannya begitu.
• Perbedaan kondisi dan lingkungan
• Perbedaan kemantapan hati terhadap suatu riwayat ketika menerimanya.
• Perbedaan dalam menentukan kualitas indikasi dalil.
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Mazhab
http://id.wikipedia.org/wiki/MazhabHanafi
http://id.wikipedia.org/wiki/MazhabHambali
http://id.wikipedia.org/wiki/MazhabMaliki
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar