Rabu, 09 Juli 2014
HUKUM ISLAM PADA ZAMAN TABIIN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Bealakang
Hukum Islam adalah salah satu aspek ajaran Islam yang menempati posisi penting dalam pandangan umat Islam, karena ia merupakan manifestasi paling tipikal dan paling konkrit dari Islam sebagai sebuah agama. Sedemikian pentingnya hukum Islam dalam skema doktrinal Islam sehingga seorang orientalis, Joseph Schacht menilai bahwa “adalah mustahil memahami Islam tanpa hukum Islam”.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian Hukum islam ?
2. Apa faktor-faktor perkembangan hokum islam ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. HUKUM ISLAM PADA ZAMAN TABI’IN
Sebelum kita membahas tentang kondisi hukum Islam pada masa tabi’in, maka seyogyanya kita ketahui terlebih dahulu apa itu sahabat tabi’in. Tabi’in adalah setiap muslim yang belum sempat melihat Nabi Muhammad SAW namun ia sempat melihat dan bertemu dengan sahabat, baik ia meriwayatkan atau tidak darinya.
Dari penjelasan ini jelas bahwa tabi’in tidak harus melihat baginda Rasulullah SAW sebab jika ia melihatnya, itu artinya ia termasuk sahabat Rasulullah SAW. Selain itu juga tidak diisyaratkan harus bertemu dengan sahabat seperti yang dikuatkan oleh ulama hadis, tidak diisyaratkan harus meriwayatkan hadis dari seorang sahabat, namun cukup hanya melihat dan bertemu ketika ia sudah berusia tamyiz (baligh).
Al Quran telah memberikan isyarat tentang adanya tabi’in dalam firman Allah SWT :
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (QS. At- Taubah (9) : 100)
Firman Allah SWT ”Dan orang-orang yang mengikuti mereka” merupakan isyarat yang jelas akan keberadaan tabi’in. Merujuk penamaan ini, tabi’in adalah semua orang yang pernah bertemu dengan sahabat, baik murid, kawan dari berbagai penjuru dunia yang datang ingin mendengar fatwa, menghimpun ucapan, perbuatan, dan mengetahui segala keputusan mereka dalam berbagai permasalahan yang diperdebatkan, mereka menjadi lembaran hidup bagi setiap ucapan dan perbuatan sahabat.
1.Faktor-faktor yang mendorong perkembangan Hukum Islam
a. Luasnya wilayah
Sebagian orang yang daerahnya dikuasai umat islam menjadi penganut islam. Kemudian mereka belajar agama islam dibawah bimbingan para imam. Di antara ulama yang menjadi guru adalah penghafal hadits, Alqur’an, penafsir alqur’an, dan penjelas Al – sunnah. Mereka mulai memasuki persaingan dalam pengembangan ilmu, diantaranya ilmu kedokteran, ilmu logika karya Aristoteles dan sebagainya.
b. Luasnya ilmu pengetahuan
Dalam bidang ilmu kalam terjadi berbagai perdebatan : setiap kelompok memiliki cara berpikir tersendiri dalam memahami akidah islam. Selain itu, saat terjadi pula pertarungan pemikiran antara mutakallimin, muhaditsin, dan fuqoha.
c. Adanya upaya umat islam untuk melestarikan Alqur’an
Baik yang dicatat, termasuk yang dikumpulkan dalam satu mushaf, maupun yang dihafal. Pelestarian alqur’an melalui hafalan dilakukan dengan mengembangkan cara membacanya, sehingga saat ini dikenal corak – corak bacaan alqur’an.
B. PERTUMBUHAN HUKUM ISLAM DI MASA RASUL
1.Situasi masyarakat arab pra islam
Sebelum nabi SAW diutus, orang-orang rab adalah umat yang tidak memiliki aturan dan mereka di kendalikan oleh kebiadaban, dianungi oleh kegelapan dan kejahilan, serta tidak ada agama yang mengikat dan undang-undang yang harus mereka patuhi. Akibat dari ini penuhnya jiwa mereka dengan akidah yang batil. Setiap kelompok dari mereka melihat kebenaran dari apa yang tumbuh dan di wariskan baak-bapak mereka, dan melihat keagungan dari apa yang tersebar dan dikenal diantara kabilahnya. Hanya sedikit dari mereka yang berjalan dengan aturan yang dapat mengelesaikan perselisihan mereka, adap yang dianggap baik serta langkah yang mulia. Namun demikian, ketetapan itu bukan merupakan undang-undang yang tertulis yang di jiadikan rujukan dalam mengelesaikan perselisihan dan menjaga hak-hak mereka, tapi hanya merupakan ketetapan yang sedikit sekali pemmfaatanya. tidak cukup merealisasikan aturan dan mencegah sipembuat kerusakan.
2. Kondisi Hukum Islam Pada Masa Kenabian
Islam datang untuk seluruh umat manusia, akan tetapi di mulai dengan perbaikan orang-orang arab yang Allah pilih sebagai penolong agama dan pengerunya. keadaan orang-orang arab pada masa itu, sebagaimana telah kita ketahui dua perkara: Behalaisme dalam agama kekacauan dalam tatahanan masyarakat. keaadaan seperti ini mengharuskan adanya pengelamatan dari kebiadaban dan pembebasan mereka untuk ,mengokong agama Allah, dengan menanamkan kaidah tauhid pada hati mereka, mengarahkan mereka untuk mengiklasakn ibadah kepada dzat yang maha tinggi dan melepaskandari jiwa mereka akhlak yang tercela, menghapuskan adat yang buruk serta mencetak mereka berahklak mulia, berperangai terpuji, serta meletakan aturan yang jitu yang mencakup seluruh permasalahan mereka, agar mereka berjalan di atas petunjuk Allah dalam segala aspek kehidupan
C. P.ERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN IJTIHAD
Ijtihad bukanlah sumber hukum pada masa nabi, sumber hukum pada masa nabi hanyalah Al qur’an dan Sunnah, tetapi Rasulullah pernah melakukan ijtihad dalam sebagian hukum dan mengakui ijtihad sahabat dalam sebagian yang lainnya. Seperti izin beliau pada perang tabuk bagi orang-orang yang punya udzur berjihad dari kalangan orang-orang munafik untuk tidak ikut perang dan persetujuan beliau tehadap pendapat Abu Bakar yakni menerima tebusan tawanan perang badar. Pada masa Rasul ini, ijtihad dianggap sebagai salah satu sumber hukum disamping Alqur’an dan sunnah.
Nabi berijtihad ketika kebutuhan mendesak dan terlambat datangnya wahyu, kemudian setelah itu turun wahyu yang menguatkan ijtihadnya atau mengingatkan bila ada kesalahan, karenanya wahyu merupakan rujukan dalam ijtihadnya. Adapun ijtihad sahabat, juga dilakukan ketika terjadi kesulitan Nabi atau ketika khawatir hilangnya suatu kesempatan. Ketika mereka kembali kepada Rasulullah, mereka menjelaskan hukum yang mereka ijtihadkan, benar atau salah. Bila demikian rujukan mereka adalah sunnah
A. Sumber Hukum islam pada zaman Tabi’in
Secara umum, tabi’in mengikuti langkah-langkah penetapan dan penerapan hukum yang telah dilakukan sahabat dalam istinbath al-ahkam. Langkah-langkah yang mereka lakukan adalah sebagai berikut:
1) Mencari ketentuannya dalam Al-Qur’an
2) Apabila ketentuan itu tidak didapatka dalam Al-Qur’an mereka mencarinya dalam sunnah
3) Apabila tidak didapatkan dalam Al-Qur’an dan sunnah, mereka kembali kepada pendapat sahabat.
4) Apabila pendapat sahabat tidak diperoleh, mereka berijtihad.
Dengan demikian, sumber-sumber atau dasar-dasar hukum Islam pada periode ini adalah 1) Al-Qur’an, 2) Sunnah, 3) Ijma’ dan pendapat sahabat, 4) Ijtihad.
C. Pengaruh ahli hadis
Madrasah Madinah adalah ulama yang banyak berpegang teguh pada sunnah dan kaya dalam pemeliharaan sunnah. Oleh karena itu salah seorang imam yaitu imam malik, berpendapat bahwa ijma’ penduduk Madinah adalah hujah yang wajib diikuti.
Madrasah Ra’yu atau madrasah al-kufah adalah sekelompok ulama yang tinggal di kufah yang lebih banyak menggunakan ra’yu dibanding dengan madrasah Madinah. Sejak dibebaskan untuk keluar dari madinah, banyak sahabat tinggal di kufah.
Pada zaman tabi’in atau dinasti Banu Umayyah, ulama terbagi menjadi dua aliran, yaitu ulama yang tetap tinggal di Madinah dan akhirnya terbentuk aliran Madinah, dan sahabat yang keluar dari Madinah kemudian menetap di Kufah. Mereka menyebarkan hukum Islam yang pada akhirnya terbentuk hukum Islam corak Kufah. Ulama Madinah sangat berhati-hati dalam penggunaan ra’yu, sedangkan ulama Kufah relatif lebih longgar dalam penggunaan ra’yu.
. D Ahli rowi terhadap Hukum
a. Pemikiran hukum Islam Khawarij
Beberapa gagasan Khawaij tentang hukum Islam antara lain; pertama, umat Islam yang tegolong Jumhur atau Sunni percaya bahwa kepemimpinan mesti dipegang oleh Quraisy. Sedangkan menurut khawarij pemimpin umat Islam, tidak mesti keturunan Quraisy, setiap orang yang beragana Islam berhak menjadi pemimpin. Kedua, dalam al-Qur’an terdapat perempuan yang haram dinikah. Diantara yang haram dinikah adalah anak perempuan, banatukun. Menurut jumhur ulama, kata banat tidak terbatas pada anak tetapi mencakup pula cucu dan terus dalam garis keturunan ke bawah. Dengan demikian, jumhur berpendapat bahwa menikah dengan cucu (terus ke bawah) adalah haram. Khawarij berpendapat bahwa menikahi cucu perempuan adalah boleh, sebab yang diharamkan dalam al-Qur’an adalah anak, cucu tidak diharamkan.
b. Pemikiran hukum Islam Syiah
Secara umum, sumber hukum dalam pandangan Syiah adalah sebagai berikut: pertama, al-Qur’an dan Sunnah. Kedua, Syiah hanya menerima hadist dan pendapat dari imam Syiah dan ulama Syiah. Ketiga, Syiah menolak ijmak umum, menurut mereka dengan mengakui ijmak umum berarti mengambil pendapat selain pendapat imam Syiah.
c. Pemikiran hukum Jumhur
Jumhur yang dimaksud adalah jumhur ulama, yaitu ulama pada umumnya. Di antara pemikiran hukum Islam Jumhur adalah sebagai berikut:
- Penolakan terhadap keabsahan nikah mut’ah. Bagi Jumhur nikah mut’ah haram dilakukan.
- Jumhur menggunakan konsep ‘aul dalam pembagian harta pusaka.
- Nabi Muhammad saw tidak dapat mewariskan harta.
- Jumlah perempuan yang boleh dipoligami dalam satu periode adalah empat orang.
Syarat-Syarat Diterimanya Rawi
Jumhur dari imam hadits maupun fiqh sepakat bahwa terdapat dua syarat pokok perawi hadits:
Pertama, keadilan. Dengan memberi perhatian bahwa rawi itu harus seorang muslim, baligh, berakal, selamat dari sebab-sebab kefasikan, selamat dari cemarnya muru’ah (sopan santun).
Kedua, dlabith. Dengan memberi perhatian bahwa rawi itu tidak menyelisihi dengan rawi tsiqah, hafalannya tidak buruk, tidak parah kekeliruannya, tidak pelupa, dan tidak banyak persangkaannya.
Dengan Apa Keadilan Dipastikan?
Keadilan dapat dipastikan melalui salah satu dari dua hal:
Pertama, bisa dengan ketetapan dua orang yang adil, yaitu dua ulama ta’dil atau salah seorang dari mereka menetapkan keadilannya.
Kedua, bisa juga dengan ketenaran atau kepopuleran. Jadi, barangsiapa yang popular dikalangan ahli ilmu dan banyak yang memujinya, hal itu sudah cukup. Tidak diperlukan lagi penentuan adil baginya. Contoh imam-imam yang terkenal, seperti imam madzhab yang empat, dua Sofiyan, al-Auza’i.
Pendapat Ibnu Abdil Barr dalam Menetapkan Keadilan
Ibnu Abdil Barr berpendapat bahwa setiap orang yang memiliki ilmu, dikenal perhatiannya terhadap ilmunya, maka ia telah menyandang sifat adil hingga jelas (dijumpai adanya) jarh (cacat). Beliau beragumen dengan dalil, “Ilmu ini akan dibawa oleh setiap orang yang mengikuti keadilannya, terhindar dari penyimpangan orang-orang yang dusta, meniru-niru orang yang bathil, dan penafsiran orang-orang yang bodoh.” (HR. Ibnu ‘Adi dalam kitab Al-Kamil)
Pendapat beliau ini tidak diterima oleh para ulama karena haditsnya tidak shahih. Malah, tidak bisa tidak bisa men-shahih-kannya sebab makna dari ilmu ini diemban oleh setiap orang yang adil, realitanya justru ada juga orang-orang yang tidak adil mengembannya.
Bagaimana mengetahui rawi yang dlabith?
Rawi yang dlabith dapat diketahui melalui kesesuaian riwayatnya dengan rawi tsiqah yang cermat. Jika riwayatnya itu lebih banyak yang sesuai dengan rawi-rawi yang tsiqah, maka ia dlabith. Dan hal itu tidak rusak meskipun ada sedikit riwayatnya yang menyelisihi mereka. Namun, jika banyak dari riwayatnya itu menyelisihi riwayat rawi-rawi tsiqah, maka ke-dlabith-annya bisa hilang dan tidak bisa dijadikan hujjah.
Apakah Jarh dan Ta’dil itu Dapat Diterima Tanpa Penjelasan?
Pertama, mengenai ta’dil, dapat diterima walaupun tidak disebutkan sebab-sebabnya. Ini menurut pendapat yang shahih dan popular. Karena penyebab ta’dil itu amat banyak, sulit untuk membatasinya. Jika itu diperlukan, maka seorang mu’adil (yang menetapkan keadilan seseorang) akan mengatakan, “lam yaf al kadza (dia tidak melakukan hal itu), lam yartakibu kadza (dia tidak terjerumus dalam perbuatan itu). Atau mengatakan, huwa yaf’alu kadza (dia melakukan hal itu), wa yaf’alu kadza wa kadza (dia melakukan hal itu dan hal itu).”
Kedua, mengenai jarh, tidak diterima kecuali dengan menjelaskan sebab-sebabnya karena tidak sulit untuk dijelaskan. Terdapat perbedaan pendapat mengenai sebab-sebab jarh. Kadangkala seseorang men-jarh dengan sesuatu yang tidak masuk kategori jarh. Ibnu Shalah berkata, “Hal ini sudah jelas menjadi keputusan dalam ilmu fiqh dan ushul. Imam Al-Hafidz Al-Khatib menyebutkan bahwa itu merupakan pendapat para imam huffadz hadits. Tetapi, Imam Bukhari, Muslim, dan lainnya mengkritik hal itu. Oleh karena itu, Bukhari tetap beargumen dengan sekelompok orang (generasi terdahulu yang terkena jarh─tetapi bukan ditetapkan oleh dirinya), seperti Ikrimah dan Amru bin Marzuq. Begitu pula yang dilakukan Muslim terhadap Suwaid bin Sa’id dan sekelompok orang yang dikenal cacat. Hal yang sama dilakukan oleh Abu Daud. Ini menunjukkan bahwa jarh tidak bisa ditetapkan kecuali jika disertai penjelasan mengenai penyebab (jarh)-nya.”
Apakah Jarh dan Ta’dil Bisa Dengan Ketetapan Seorang Saja?
Pendapatnyang benar adalah bahwa jarh dan ta’dil bisa diterapkan oleh satu orang. Ada pula yang berpendapat bahwa hal itu harus dua orang.
Terhimpunnya Jarh dan Ta’dil Pada Seorang Rawi
Apabila dalam diri seorang rawi terhimpun jarh dan ta’dil, maka:
Pertama, yang dijadikan sandaran adalah jarh-nya, jika jarh-nya disebutkan.
Kedua, ada juga yang berpendapat jika lebih banyak jumlah orang yang men-ta’dil-nya dibandingkan dengan yang men-jarh-nya, maka didahulukan ta’dil-nya. Ini pendapat yang lemah, tidak bisa dijadikan sebagai sandaran.
Hukum Riwayat Orang yang Adil Dari Seseorang
• Riwayat orang (rawi) yang adil dari seseorang, tidak dianggap sebagai pen-ta’dil-annya terhadap orang itu. Ini pendapat mayoritas, dan ini pendapat yang benar. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa orang itu di-ta’dil-kan.
• Perbuatan orang-orang alim dan fatwa-fatwanya yang sesuai dengan hadits tidak bisa dihukumi sebagai shahih. Dan pertentangannya tidak bisa dijadikan sebagai cela atas ke-shahih-annya maupun riwayatnya. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa hal itu justru menunjukkan ke-shahih-annya. Ini merupakan pendapat Al-Amidi dan yang lainnya dari kalangan ahli ushul.
Hukum Riwayat Orang yang Telah Bertaubat dari Sifat-Sifat Fasik
• Riwayat dari orang fasik yang sudah bertaubat dapat diterima.
• Riwayat orang yang bertaubat dari perbuatan dusta terhadap hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak dapat diterima.
Hukum Riwayat Orang yang Mengambil Upah
• Sebagian berpendapat tidak bisa diterima. Ini pendapat Ahmad, Ishak, dan Abi Hatim.
• Sebagian lain berpendapat bisa diterima. Ini pendapat Abu Nu’aim Al-Fadl bin Dzukain.
• Abu Ishak as-Syaizari berpendapat, bagi orang yang kesulitan memperoleh penghidupan untuk mencukupi kebutuhan keluarganya karena kesibukannya dalam mencari hadits, dibolehkan mengambil upah.
Hukum Riwayat Orang yang Dikenal Menggampangkan atau Menerima Talqin, atau Banyak Lupa
Pertama, riwayat orang yang menggampangkan dalam mendengar maupun mendengarkan tidak bisa diterima seperti tidak memperhatikan tatkala mendengar hadits karena tertidur, atau menceritakan hadits dari sumbernya tanpa melakukan pengecekan.
Kedua, riwayat orang yang dikenal menerima talqin dalam hadits tidak bisa diterima, yaitu orang yang mengajarkan hadits dari orang yang tidak tahu bahwa itu merupakan haditsnya.
Ketiga, tidak menerima riwayat dari orang yang dikenal banyak lupa dalam periwayatan.
Hukum Riwayat Orang yang Menyampaikan Hadits lalu Lupa
Definisi orang yang menyampaikan hadits lalu lupa, yaitu jika seseorang syaikh tidak ingat terhadap riwayat yang diceritakan muridnya, dan riwayat itu ternyata darinya.
Hukum riwayatnya:
• Ditolak, jika peniadaannya bersifat pasti, karena adanya perkataannya, “ma rawituhu (aku tidak meriwayatkannya),” atau “huwa yakdzibu ‘alayya (dia berdusta terhadapku),” dan sejenisnya.
• Diterima, jika peniadaannya bersifat tidak pasti, seperti perkataan, “la a’rifu (aku tidak tahu),” atau “la adzkuruhu (aku tidak ingat),” dan sejenisnya.
Apakah penolakan suatu hadits dapat dianggap cacat terhadap salah satu dari keduanya? Penolakan dari suatu hadits tidak dianggap sebagai cacat terhadap salah satu dari keduanya, sebab salah satu dari keduanya lebih parah cacatnya dibandingkan yang lainnya.
Contoh: Hadits riwayat Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah yang merupakan riwayat dari Rabi’ah bin Abi Abdurrahman dari Suhail bin Abi Shaleh dari bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memutuskan (dengan hanya berlandaskan pada) sumpah dan seorang saksi. Abdul Aziz bin Muhammad Ad-Dawardi berkata, “Telah bercerita kepadu Rabi’ah bin Abi Abdurrahman dari Suhail. Lalu aku berjumpa dengan Suhail. Aku bertanya kepadanya mengenai (rantai hadits tersebut) yang berasal darinya, namun dia tidak mengetahuinya. Maka aku berkata, “Telah bercerita kepadaku dari Rabi’ah, dari engkau, begini….dan begini….” Setelah itu, Suhail berkata, “Telah bercerita kepadaku Abdul Aziz dari Rabi’ah dari aku bahwasanya aku menceritakan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’ begini….begini…”
BAB III
PENUTUP
2.1 Kesimpulan
Sebelum kita membahas tentang kondisi hukum Islam pada masa tabi’in, maka seyogyanya kita ketahui terlebih dahulu apa itu sahabat tabi’in. Tabi’in adalah setiap muslim yang belum sempat melihat Nabi Muhammad SAW namun ia sempat melihat dan bertemu dengan sahabat, baik ia meriwayatkan atau tidak darinya.
Dari penjelasan ini jelas bahwa tabi’in tidak harus melihat baginda Rasulullah SAW sebab jika ia melihatnya, itu artinya ia termasuk sahabat Rasulullah SAW. Selain itu juga tidak diisyaratkan harus bertemu dengan sahabat seperti yang dikuatkan oleh ulama hadis, tidak diisyaratkan harus meriwayatkan hadis dari seorang sahabat, namun cukup hanya melihat dan bertemu ketika ia sudah berusia tamyiz (baligh).
Al Quran telah memberikan isyarat tentang adanya tabi’in dalam firman Allah SWT :
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (QS. At- Taubah (9) : 100)
Firman Allah SWT ”Dan orang-orang yang mengikuti mereka” merupakan isyarat yang jelas akan keberadaan tabi’in. Merujuk penamaan ini, tabi’in adalah semua orang yang pernah bertemu dengan sahabat, baik murid, kawan dari berbagai penjuru dunia yang datang ingin mendengar fatwa, menghimpun ucapan, perbuatan, dan mengetahui segala keputusan mereka dalam berbagai permasalahan yang diperdebatkan, mereka menjadi lembaran hidup bagi setiap ucapan dan perbuatan sahabat.
1. Luasnya wilayah
Sebagian orang yang daerahnya dikuasai umat islam menjadi penganut islam. Kemudian mereka belajar agama islam dibawah bimbingan para imam. Di antara ulama yang menjadi guru adalah penghafal hadits, Alqur’an, penafsir alqur’an, dan penjelas Al – sunnah. Mereka mulai memasuki persaingan dalam pengembangan ilmu, diantaranya ilmu kedokteran, ilmu logika karya Aristoteles dan sebagainya.
2. Luasnya ilmu pengetahuan
Dalam bidang ilmu kalam terjadi berbagai perdebatan : setiap kelompok memiliki cara berpikir tersendiri dalam memahami akidah islam. Selain itu, saat terjadi pula pertarungan pemikiran antara mutakallimin, muhaditsin, dan fuqoha.
3. Adanya upaya umat islam untuk melestarikan Alqur’an
Baik yang dicatat, termasuk yang dikumpulkan dalam satu mushaf, maupun yang dihafal. Pelestarian alqur’an melalui hafalan dilakukan dengan mengembangkan cara membacanya, sehingga saat ini dikenal corak – corak bacaan alqur’an.
DAFTAR PUSAKA
Anwar, Syamsul. 2007. Hukum Perjanjian Syari’ah Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Abu Ishaq Ibrahim asy – Syathibi, ttp., Al Muwafaqat fi Usul asy Syari’ah. Mesir.
Abdurrahman asy – Syarqawi, 1994. Kehidupan, Pemikiran dan Perjuangan Lima Imam Mazhab Terkemuka, terjemahan Mujiyo Nurkhalis
Hasan, Husin Hamid. 1971. Nasari at al – Maslahat fi fiqh Islami.
Khallaf, Abdul Wahhab. 1995. Ikhtisar Sejarah Pembentukan Hukum Islam.
Rochman , Ibnu. .......... Hukum Islam dalam Perspektif Filsafa
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar