Rabu, 09 Juli 2014
jawaban uas FIQIH(VENA VULVENA)
JAWABAB UAS FIQIH
SURAT AL BAQARAH AYAT 228-230 (MENJELASKAN DARI SEGI MUNAKAHAT)))
Pelajaran dari Ayat 228
Wajibnya menunggu selesainya masa iddah bagi seorang wanita yang di thalaq (dicerai) yaitu selama tiga quru’ (tiga kali haid atau tiga kali suci dari haid).
Kuatnya dorongan atau keinginan seorang wanita untuk menikah lagi, karena firman Allah diatas menyatakan, “hendaklah menahan diri (menunggu)”, seolah-olah dalam diri wanita tersebut terdapat sesuatu yang menganjurkan agar terputusnya hubungannya dengan yang pertama.
Wajibnya menunggu masa iddah dalam tiga quru’ (tiga kali haid atau tiga kali suci dari haid) bagi setiap wanita yang di thalaq (dicerai) secara muthlaq baik talaq bain, ataupun talaq raj’I sesuai keumuman ayat diatas. Kecuali jenis thalaq berikut ini:
Wanita dithalaq ketika masih belum baligh (belum haid) karena masih kecil, maka masa iddahnya adalah 3 bulan, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah, “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.” (QS. Ath-Thalaq : 4)
Wanita yang dicerai sedang ia sudah tidak haid lagi (monopause), maka masa iddahnya juga 3 bulan, sebagaimana ayat yang baru disebutkan.
Wanita dicerai dalam keadaan hamil maka masa iddahnya adalah hingga ia melahirkan, sebagaimana lanjutan ayat tersebut diatas, “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath-Thalaq : 4)
Wanita dicerai sedang ia belum digauli (berhubungan suami istri), maka tidak ada masa iddah baginya, sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya…” (QS. Al-Ahzab : 49)
Bagi siapa yang berpisah dari hubungan suami istri bukan karena sebab cerai (thalaq) maka masa iddahnya bukan tiga kali haid atau suci dari haid, seperti wanita yang menggugat cerai (minta khulu’) maka cukup dengan menunggu satu kali haid (untuk kejelasan kondisi rahimnya apakah hamil atau tidak).
Dan bagi wanita yang suaminya meninggal dunia maka masa iddahnya adalah 4 bulan sepuluh hari, sebagaimana firman Allah, “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.” (QS. Al-Baqarah : 234)
Diharamkan bagi seorang wanita yang dicerai menyembunyikan apa yang ada di dalam rahimnya, baik berupa haid atau kehamilan yang Allah ciptakan dalam rahim wanita tersebut, dengan tendensi apapun, karena akan menimbulkan mafsadah sebagaimana yang telah dijelaskan diatas.
Adanya hak mutlaq bagi seorang suami untuk ruju’ kepada istrinya sebelum habisnya masa iddah. Dan dalam masa iddah tersebut suami dihukumi masih sebagai suaminya, sebagaiman ayat, “Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu”. Ini adalah penetapan bahwa ia adalah masih suaminya.
Tidak dihalalkan wanita tersebut dikhitbah (dilamar) atau dinikahkan dengan laki-laki lain selama masih dalam masa iddah.
Tidak dibolehkan bagi mantan suami untuk ruju’ setelah habisnya masa iddah, kecuali dengan akad nikah yang baru dengan memenuhi syarat-syarat pernikahan pada umumnya.
Adanya penetapan kepemimpinan dan keutamaan seorang laki-laki terhadap wanita, karena Allah telah memberikan kepada mereka kaum laki-laki kelebihan-kelebihan dan keistimewaan tersendiri yang tidak diberikan kepada kaum wanita.
Penetapan adanya ‘Hari Akhir’, dan masih banyak lagi faidah dan pelajaran dari ayat yang disebutkan oleh para ulama mufassirin dalam kitab-kitab tafsir mereka, silahkan meruju’ kembali kepada kitab-kitab tersebut untuk menambah pengetahuan. Wallahu a’lam
elajaran dari Ayat : 229
Merupakan hikmah dan rahmat Allah Ta’ala yang membatasi jumlah thalaq dengan tiga kali saja, tidak ada ruju’ lagi setelah jatuh thalaq tiga kecuali istrinya dinikahi oleh orang lain terlebih dahulu; karena pada masa Jahiliyah dulu seseorang menthalaq istrinya dengan berkali-kali, apabila masa iddah hampir selesai ia meruju’nya kemudian ia thalaq lagi, maka berulanglah masa iddah dari awal lagi lalu jika masa iddah hampir selesai ia pun meruju’nya kembali demikian seterusnya… sehingga wanita menjadi sangat tersiksa, dia bukan seorang istri sebagaimana pada umumnya, bukan pula ia seorang yang diceraikan karena masih dalam ikatan masa iddah. Menjadilah wanita tersebut seorang yang terkatung-katung. Maka Allah Ta’ala membatasi thalaq menjadi hanya tiga kali saja.
Pengulangan yang dianggap (terbanyak) terhadap suatu ucapan atau perbuatan adalah dengan tiga kali. Hal ini banyak sekali contohnya, diantaranya : pengucapan salam terbanyak adalah tiga kali, meminta izin (untuk masuk rumah misalnya) terbanyak adalah tiga kali, pengulangan suatu pembicaraan apabila belum dipahami adalah tiga kali, pengulangan dalam berwudhu terbanyak adalah tiga kali dan lain sebagainya. Maka dapat disimpulkan bahwa pengulangan yang dianggap cukup (terbanyak) adalah dengan bilangan ‘tiga kali’.
Jumlah thalaq yang dibolehkan bagi suami untuk ruju’ adalah dua kali, thalaq satu dan thalaq dua, lalu bagi siapa yang menthalaq istrinya dengan thalaq yang kedua kemudian ruju’ lagi maka ada dua pilihan baginya setelah itu : mempertahankan tali pernikahannya dengan baik selama hidupnya atau ia menceraikannya lagi (dengan thalaq ketiga) dengan cara yang baik, jika ia menthalaqnya maka tidak halal lagi baginya kecuali istrinya telah menikah lagi dengan laki-laki lain.
Haramnya thalaq tiga dalam sekali ucapan (seperti ucapan ‘Kamu saya talaq tiga sekaligus’ pen.), karena Allah Ta’ala berfirman, “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali.” Maksudnya, seseorang mengucapkan kata talaq kepada istrinya langsung talaq tiga, ucapan seperti ini adalah termasuk talaq bid’iy (talaq yang bid’ah) dan jumhur ulama berpendapat bahwa walaupun demikian ia tetap jatuh talaq tiga secara langsung. Dan selain jumhur berpendapat bahwa hal itu adalah talaq bid’iy akan tetapi hanya jatuh talaq satu saja, dalil mereka adalah ayat tersebut diatas (“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali.”) dan (“Wanita-wanita yang di talaq hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’), thalaq dengan lafadz thalaq tiga sekaligus maka didalamnya tidak ada 2x thalaq raj’i seperti dalam ayat, tidak pula masa quru’ sehingga ini termasuk bid’ah. Dan tidaklah lafadz tersebut menjadi thalaq ba’in (jatuh thalaq tiga), akan tetapi hanya jatuh thalaq satu saja.
Wanita yang dithalaq tiga tidaklah halal bagi suami yang menceraikannya sehingga wanita tersebut menikah dengan laki-laki lain (dan iapun mencampurinya) lalu laki-laki yang menikahinya tadi menceraikannya atau meninggal. Maka setelah itu baru suami pertama tadi boleh menikahinya lagi.
Disyari’atkannya khulu’, yaitu seorang wanita yang tidak suka untuk meneruskan rumah tangganya bersama suaminya, lalu ia meminta untuk diceraikan dari suaminya dengan memberikan sejumlah harta kepada suaminya sebagai ganti dari mahar yang telah diberikan kepadanya ketika dia menikah. Hal itu jika keduanya atau salah satu dari keduanya khawatir tidak dapat melaksanakan hukum-hukum Allah. Adapun jika kondisi keduanya tidak ada masalah maka tidak diperbolehkan bagi seorang istri meminta cerai (khulu’), sebagaimana hadits rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wanita mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan apapun maka haram baginya baunya surga”. (HR. Ahmad, Abu Daud dan lainnya, dan dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani)
Boleh khulu’ dengan meminta lebih dari mahar atau apa yang telah ia berikan kepada isrtinya, sesuai keumuman ayat, “tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya", bayaran berjumlah banyak atau sedikit. Ada pula yang mengatakan bahwa umumnya ayat tersebut dikembalikan ke ayat, "Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka,”sehingga maknanya : bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya dari aapa-apa yang telah kamu berikan kepada mereka. Maka dari sini dapat disimpulkan (sebagaimana yang diungkapkan Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah), “Maka jika istri tersebut yang berbuat buruk lalu meminta cerai (khulu’) maka tidak apa-apa suaminya mengambil darinya lebih banyak dari apa yang telah ia berikan, dan jika tidak demikian maka suami tidak boleh mengambil melebihi pemberiannya.”
Wanita yang meminta khulu’ bukanlah raj’iyah, maksudnya : bahwa perpisahan sebuah hubungan pernikahan yang disebabkan karena khulu’ maka itu adalah perpisahan selamanya yang tidak ada jalan untuk ruju’ kepadanya kecuali dengan aqad nikah baru.
Bolehnya seorang wanita menggunakan hartanya sendiri tanpa izin suaminya, sesuai ayat, “tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya”.
Wajib menahan diri dan berhenti terhadap batasan-batasan Allah dan haramnya melanggar batasan-batasan tersebut.
Diharamkan bagi seorang suami mengambil apa-apa yang telah diberikan kepada istri baik mahar atau lainnya, kecuali ia menthalaq istrinya sebelum dicampuri maka boleh baginya mengambil separoh dari maharnya berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah : 237.
Haramnya berbuat zalim, yang mana kezaliman terdapat tiga macam :
Pertama, perbuatan syirik, yang hal ini tidak akan diampuni kecuali dengan bertaubat.
Kedua, kezaliman seorang hamba kepada sesamanya, hal ini harus meminta keridhaan dari orang yang dizalimi.
Ketiga, kezaliman seorang hamba kepada diri sendiri dengan melanggar batasan-batasan Allah. Maka hal ini sesuai dengan kehendak Allah, jika Allah berkehendak maka ia diampuni, dan jika Dia berkehendak maka ia akan diazab.
Pelajaran dari Ayat:230
Diharamkan bagi suami yang mentalaq istrinya dengan talaq tiga menikahi istri yang ditalaqnya tersebut, kecuali wanita tersebut telah menikah dengan laki-laki lain, sesuai dengan ayat, “maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain”.
Bahwa pernikahan dari laki-laki yang kedua dengan jalan yang tidak sah (dibolehkan secara syari’at) adalah tidak menjadikan halal bagi suami yang pertama, dan tidaklah ia (laki-laki kedua) menjadi suaminya kecuali dengan ‘aqad yang sah. Pernikahan yang dianggap tidak sah adalah, seperti pernikahan dengan niat untuk menghalalkan suami yang pertama, nikah dengan sah akan tetapi belum melakukan hubungan suami istri (jimak), maka keduanya tidak menjadikan suami pertama halal bagi wanita tersebut.
Halalnya wanita yang ditalaq tiga bagi suami pertama adalah setelah suami yang kedua berpisah dengannya baik dengan cara cerai, meninggal atau lainnya, sesuai ayat “Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali”, zhahir ayat ini menyatakan bahwa, ‘wanita tersebut halal bagi suami pertamany hanya dengan sebatas melakukan aqad lalu bercerai dengan suami kedua’, akan tetapi hal itu telah dijelaskan oleh hadits rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa hal itu dengan syarat suami kedua telah berhubungan badan (jimak) dengannya. Sebagaimana kisah istri Rifa’ah al-Qurazhi telah ditalaq dengan talaq tiga oleh Rifa’ah, lalu istrinya menikah lagi dengan laki-laki lain yaitu Abdur Rahman bin az-Zabiir (sedang dia tidak mampu melakukan jimak), lalu istri Rifa’ah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Rifa’ah telah menceraikanku (dengan talaq tiga), lalu setelah itu saya menikah dengan Abdur Rahman bin az-Zabiir, dan tidaklah ia kecuali seperti ujung baju (dengan menunjukkan ujung bajunya), maka nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bertanya kepadanya, “Apakah engkau ingin kembali kepada Rifa’ah (suaminya yang pertama)?!… tidak, sehingga engkau merasakan madunya dan ia (Abdur Rahman) merasakan madumu”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan dalam ayat “maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk ruju’ kembali” . maksud rju’ tersebut adalah dengan aqad nikah baru bukan ruju’ seperti masa iddah ketika talaq satu dan dua.
Bahwasanya tidak dibolehkan keduanya untuk kembali melakukan aqad nikah lagi kecuali keduanya memiliki dugaan kuat akan mampu melaksanakan hukum-hukum Allah, yaitu dapat memperbaharui hubungan mereka dengan baik dalam menunaikan hak dan kewajiban masing-masing, berdasarkan ayat “maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah”. Karena jika tidak memenuhi syarat ini maka ia akan melakukan aqad yang sia-sia dan melelahkan saja serta rugi secara harta, karena keduanya tidak mampu menjamin untuk kembali kekeadaan awal dulu yang meyebabkan rumahtangganya berantakan.
Dalam perkara-perkara yang belum terjadi atau yang akan datang maka cukup dengan perkiraan atau dugaan kuat, karena meminta keyakinan dengan seyakin-yakinnya adalah sesuatu yang merupakan diluar kemampuan manusia, dan Allah berfirman “Wahai Rabb kami janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya…” (al-Baqarh : 286) dijelaskan dalam hadits riwayat Muslim bahwa Allah berfirman “Aku telah melakukannya”.
Bimbingan Allah terhadap hamba-hambaNya dengan menjelaskan kewajiban-kewajiban mereka dalam beribadah, muamalah diantara sesama agar tidak terjadi kekacauan tau rusaknya hubungan yang dapat berakibat keapada permusuhan dan pertikaian.
Bahwa setiap yang menyelisihi apa-apa yang disyariatkan oleh Allah maka bukan termasuk hukum-hukum Allah, sebagaimana ayat,“diterangkanNya kepada kaum yang (mau) mengetahui”.
Agungnya perkara ‘nikah’ karena Allah Ta’ala menyebutkan batasan-batasan dalam melakukan aqad nikah itu dan penghalalannya serta pengharamannya, yang demikian itu juga karena muncul dari hal ini permasalahan-permasalan lain yang sangat banyak seperti hubungan mahram, nasab, hak waris, hak-hak suami istri dan lainnya. Wallahu a’lam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar