Rabu, 09 Juli 2014

MAKLAH ARAB PRA ISLAM(VENA VULVENA)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Arab sebelum lahirnya Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai bangsa yang sudah memiliki kemajuan ekonomi. Letak geografis yang yang cukup strategis membuat Islam yang diturunkan di makkah menjadi cepat disebarluaskan ke berbagai wilayah disamping juga didorong oleh faktor cepatnya laju perluasan wilayah yang dilakukan umat Islam, dan bahkan bangsa Arab telah dapat mendirikan kerajaan diantaranya Saba’, Ma’in dan Qutban serta Himyar yang semuanya berasa di wilayah Yaman. Di sisi lain, kenyataan bahwa al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan diturunkan dalam konteks geografis Arab, mengimplikasikan sebuah asumsi bahwa suatu pemahaman yang komprehensif terhadap al-Qur’an hanya mungkin dilakukan dengan sekaligus melacak pemaknaan dan pemahaman pribadi, masyarakat dan lingkungan mereka yang menjadi audiens pertama al-Qur’an, yaitu Muhammad dan masyarakat Arab saat itu dengan segala kultur dan tradisinya. Dan untuk memiliki pengertian yang sebenar-benarnya tentang asal mula Islam, maka satu hal yang perlu diketahui adalah bagaimana keadaan Arab sebelum adanya Islam, Muhammad, dan sejarah Islam terdahulu. B. Rumusan Masalah Dalam penjelasan makalah berikut akan membahas dan memecahkan masalah-masalah yang kami rumuskan sebagai berikut : bagaimana keadaan Arab pra islam? Bagaimana sisitem sosial dan politik pra islam? Bagaimana kepercayaan dan kebudayaan masyarakat pra islam? BAB II PEMBAHASAN A. Letak Geografis Arab Masa seblum lahirnya islam disebut zaman Jahiliyah. Zaman ini terbagi atas dua periode, yaitu jahiliyah pertama dan jahilyah kedua. Jahilayah pertama meliputi masa yang sangat panjang, tetapi tidak banya yang bisa diketahui hal ihwalnya dan sudah lenyap sebagian besar masyrakat pendukungnya. Adapun jahiliyah kedua sejarahnya bisa diketahui agak jelas. Zaman jahiliyah kedua ini berlangsung kira-kira 150 tahun sebelum islam lahir. Kata jahiliyah bersal dari kata jahl tetapi yang dimaksud disini bukan jahl lawan dari ‘ilm, melainkan lawan dari hilm. Daerah tanah Arab atau Jazirah Arab, atau semenanjung Arab itu, terletak disebelah barat daya Benua Asia. Sebelah utara berbatasan dengan negeri Palestina, perkampungan Badui Syam, dan negeri Irak. Disebelah timur berbatasan dengan teluk Parsi, teluk Oman. Ke selatan lautan hindia dan teluk Aden . Ke barat selat Babel Mandeb, laut merah dan terusan Suez. Tanah diantara port said dengan Aden itu panjangnya sampai 5000 mil, dan diantara Babel Mandeb dengan Rasul Hadd 1300 mil. Antara port Said sebelah selatan dengan sungai Furad 600 mil. Adapun luas semenanjung Arabia itu sampai 1.200.000 mil persegi, atau 3.000.000 kilometer persegi. Ahli ilmu bumi R. Blanchard mengatakan sampai 3.700.000 kilometer persegi. Keadaan tanahnya sebagian besar terdiri dari Padang Pasir tandus,bukit dan batu, terutama bagian tengah. Sedang bagian selatan atau bagian pesisir pada umumnya tanahnya cukup subur. Untuk wilayah bagian Tengah terbagi pada : 1. Sahara Langit atau disebut pula Sahara Nufud memanjang 140 mil dari utara keselatandan 180 mil dari timur ke barat. Oasedanmataairsangat 2. jarang,tiupananginaseringkalimenimbulkankabutdebuyangmengakibatkandaerahinisukarditempuh. 3. Sahara Selatan disebut al-u'ul Khali yang membentang danmenyambung saharaLangitkearahtimursampaiselatanPersia. HampirseluruhnyamerupakandaratanKeras, tandusdanpasirbergelombang. 4. Sahara Harrat suatu daerah yang terdiri dari tanah liat yang berbatu hitam bagaikanTerbakar. Gugusan batu-batu hitam itu menyebar di keluasan Sahara ini, seluruhnya Mencapai 29 buah. Kondisi alam/tanah adalah: • Kering dan tandus, kalaupun ada air hanyalah Oase atau Mata Air ini. • Menyebabkan penduduknya suka berpindah-pindah (Nomaden) dari satu wilayah ke wilayah lain, oleh para ahli mereka disebut suku Badui. • Dari segi pekerjaan mereka umumnya bekerja menggembalakan kambing dan binatang ternak lainnya. Sementara wilayahbagianPesisir, yaitu terdiri wi¬layah pesisirLautMerah, SamuderaHindiadanTeluk Persi, sehinggakondisitanahnya : • Sangat subur, di tempat ini banyak dilakukan usaha perta¬nian. • Di samping itu juga dilakukan usaha perdagangan. • Penduduknyamenetapdansangatpadat. Penduduknya pada masa ini adalah diantara 12 dengan 14 juta. B. ARAB PRA ISLAM Haruslah kita ketahui walaupun agak sedikit keadaan bangsa Arab sebelum datang agama Islam, karena bangsa Arablah bangsa yang mula-mula menerima agama Islam. Sebelum datang agama Islam, mereka telah mempunyai berbagai macam agama, adat istiadat, akhlak dan peraturan-peraturan hidup. Agama baru ini pun datang membawa akhlak, hukum-hukum dan peraturan-peraturan hidup. Jadinya agama baru ini datang kepada bangsa yang bukan bangsa baru. Maka bertemulah agama Islam dengan agama-agama jahiliah, peraturan-peraturan Islam dengan peraturan-peraturan bangsa Arab sebelum Islam. Kemudian terjadilah pertarungan yang banyak memakan waktu. Pertarungan-pertarungan ini baru dapat kita dalami, kalau pada kita telah ada pengetahuan dan pengalaman sekedarnya, tentang kehidupan bangsa Arab, sebelum datangnya agama Islam. Cara semacam ini perlu juga kita pakai, bilamana kita hendak memperkatakan masuknya agama Islam ke Indonesia, Mesir atau Siria. Kita harus mengetahui sekedarnya keadaan negeri-negeri ini sebelum datangnya agama Islam, karena pengetahuan kita tentanghal itu akan menolong kita untuk mengenal dengan jelas, betapa caranya masing-masing negeri ini menyambut kedatangan agama Islam. Bagsa Arab seperti yang akan kita terangkan nanti, terbagi atas dua bahagian, yaitu: penduduk gurun pasir dan penduduk negeri. Sejarah bangsa Arab penduduk gurun pasir hampir tidak dikenal orang. Yang dapat kita ketahui dari sejarah mereka hanyalh yang dimulai dari kira-kira lima puluh tahun sebelum Islam. Adapun yang sebelum itu tidaklah dapat diketahui. Yang demikian disebabkan karena bangsa Arab penduduk padang pasiritu terdiri atas berbagai macam suku bangsa yang selalu berperang-perangan. Peperangan-peperangan itu pada asal mulanya ditimbulkan oleh keinginan memelihara hidup, karena hanya siapa yang kuat sajalah yang berhak memiliki tempat-tempat yang berair dan padang-padang rumput tempat menggembalakan binatang ternak. Adapun si lemah, dia hanya berhak mati atau jadi budak. Peperangan-peperangan itu menghabiskan waktu dan tenaga; karena itu mereka tidakmempunyai waktu dan kesempatan lagi untuk memikirkan kebudayaan. Dan bilamana di antara mereka dapat bekerja, mencipta dan menegakkan suatu kebudayaan, datanglah orang lain memerangi dan meruntuhkannya. Dan lagi, mereka buta huruf. Oleh karena itu sejarah dan kehidupan mereka tiadalah dituliskan. Jadi, tidak ada bengunan-bangunan yang dapat melukiskan sejarah mereka; dan tidak ada pula tulisan-tulisan yang dapat menjelaskan sejarah itu. Adapun yang sampai kepada kita tentang orang-orang jaman dahulu itu, adalah yang diceritakan oleh kitab-kitab suci. Sejarah mereka, muali dari masa seratus lima puluh tahun sebelum Islam, dapat kita ketahui dengan perantaraan syair-syair atau cerita-cerita yang diterima dari perawi-perawi. Adapun sejarah bangsa Arab penduduk negeri, Adalah lebih jelas. Negeri-negeri mereka ialah: Jazirah Arab bahagian selatan, kerajaan Hirah dan Ghassan, dan beberapa kota ditanah Hejaz. C. SISTEM SOSIAL-BUDAYA ARAB PRA-ISLAM Sebagian besar daerah Arab adalah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah Yaman yang terkenal subur. Wajar saja bila dunia tidak tertarik, negara yang akan bersahabat pun tidak merasa akan mendapat keuntungan dan pihak penjajah juga tidak punya kepentingan. Sebagai imbasnya, mereka yang hidup di daerah itu menjalani hidup dengan cara pindah dari suatu tempat ke tempat lain. betah tinggal menetap di suatu tempat. Yang mereka kenal hanyalah hidup mengembara selalu, berpindah-pindah mencari padang rumput dan menuruti keinginan hatinya. Mereka tidak mengenal hidup cara lain selain pengembaraan itu. Seperti juga di tempat-tempat lain, di sini pun [Tihama, Hijaz, Najd, dan sepanjang dataran luas yang meliputi negeri-negeri Arab] dasar hidup pengembaraan itu ialah kabilah. Kabilah-kabilah yang selalu pindah dan pengembara itu tidak mengenal suatu peraturan atau tata-cara seperti yang kita kenal. Mereka hanya mengenal kebebasan pribadi, kebebasan keluarga, dan kebebasan kabilah yang penuh. Keadaan itu menjadikan loyalitas mereka terhadap kabilah di atas segalanya. Seperti halnya sebagian penduduk di pelosok desa di Indonesia yang lebih menjunjung tinggi harga diri, keberanian, tekun, kasar, minim pendidikan dan wawasan, sulit diatur, menjamu tamu dan tolong-menolong dibanding penduduk kota, orang Arab juga begitu sehingga wajar saja bila ikatan sosial dengan kabilah lain dan kebudayaan mereka lebih rendah. Ciri-ciri ini merupakan fenomena universal yang berlaku di setiap tempat dan waktu. Bila sesama kabilah mereka loyal karena masih kerabat sendiri, maka berbeda dengan antar kabilah. Interaksi antar kabilah tidak menganut konsep kesetaraan; yang kuat di atas dan yang lemah di bawah. Ini tercermin, misalnya, dari tatanan rumah di Mekah kala itu. Rumah-rumah Quraysh sebagai suku penguasa dan terhormat paling dekat dengan Ka’bah lalu di belakang mereka menyusul pula rumah-rumah kabilah yang agak kurang penting kedudukannya dan diikuti oleh yang lebih rendah lagi, sampai kepada tempat-tempat tinggal kaum budak dan sebangsa kaum gelandangan. Semua itu bukan berarti mereka tidak mempunyai kebudayaan sama-sekali. Sebagai lalu lintas perdagangan penting terutama Mekah yang merupakan pusat perdagangan di Jazirah Arab, baik karena meluasnya pengaruh perdagangannya ke Persia dan Bizantium di sebelah selatan dan Yaman di sebelah utara atau karena pasar-pasar perdagangannya yang merupakan yang terpenting di Jazirah Arab karena begitu banyaknya, yaitu Ukāẓ, Majnah, dan Dzū al-Majāz yang menjadikannya kaya dan tempat bertemunya aliran-aliran kebudayaan. Mekah merupakan pusat peradaban kecil. Bahkan masa Jahiliah bukan masa kebodohan dan kemunduran seperti ilustrasi para sejarahwan, tetapi ia merupakan masa-masa peradaban tinggi. Kebudayaan sebelah utara sudah ada sejak seribu tahun sebelum masehi. Bila peradaban di suatu tempat melemah, maka ia kuat di tempat yang lain. Ma’īn yang mempunyai hubungan dengan Wādī al-Rāfidīn dan Syam, Saba` (955-115 SM), Anbāṭ (400-105 SM) yang mempunyai hubungan erat dengan kebudayaan Helenisme, Tadmur yang mempunyai hubungan dengan kebudayaan Persia dan Bizantium, Ḥimyar, al-Munādharah sekutu Persia, Ghassan sekutu Rumawi, dan penduduk Mekah yang berhubungan dengan bermacam-macam penjuru. Fakta di atas menunjukkan bahwa pengertian Jahiliah yang tersebar luas di antara kita perlu diluruskan agar tidak terulang kembali salah pengertian. Pengertian yang tepat untuk masa Jahiliah bukanlah masa kebodohan dan kemunduran, tetapi masa yang tidak mengenal agama tauhid yang menyebabkan minimnya moralitas. Pencapaian mereka membuktikan luasnya interaksi dan wawasan mereka kala itu, seperti bendungan Ma’rib yang dibangun oleh kerajaan Saba`, bangunan-bangunan megah kerajaan Ḥimyar, ilmu politik dan ekonomi yang terwujud dalam eksistensi kerajaan dan perdagangan, dan syi’ir-syi’ir Arab yang menggugah. Sebagian syi’ir terbaik mereka dipajang di Ka’bah. Memang persoalan apakah orang Arab bisa menulis atau membaca masih diperdebatkan. Tetapi fakta tersebut menunjukkan adanya orang yang bisa mambaca dan menulis, meski tidak semuanya. Mereka mengadu ketangkasan dalam berpuisi, bahkan hingga Islam datang tradisi ini tetap ada. Bahkan al-Quran diturunkan untuk menantang mereka membuat seindah mungkin kalimat Arab yang menunjukkan bahwa kelebihan mereka dalam bidang sastra bukan main-main, karena tidak mungkin suautu mukjizat ada kecuali untuk membungkam hal-hal yang dianggap luar biasa. D. SISTEM POLITIK DAN KEMASYARAKATAN 1. Kondisi Politik Bangsa Arab sebelum islam, hidup bersuku-suku (kabilah-kabilah) dan berdiri sendiri-sendiri. Satu sama lain kadang-kadang saling bermusuhan. Mereka tidak mengenal rasa ikatan nasional. Yang ada pada mereka hanyalah ikatan kabilah. Dasar hubungan dalam kabilah itu ialah pertalian darah. Rasa asyabiyah (kesukuan) amat kuat dan mendalam pada mereka, sehingga bila mana terjadi salah seorang di antara mereka teraniaya maka seluruh anggota-anggota kabilah itu akan bangkit membelanya. Semboyan mereka “ Tolong saudaramu, baik dia menganiaya atau dianiaya “. Pada hakikatnya kabilah-kabilah ini mempunyai pemuka-pemuka yang memimpin kabilahnya masing-masing. Kabilah adalah sebuah pemerintahan kecil yang asas eksistensi politiknya adalah kesatuan fanatisme, adanya manfaat secara timbal balik untuk menjaga daerah dan menghadang musuh dari luar kabilah. Kedudukan pemimpin kabilah ditengah kaumnya, seperti halnya seorang raja. Anggota kabilah harus mentaati pendapat atau keputusan pemimpin kabilah. Baik itu seruan damai ataupun perang. Dia mempunyai kewenangan hukum dan otoritas pendapat, seperti layaknya pemimpin dictator yang perkasa. Sehingga adakalanya jika seorang pemimpin murka, sekian ribu mata pedang ikut bicara, tanpa perlu bertanya apa yang membuat pemimpin kabilah itu murka. Kekuasaan yang berlaku saat itu adalah system dictator. Banyak hak yang terabaikan. Rakyat bisa diumpamakan sebagai ladang yang harus mendatangkan hasil dan memberikan pendapatan bagi pemerintah. Lalu para pemimpin menggunakan kekayaan itu untuk foya-foya mengumbar syahwat, bersenang-senang, memenuhi kesenangan dan kesewenangannya. Sedangkan rakyat dengan kebutaan semakin terpuruk dan dilingkupi kezhaliman dari segala sisi. Rakyat hanya bisa merintih dan mengeluh, ditekan dan mendapatkan penyiksaan dengan sikap harus diam, tanpa mengadakan perlawanan sedikitpun. Kadang persaingan untuk mendapatkan kursi pemimpin yang memakai sistem keturunan paman kerap membuat mereka bersikap lemah lembut, manis dihadapan orang banyak, seperti bermurah hati, menjamu tamu, menjaga kehormatan, memperlihatkan keberanian, membela diri dari serangan orang lain, hingga tak jarang mereka mencari-cari orang yang siap memberikan sanjungan dan pujian tatkala berada dihadapan orang banyak, terlebih lagi para penyair yang memang menjadi penyambung lidah setiap kabilah pada masa itu, hingga kedudukan para penyair itu sama dengan kedudukan orang-orang yang sedang bersaing mencari simpati. 2. Kondisi Masyarakat Dikalangan Bangsa Arab terdapat beberapa kelas masyarakat. Yang kondisinya berbeda antara yang satu dengan yang lain. Hubungan seorang keluarga dikalangan bangsawan sangat diunggulkan dan diprioritaskan, dihormati dan dijaga sekalipun harus dengan pedang yang terhunus dan darah yang tertumpah. Jika seorang ingin dipuji dan menjadi terpandang dimata bangsa Arab karena kemuliaan dan keberaniannya, maka dia harus banyak dibicarakan kaum wanita. Karena jika seorang wanita menghendaki, maka dia bisa mengumpulkan beberapa kabilah untuk suatu perdamaian, dan jika wanita itu mau maka dia bisa menyulutkan api peperangan dan pertempuran diantara mereka. Sekalipun begitu, seorang laki-laki tetap dianggap sebagai pemimpin ditengah keluarga, yang tidak boleh dibantah dan setiap perkataannya harus dituruti. Hubungan laki-laki dan wanita harus melalui persetujuan wali wanita. Begitulah gambaran secara ringkas kelas masyarakat bangsawan, sedangkan kelas masyarakat lainnya beraneka ragam dan mempunyai kebebasan hubungan antara laki-laki dan wanita. Para wanita dan laki-laki begitu bebas bergaul, malah untuk berhubungan yang lebih dalam pun tidak ada batasan. Yang lebih parah lagi, wanita bisa bercampur dengan lima orang atau lebih laki-laki sekaligus. Hal itu dinamakan hubungan poliandri. Perzinahan mewarnai setiap lapisan masyarakat. Semasa itu, perzinahan tidak dianggap aib yang mengotori keturunan. Banyak hubungan antara wanita dan laki-laki yang diluar kewajaran, seperti : 1. Pernikahan secara spontan, seorang laki-laki mengajukan lamaran kepada laki-laki lain yang menjadi wali wanita, lalu dia bisa menikahinya setelah menyerahkan mas kawin seketika itu pula. 2. Para laki-laki bisa mendatangi wanita sekehendak hatinya. Yang disebut wanita pelacur. 3. Pernikahan Istibdha’, seorang laki-laki menyuruh istrinya bercampur kepada laki-laki lain hingga mendapat kejelasan bahwa istrinya hamil. Lalu sang suami mengambil istrinya kembali bila menghendaki, karena sang suami menghendaki kelahiran seorang anak yang pintar dan baik. 4. Laki-laki dan wanita bisa saling berhimpun dalam berbagai medan peperangan. Untuk pihak yang menang, bisa menawan wanita dari pihak yang kalah dan menghalalkannya menurut kemauannya. Banyak lagi hal-hal yang menyangkut hubungan wanita dengan laki-laki yang diluar kewajaran. Diantara kebiasaan yang sudah dikenal akrab pada masa jahiliyah ialah poligami tanpa da batasan maksimal, berapapun banyaknya istri yang dikehendaki. Bahkan mereka bisa menikahi janda bapaknya, entah karena dicerai atau karena ditinggal mati. Hak perceraian ada ditangan kaum laki-laki tanpa ada batasannya. Perzinahan mewarnai setiap lapisan mayarakat, tidak hanya terjadi di lapisan tertentu atau golongan tertentu. Kecuali hanya sebagian kecil dari kaum laki-laki dan wanita yang memang masih memiliki keagungan jiwa. Ada pula kebiasaan diantara mereka yang mengubur hidup-hidup anak perempuannya, karena takut aib dan karena kemunafikan. Atau ada juga yang membunuh anak laki-lakinya, karena takut miskin dan lapar. Disini kami tidak bisa menggambarkannya secara detail kecuali dengan ungkapan-ungkapan yang keji, buruk, dan menjijikkan. Secara garis besar, kondisi masyarakat mereka bisa dikatakan lemah dan buta. Kebodohan mewarnai segala aspek kehidupan, khurafat tidak bisa dilepaskan, manusia hidup layaknya binatang. Wanita diperjual-belikan dan kadang-kadang diperlakukan layaknya benda mati. Hubungan ditengah umat sangat rapuh dan gudang-gudang pemegang kekuasaan dipenuhi kekayaan yang berasal dari rakyat, atau sesekali rakyat dibutuhkan untuk menghadang serangan musuh. E. SISTEM KEPERCAYAAN DAN KEBUDAYAAN Kepercayaan bangsa Arab sebelum lahirnya Islam, mayoritas mengikuti dakwah Isma’il Alaihis-Salam, yaitu menyeru kepada agama bapaknya Ibrahim Alaihis-Salam yang intinya menyeru menyembah Allah, mengesakan-Nya, dan memeluk agama-Nya. Waktu terus bergulir sekian lama, hingga banyak diantara mereka yang melalaikan ajaran yang pernah disampaikan kepada mereka. Sekalipun begitu masih ada sisa-sisa tauhid dan beberapa syiar dari agama Ibrahim, hingga muncul Amr Bin Luhay, (Pemimpin Bani Khuza’ah). Dia tumbuh sebagai orang yang dikenal baik, mengeluarkan shadaqah dan respek terhadap urusan-urusan agama, sehingga semua orang mencintainya dan hampir-hampir mereka menganggapnya sebagai ulama besar dan wali yang disegani. Kemudian Amr Bin Luhay mengadakan perjalanan ke Syam. Disana dia melihat penduduk Syam menyembah berhala. Ia menganggap hal itu sebagai sesuatu yang baik dan benar. Sebab menurutnya, Syam adalah tempat para Rasul dan kitab. Maka dia pulang sambil membawa HUBAL dan meletakkannya di Ka’bah. Setelah itu dia mengajak penduduk Mekkah untuk membuat persekutuan terhadap Allah. Orang orang Hijaz pun banyak yang mengikuti penduduk Mekkah, karena mereka dianggap sebagai pengawas Ka’bah dan penduduk tanah suci. Pada saat itu, ada tiga berhala yang paling besar yang ditempatkan mereka ditempat-tempat tertentu, seperti : 1. Manat, mereka tempatkan di Musyallal ditepi laut merah dekat Qudaid. 2. Lata, mereka tempatkan di Tha’if. 3. Uzza, mereka tempatkan di Wady Nakhlah. Setelah itu, kemusyrikan semakin merebak dan berhala-berhala yang lebih kecil bertebaran disetiap tempat di Hijaz. Yang menjadi fenomena terbesar dari kemusyrikan bangsa Arab kala itu yakni mereka menganggap dirinya berada pada agama Ibrahim. Ada beberapa contoh tradisi dan penyembahan berhala yang mereka lakukan, seperti : Mereka mengelilingi berhala dan mendatanginya, berkomat-kamit dihadapannya, meminta pertolongan tatkala kesulitan, berdo’a untuk memenuhi kebutuhan, dengan penuh keyakinan bahwa berhala-berhala itu bisa memberikan syafaat disisi Allah dan mewujudkan apa yang mereka kehendaki. Mereka menunaikan Haji dan Thawaf disekeliling berhala, merunduk dan bersujud dihadapannya. Mereka mengorbankan hewan sembelihan demi berhala dan menyebut namanya. Banyak lagi tradisi penyembahan yang mereka lakukan terhadap berhala-berhalanya, berbagai macam yang mereka perbuat demi keyakinan mereka pada saat itu. Bangsa Arab berbuat seperti itu terhadap berhala-berhalanya, dengan disertai keyakinan bahwa hal itu bisa mendekatkan mereka kepada Allah dan menghubungkan mereka kepada-Nya, serta memberikan manfaat di sisi-Nya. Selain itu, Orang-orang Arab juga mempercayai dengan pengundian nasib dengan anak panah dihadapan berhala Hubal. Mereka juga percaya kepada perkataan Peramal, Orang Pintar dan Ahli Nujum. Dikalangan mereka ada juga yang percaya dengan Ramalan Nasib Sial dengan sesuatu. Ada juga diantara mereka yang percaya bahwa orang yang mati terbunuh, jiwanya tidak tentram jika dendamnya belum dibalaskan, ruh nya bisa menjadi burung hantu yang berterbangan di padang seraya berkata,”Berilah aku minum, berilah aku minum”!jika dendamnya sudah dibalaskan, maka ruh nya akan menjadi tentram. Sekalipun masyarakat Arab jahiliyah seperti itu, toh masih ada sisa-sisa dari agama Ibrahim dan mereka sama sekali tidak meninggalkannya, seperti pengagungan terhadap ka’bah, thawaf disekelilingnya, haji, umrah, Wufuq di Arafah dan Muzdalifah. Memang ada hal-hal baru dalam pelaksanaannya. Semua gambaran agama dan kebiasaan ini adalah syirik dan penyembahan terhadap berhala menjadi kegiatan sehari-hari , keyakinan terhadap hayalan dan khurafat selalu menyelimuti kehidupan mereka. Begitulah agama dan kebiasaan mayoritas bangsa Arab masa itu. Sementara sebelum itu sudah ada agama Yahudi, Masehi, Majusi, dan Shabi’ah yang masuk kedalam masyarakat Arab. Tetapi itu hanya sebagian kecil oleh penduduk Arab. Karena kemusyrikan dan penyesatan aqidah terlalu berkembang pesat. Itulah agama-agama dan tradisi yang ada pada saat detik-detik kedatangan islam. Namun agama-agama itu sudah banyak disusupi penyimpangan dan hal-hal yang merusak. Orang-orang musyrik yang mengaku pada agama Ibrahim, justru keadaannya jauh sama sekali dari perintah dan larangan syari’at Ibrahim. Mereka mengabaikan tuntunan-tuntunan tentang akhlak yang mulia. Kedurhakaan mereka tak terhitung banyaknya, dan seiring dengan perjalanan waktu, mereka berubah menjadi para paganis (penyembah berhala), dengan tradisi dan kebiasaan yang menggambarakan berbagai macam khurafat dalam kehidupan agama, kemudian mengimbas kekehidupan social, politik dan agama. Sedangkan orang-orang Yahudi, berubah menjadi orang-orang yang angkuh dan sombong. Pemimpin-pemimpin mereka menjadi sesembahan selain Allah. Para pemimpin inilah yang membuat hukum ditengah manusia dan menghisab mereka menurut kehendak yang terbetik didalam hati mereka. Ambisi mereka hanya tertuju kepada kekayaan dan kedudukan, sekalipun berakibat musnahnya agama dan menyebarnya kekufuran serta pengabaian terhadap ajaran-ajaran yang telah ditetapkan Allah kepada mereka, dan yang semua orang dianjurkan untuk mensucikannya. Sedangkan agama Nasrani berubah menjadi agama paganisme yang sulit dipahami dan menimbulkan pencampuradukkan antara Allah dan Manusia. Kalaupun ada bangsa Arab yang memeluk agama ini, maka tidak ada pengaruh yang berarti. Karena ajaran-ajarannya jauh dari model kehidupan yang mereka jalani, dan yang tidak mungkin mereka tinggalkan. Semua agama dan tradisi Bangsa Arab pada masa itu, keadaan para pemeluk dan masyarakatnya sama dengan keadaan orang-orang Musyrik. Musyrik hati, kepercayaan, tradisi dan kebiasaan mereka hampir serupa Kondisi Perekonomian Perdagangan merupakan unsur penting dalam perekonomian masyarakat Arab pra Islam. Mereka telah lama mengenal perdagangan bukan saja dengan orang Arab, tetapi juga dengan non-Arab. Kemajuan perdagangan bangsa Arab pra Islam dimungkinkan antara lain karena pertanian yang telah maju. Kemajuan ini ditandai dengan adanya kegiatan ekspor-impor yang mereka lakukan. Para pedagang Arab selatan dan Yaman pada 200 tahun menjelang Islam lahir telah mengadakan transaksi dengan Hindia, Afrika, dan Persia. Komoditas ekspor Arab selatan dan Yaman adalah dupa, kemenyan, kayu gaharu, minyak wangi, kulit binatang, buah kismis, dan anggur. Sedangkan yang mereka impor dari Afrika adalah kayu, logam, budak; dari Hindia adalah gading, sutra, pakaian dan pedang; dari Persia adalah intan. Data ini menunjukkan bahwa perdagangan merupakan urat nadi perekonomian yang sangat penting sehingga kebijakan politik yang dilakukan memang dalam rangka mengamankan jalur perdagangan ini. Faktor-faktor yang mendorong kemajuan perdagangan Arab pra Islam sebagaimana dikemukakan Burhan al-Di>n Dallu adalah sebagai berikut: 1. Kemajuan produksi lokal serta kemajuan aspek pertanian. 2. Adanya anggapan bahwa pedagang merupakan profesi yang paling bergengsi. 3. Terjalinnya suku-suku ke dalam politik dan perjanjian perdagangan lokal maupun regional antara pembesar Hijaz di satu pihak dengan penguasa Syam, Persia dan Ethiopia di pihak lain. 4. Letak geografis Hijaz yang sangat strategis di jazi>rah Arab. 5. Mundurnya perekonomian dua imperium besar, Byzantium dan Sasaniah, karena keduanya terlibat peperangan terus menerus. 6. Jatuhnya Arab selatan dan Yaman secara politis ke tangan orang Ethiopia pada tahun 535 Masehi dan kemudian ke tangan Persia pada tahun 257 M. 7. Dibangunnya pasar lokal dan pasa musiman di Hijaz, seperti Ukaz, Majna, Zu al-Majaz, pasar bani Qainuna, Dumat al-Jandal, Yamamah dan pasar Wahat. 8. Terblokadenya lalu lintas perdagangan Byzantium di utara Hijaz dan laut merah. 9. Terisolasinya perdagangan orang Ethiopia di laut merah karena diblokade tentara Yaman pada tahun 575 M. Data-data yang dikemukakan Dallu menunjukkan bahwa antara ekonomi dan politik tidak dapat dipisahkan dalam konteks kehidupan masyarakat Arab pra Islam. Kehidupan politik Byzantium dan Sasaniah turut memberikan sumbangan dalam memajukan proses perdagangan yang berlangsung di Hijaz, karena kedua kerajaan ini sangat berkepentingan terhadap jalur perdagangan ini. Di lain sisi, Mekkah di mana terdapat ka’bah yang pada waktu itu sebagai pusat kegiatan Agama, telah menjadi jalur perdagangan internasional. Hal ini diuntungkan oleh posisinya yang sangat strategis karena terletak di persimpangan jalan yang menghubungkan jalur perdagangan dan jaringan bisnis dari Yaman ke Syiria, dari Abysinia ke Irak. Pada mulanya Mekkah didirikan sebagai pusat perdagangan lokal di samping juga pusat kegiatan agama. Karena Mekkah merupakan tempat suci, maka para pengunjung merasa terjamin keamanan jiwanya dan mereka harus menghentikan segala permusuhan selama masih berada di daerah tersebut. Untuk menjamin keamanan dalam perjalanan suatu sistem keamanan di bulan-bulan suci, ditetapkan oleh suku-suku yang ada di sekitarnya. Keberhasilan sistem ini mengakibatkan berkembangnya perdagangan yang pada gilirannya menyebabkan munculnya tempat-tempat perdagangan baru. Dengan posisi Mekkah yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan bertaraf internasional, komoditas-komoditas yang diperdagangkan tentu saja barang-barang mewah seperti emas, perak, sutra, rempah-rempah, minyak wangi, kemenyan, dan lain-lain. Walaupun kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah pada mulanya para pedagang Quraish merupakan pedagang eceran, tetapi dalam perkembangan selanjutnya orang-orang Mekkah memperoleh sukses besar, sehingga mereka menjadi pengusaha di berbagai bidang bisnis. F. KOTA-KOTA BERKAITAN DENGAN SEJARAH RASULULLAH SAW Di Jazirah Arab terdapat beberapa kota besar yang ada kaitanya dengan sejarah Rasulullahsaw. Kota-kota tersebut adalah.  Makkah Makkah adalah kota suci bagi umat islam se-dunia. Kota makkah lebih dikenal dengan “Makkah al-Mukarrohmah”, artinya kota makah yang dimuliakan. Di kota ini terdapat bangunan Ka’bah yang dijadikan kiblat shalat umat islam di dunia. Bahkan kota ini disebut juga “Tanah Haram”. Mengapa kota ini disebut tanah haram? Disebut “tanah Haram”, karena kota makkah tidak boleh dimasuki oleh orang-orang yang bukan beragama islam. Kira-kira 12 kilometer sebelum memasuki kota makkah terdapat pemberitahuan dan batas bahwa tidak dibenarkan orang yang bukan beragama islam masuk ke makkah. Orang-orang yang bukan beragama islam pun telah memakluminya dan mereka juga menghormati peraturan tersebut. Kota makkah adalah salah satu kota yang ada di Jazirah Arab. Kota makkah dahulunya didirikan oleh Nabi ibrahim dan putranya Nabi ismail, yang meninggalkan sebuah bangunan sejarah yaitu Ka’bah yang sekarang dan selamanya dijadikan kiblat semua umat islam. Dan di tempat ini juga dijadikan sebagai untuk orang-orang yang beribadah haji untuk melakukan tawaf. Disekililing ka’bah terdapat Masjidil Haram, artinya masjid yang mulia, disebelah ka’bah terdapat sebuah air yaitu yang disebut dengan air ”Zam-zam” artinya tidak pernah surut. Di kotah makkah merupakan tempat kelhiran nabi Muhammad saw. Dan disekitar makkah ini terdapat tempat-tempat yang bersejarah antara lain: 1. Gua Hira’, berada di jabal Nur, kurang lebih 6km sebelah utara Masjidil Haram dan ditempat ini pula Rasulullah saw. Pertama kali menerima wahyu dari Allah SWT. 2. Jabal Sur, berda di sebelah selatan Masidil Haram kurang lebih 6km dan ditempat ini pula nabi Muhammad saw.dan sayidina Abu Bakar as-Siddiq bersembunyi dari kejaran kafir Quraisy ketika hendak hijrah ke Madinah. 3. Jabal Rahma, berada di padang Arafah. Dan ditempat ini pula Allah SWT. Mempertemukan Nabi Adam dengan Ibu Hawa, setelah berpisah selama seratus tahun lamanya sesudah diturunkan oleh Allah SWT dari surga.  Madinah Madinah merupakan kota suci yang kedua bagi umat islam setelah kota Makkah al-Mukarromah. Semula kota ini bernama Yasrib. Setelah Nabi Muhammad saw. Bersama para sahabatnya hijrah ke madinah, nama Yasrib tersebut diganti dengan nama Madinatul Munawwarah, artinya kota yang disinari atau kota yang bercahaya. Di kota inilah Nabi Muhammad mengembangkan agama islam dan disebar luaskan. Di Madinah dan sekitarnya terdapat tempat bersejarah antara lain: 1. Masjid Nabawi : ditempat ini terdapat sebuah makam Nabi Muhammad dan dua sahabatnya yaitu Abu Bakar as-Siddiq dan ‘Umar bin Khattab. 2. Jabal Uhud yaitu sebuah gunung yang diberinama gunung uhud, ditempat ini dahulu pernah terjadi peperangan sengit antara kaum muslimin dengan kaum kafir makkah. Dalam peperangan ini terdapat 70 orang syhuda yang gugur. Perang uhud terjadi pada tahun ke-3 Hijriah. 3. Masjid Quba, adalah masjid yang pertama kali didirikan Rasulullah saw. Setelah hijrah ke Madina. 4. Khandaq(parit), berada di sebelah utara kota Madinah. Ditempat ini pernah terjadi perang besar antara kaum muslimin dengan kaum kafir makkah dan sekutunya, dan perang ini diberi nama dengan perang khandaq(parit) karena Rasulullah memerintah untuk membuat parit disekelilingnya untuk memlindungi kaum muslimin dari serangan dan perang ini terjadi paada tahun ke-5 Hijriah. 5. Makam Baqi’, tempat ini merupakan tempat pemakaman kurang lebih 1000 sahabat Rasulullah saw. Dan diantaranya adalah sahabat ‘Usman bin Affan dan para istri Rasulullah saw.  Taif Kota Taif dan sekitarnya merupakan daerah yang paling subur dari pada kota makkah. Kota ini mempunyai nilai sejarah yang penting, yaitu ketika Rasulullah saw. Diusir oleh pemuda-pemuda kabilah Bani saqif. Beliau dicemooh,dikejar-kejar,dan sampai-sampai dilempari batu. Beliau sangat sedih pada waktu itu, tetapi beliau tetap sabar dan tawakal kepada Allah SWT.  Mina Kota Mina berada di sekitar kota makkah kurang lebih 5km, di tempat inilah Nabi Ibrahim as diuji ketakwaanya oleh Allah SWT agar menyembelih putranya yaitu Nabi Ismail, namun ketika menyembelih Nabi Ismail, Allah SWT telah menggantinya dengan seekor domba. Dan pada waktu itu pula di perintahkan syariatkan kepada umat islam untuk berqurban. Dan di kota ini pula terdapat dimana para jamaah haji melontar jumrah Ula,Wusta,dan Aqobah yang dilaksanakan pada tanggal 10,11,12 dan 13 Dzulhijjah.  Arafah Arafah berupa padang pasir yang luas, dan berada disebelah utara kota makkah. Di tempat ini Nabi Adam dan Ibu Hawa dipertemukan kembali setelah diturunkan dari surga. Padang Arafah merupakan tempat untuk melakukan wukuf bagi para jamaah haji. Wukuf yaitu tinggal sementara di padang Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah. Selama di Arafah, umat islam dianjurkan berdoa karena segala doa akan dikabulkan oleh Allah SWT. Dan dipadang Arafa ini terdapat Jabal Rahma dimana Nabi Muhammad berdoa ketika melakukan haji Wada’ 3. Negara/Kerajaan di sekitar Jazirah Arab Sebelum datangnya islam, Jazirah Arab telh memiliki jalur-jalur hubungan perdagangan dengan negara-negara luar. Orang-orang Arab, terutama orang-orang suku Quraisy terkenal dengan keahliannya di bidang perdagangan. Karena adanya hubungan perdagangan dengan negara luar itu, maka dapat menimbulkan terjadinya hubungan sosial yang terjalin dengan baik. Daerah- daerah penting yang memiliki hubungan perdagangan dengan negara Arab itu antara lain: a. Syam(Syiria) Negara Syam terletak di sebelah utara negeri Arab. Negeri Syam meliputi Palestina,Yordania,dan Suriah. Negeri Syam dikenal sebagai daerah pusat perdagangan yang ramai. Para pedagang dari persia,syiria,dan negeri-negeri Jazirah Arab lainya bertemu di Syam. Ketika berumur 12 tahun Nabi Muhammad saw. Pernah berdagang ke Syam bersama pamannya Abu Thalib. Negeri syam sejak dulu terkenal sebagai tempak dakwah para nabi dan rasul, diantaranya adalah Nabi Nuh dan Nabi Musa. b. Bahrain dan Persia Bahrain dan Persia terletak disebelah timur negara Arab yang menghubungkan jalur perdagangan sebelah barat dengan timur, juga menghubungkan perdagangan dengan negara-negara di sebelah utara dan selatan. Sebagian barang-barang dagangan dari Syam dan Yaman yang mereka bawa ke Bahrain dan Persia. Barang-barang dagangan yang mereka bawa dari Bahrain dan Persia ini yang terpenting adalah mutiara yang biasanya diambil dari Teluk Persia. Negara Persia adalah tempat kelahiran Nabi Ibrahim. Karena dikejar-kejar oleh raja Namrud, akhirnya hijrah ke Syiria untuk melanjutkan dakwahnya. Persia terbagi menjadi 3 negara, yaitu Irak,Iran, dan Kuwait. Negara-negara tersebut dikenal sebagai negara penghasil minyak. c. Sundan dan Habsyi (Ethopia) Negara Sundan dan Habsyi berada di sebelah selatan negara Arab. Barang-barang yang mereka beli dari Bahrain dan Persia mereka jual ke pasar-pasar di dua negara itu. Dari Sundan dan Habsyi mereka membawa rempah-rempah. Menjalin hubungan perdagangan dengan negara-negara sekitarnya, bangsa Arab dapat mempelajari kemajuan-kemajuan negara yang mereka singgahi. d. Yaman dan OmanKedua negara ini berada disebelah selatan negara Arab. Dari negara Yaman, terutama kota San’a kafilah-kafilah bangsa Arab membawa barang-barang dagangan seperti minyak wangi,kemenyan,kain sutra,barang logam,kulit, dan rempah-rempah. Barang-barang dagangan tersebut kemudian dibawa ke kota-kota besar di negara Syam (Syiria), sebagai dijual ke pasar-pasar kota makkah seperti di pasar Ukaz C. Kondisi Sosial dan Ekonomi Masyarakat Arab Pra Islam 1. Keadaan Ekonomi Masyarakat Arab. Bangsa Arab jahiliyah, tinggal di kota dan di pendesaan. Penduduk yang tinggal di kota disebut suku Hadary, artinya penduduk yang menetap di kota. Mata pencaharian mereka berdagang. Sedangkan penduduk pendesaan disebut suku Badui yang suka berpindah-pindah tempat. Golongan penduduk inilah yang terbesar jumlahnya dibandingkan dengan penduduk lainnya. Mata pencaharian mereka adalah bertani dan berternak. Secara garis besar, mata pencaharian atau pekerjaan masyarakat Arab jahiliyah dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu perdagangan,pertanian, dan perternakan. a. Perdagangan Suku Arab yang tinggal di kota seperti makkah dan madinah, mayoritas bekerja sebagai pedagang. Perdagangan di kota makkah dan madinah pada zaman jahiliyah sudah sangat maju. Mereka berdagang bahkan sampia ke luar negeri. Mereka melakukanperjalanan dagang dengan jalan kaki,naik unta atau naik kuda. Negara tujuan mereka adalah Syam (Syiria), Yaman,Persia,Habsy, dan Mesir. Barang dagangan yang mereka bawa antara lain kemenyan,kain sutra,barang logam,kulit,dan minyak wangi dan setelah kembali berdagang disana mereka membawa gandum,minyak zaitun,beras,jagung,dan pakain untuk dijual lagi di kota makkah dan madinah. Pusat perdagangan yang terkenal di makkah adalah pasar Ukaz yang terletek di dekat ka’bah, pasar Dzil Majad, dan pasar Majnah b. Pertanian Tanah sebagian di Arab berupa padang pasir yang sangat luas, panas dan gersang tetapi juga terdapat lahan yang subur yang terletak di lembah-lembah yang terdap mata air(oase) dan sering turun hujan. Tanah pertanian yang utama terdapat di daerah Thaif. Hasil pertanian mereka antara lain sayur dan buah-buahan. Hasi pertanian itu kemudian dijual ke kota-kota seperti makah dan madinah. c. Perternakan. Masyarakat yang bermata pencaharian sebagai peternak adalah suku Arab pendalaman yang disebut Badui. Jenis binatang yang dipelihara adalah domba dan unta Dalam menggembala hewan-hewan ternaknya, mereka harus hidup berpindah-pindah untuk mencari oase(tanah yang subur yang memiliki rumput-rumput yang hijau) sebagai makanan hewan ternaknya. Hasil yang mereka peroleh dari peternakan itu adalah susu,daging,dan kulit untuk pakaian atau menjual sebagian ternaknya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya 2. Cara perdagangan yang dilakukan Msyarakat Arab Masyarakat Arab dikenal sebagai bangsa pedagang. Mereka berdagang hingga keluar keluar Jazirah Arab, misalnya negeri Mesir,Syiria,Sundan,Oman, dan sebagainya. Tata cara berdagang bangsa Arab adalah sebagai berikut a. Pengelompokkan perjalanan perdagangan Empat putra Abdi Manaf /pemimpin dan penguasa suku Quraisy (kakek moyang Nabi Muhammad saw.) yang ditunjuk memimpin perjalanan besar pedagang (khafilah), yaitu 1. Hasyim,memimpin ke negeri Syam(Syiria) 2. Abdus Syam,memimpin khaifilah ke negeri Habasiyah(Ethopia) 3. Abdul Muttalib(kakek Nabi Muhammad saw.)memimpin kafilah ke negeri Yaman 4. Naufal,memimpin perjalanan kafilah ke negeri Persia b. Perdagangan dilakuakan dengan cara berombongan(kafilah) Masyarakat Arab, terutama suku Quraisy dikenal sebagai pedagang yang tangguh. Mereka sering mengadakan perjalanan peerdagangan ke luar negeri dengan rombongan besar. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga keamanan, baik ketika dalam perjalanan maupun setelah sampai di tempat tujuan. c. Cara pengaturan waktu perjalanan perdagangan Ada dua musim perjalanan yang dilakukan oleh bangsa Quraisy, yaitu musim panas dan musim dingin. Perjalanan musim panas digunakan untuk perjalanan dagang ke negeri Syam, sedangkan pada musim dingin untuk perjalanan kenegri Yaman. d. Kerjasama dengan cara bagi hasil Kerjasama bagi hasil yaitu kerjasama dalam mencari keuntungan yang dilakukan oleh dua orang. Pihak pertama sebagai pemilik modal dan pihak kedua sebagai orang yang menjalankan modal tersebut. Baik modal itu berupa uang atau barang. BAB III KESIMPULAN Kehidupan orang-orang Arab sebelum Islam sering disebut dengan kehidupan Jahiliyah. Akan tetapi, jahiliyah dalam pengertian suatu tata kehidupan yang terlapas dari nilai-nilai ajaran Agama, wlaupun masyarakatnya menganut agama. Politik dan Pemerintahan Bangsa Arab sebelum Islam tidak pernah dijajah oleh bangsa asing, bahkan tidak pernah tercipta kesatuan politik di seluruh jazirah Arab. Kerjaan –kerajaan kecil yang terdapat di Jazirah Arab bahagian selatan umumnya berdaulat atas wilyah mereka yang sepit dan sebatas masyarakatnya. Mereka lebih suka hidup berkabilah-kabilah dan setiap kabilah atau suku diperintah oleh seorang Syaikh, yaitu seorang yang dianggap tertua dan berani di antara anggota kabilah tersebut Sosial Kemasyarakatan masyarakat Arab se belum Islam adalah masyarakat feodal dan sudah mengenal sistem perbudakan. Sistem kekerabatanya adalah sistemk partilinial (Patriarchat-agnatic), yaitu hubungan kekerabatan yang berdasarkan garis keturunan bapak. Wanita kurang mendapat tempat yang layak dalam masyarakat. Bahkan tidak jarang apabila mereka melahirkan anak perempuan, mereka merasa malu dan hina mereka kuburkan hidup-hidup, seperti yang dinyatakan dalam ayat Al-qur'an suran An-Nahal Ayat 58-59. Ekonomi dan Perdagangan terikat oleh keadaan geografis alam yang tandus kering dan gersang, maka pada umumnya kehidupan orang Arab sebelum Islam bersumber dari kegiatan perdagangan dan peternakan terkenalah beberapa kota di Hijaaz sebagai pusat perdagangan, seperti Mekkah, madinah, yaman dan lain-lainya. agama dan kepercayaan Mayoritas bangsa Arab sebelum Islam menganut kepercayaan yang menyembah berhala atau patung atau benda-benda lain yang dianggap mempunyai kekuatan gaib, seperti batu, pohon kayu, binatang dan sebagainya. Oleh karena itu, dikalangan mereka terdapat beberapa nama tuhan yang disembah seperti Uzza, Mana, Lata dan Hubal. Hubal adalah tuhan orang-orang keturunan suku Quraisy. Berhala ini berbentuk manusia. DAFTAR PUSTAKA Ami>n, Ahmad. Fajr al-Isla>m. Kairo: Maktabah Najdah al-Mis}riyyah, 1975. A’z}amī, M.M. al-. Sejarah Teks al-Quran dari Wahyu sampai Kompilasi. Jakarta: Gema Insani, 2005. Dallu, Burhan al-Di>n. Jazi>rat al-‘Arab Qabl al-Isla>m. Beirut: t.p, 1989. Dawrī, ‘Abd al-‘Azīz al-. Muqaddimah fī Ta>rīkh Ṣadr al-Isla>m. Beirut: Markaz Dirāsah al-Waḥdah al-‘Arabīyah, 2007.

JAWABAN spi (VENA VULVENA)

JAWABAN UJIAN TENGAH SEMESTER( UTS ) GENAP TAHUN AKADEMIK 2013-2014 NAMA :Tina Atianti SEMESTER :II MATA KULIAH :SPI PRODI :MUAMALAH DOSEN :Drs.Raito ,M. Ag NPM :13110021 1.) Sejarah Peradaban Islam Pada Masa Arab Pra Islam Kondisi Sosial Keadaan bangsa Arab yang hidup di daerah padang pasir yang tandus, sedikit banyaknya turut membuat corak kehi¬dupan mereka berjalan agak keras, penuh persaingan, perebutan kekuasaan antara satu kabilah dengan kabilah lainnya. Siapa yang kuat, gagah perkasa itulah yang memimpin Kebudayaan Orang-orang Arab sebelum Islam tidaklah bodoh melainkan cerdas pengertian Arab Jahiliyah yang sebenarnya adalah orang-orang Arab sebelum Islam yang membangkang kepada kebenaran, terus melawan kebenaran, sekalipun telah diketahui olehnya kebenaran itu. Kondisi Ekonomi Kondisi Jazirah arab yang bergurun sangat cocok digunakan untuk berdagang sebagai penunjang kemapanan ekonomi. Orang-orang quraisy berdagang sepanjang tahun. Di musim dingin mereka mengirim khalifah dagang ke Yaman, sementara di musim panas kalifah dagang menuju ke Syam Kondisi Politik Bangsa arab zaman Jahiliyah tidak mempunyai bentuk pemerintahan terkenal yang besar. Mereka hanya memiliki kabilah-kabilah yang mana tugas pemimpin hanya mengurus hal-hal dalam keadaan perang dan damai. -Sejarah Islam Pada Masa Nabi Muhammad Saw Peradaban Islam Pada Masa Rasulullah SAW Peradaban Islam pada masa Rasulullah SAW yang paling dasyat dan fenomenal adalah perubahan sosial. Suatu perubahan yang mendasar dari masa kebobrokan moral menuju moralitas manusia yang beradab. Di tandai dengan: a. Pembangunan Masjid Quba’ b. Pembangunan Masjid Nabawi c. Tegaknya Keadilan d. Persaudaraan Antara Kaum Muhajirin dan Anshar e. Kesepakatan Untuk Saling Membantu Antara Kaum Muslimin dan Non-Muslimin f. Terbangunnya Umat Yang Berideologi Islam g. Peletakan Asas-asas Politik, Ekonomi, dan Sosial 2). Peradaban Islam Pada Masa Abu Bakar ekonomi a. Menerapkan praktek akad – akad perdagangan yang sesuai dengan prinsip syariah. b. Menegakan hukum dengan memerangi mereka yang tidak mau membayar zakat c. Tidak menjadikan akhli badar(orang yang berjihad pada perang Badar) sebagai pejabat Negara, tidak mengistimewakan ahli badar dalam pembagian kekayaan Negara. d. Mengelolah barang tambang ( rikaz ) yang terdiri dari emas, perak, perunggu, besi, dan baja sehingga menjadi sumber pendapatan Negara. e. Menetapkan gaji pegawai berdasarkan karakteristuk daerah kekuasaan masing – masing. Politik a. mengirim pasukan untuk memerangi kaum ramawi sebagai realisasi sebagai rencana rasul b. timbul kaum munafiq dan kemurtadan c. kahlifah yang serentak dari masing msing batalyon sosial a. PERbaikan sosial kemasyarakatan b. Pengumpulan ayat-ayat al quran c. cPerluasan dan penyebaran agama islam Agama a. penumpasan oran-orang murtadz (riddah), b. enggan membayar zakat (begitu pula provokatornya), c. nabi-nabi palsu. d. Pada Masa Umar Bin Khattab Ekonomi a. Pendirian baitul mal b. Klasifikasi dan Alokasi Pendapatan Negara Agama Penaklukan-penaklukan yang terjadi pada masa Umar menyebabkan orang ramai-ramai memeluk agama Islam namun tentu tidak ada paksaan terhadap mereka yang tidak mau memeluknya.. Masyarakat muslim otomatis akan belajar toleransi terhadap pemeluk agama lainnya. Sosial. Keadaan sosial juga mulai berubah, perubahan-perubahan ini sangat terlihat pada masyarakat yang hidup diwilayah taklukan-taklukan Islam, mereka mengenal adanya kelas sosial meskipun Islam tidak membenarkan hal itu. budaya a. Pemberlakuan Ijtihad b. Menghapuskan zakat bagi para muallaf c. Mengahpuskan hukum mut’ah d. Lahirnya ilmu Qira’at e. Penyebaran Ilmu Hadits f. Menempa mata uang dan g. menciptakan tahun Hijriah Pada Masa Usman Bin Affan ekonomi a. Khalifah Utsman ibn Affan tidak mengambil upah dari kantornya. b. Khalifah Utsman ibn Affan tetap mempertahankan system pemberian bantuan dan santunan serta memeberikan sejumlah besar uang kepada masyarakat yang berbeda-beda. c. Dalam hal pengelolaan zakat, Khalifah utsman ibn Affan mendelegasikan kewenangan menksir harta yang dizakati kepada para pemiliknya msiang-masing. Sosial a. Nepotisme, bahwa Utsman dituduh mengganti tokoh-tokoh sahabat dengan keluarganya yang derajatnya lebih rendah. b. Tuduhan bahwa Utsman banyak memberi kepada kerabatnya. c. Tuduhan bahwa Utsman mengusir Abu Dzar Budaya a. Penaskahan Al-Qur’an b. Perluasan Masjid Nabawi dan Masjidil Haram c. Didirikannya masjid Al-Atiq di utara benteng babylon d. Membangun Pengadilan e. Membnetuk Angkatan Laut f. Membentuk Departemen: Politik Melakukan per luasan wilayah denagn mengizinkan pasukan islam melakukan penaklukan ke Benua afrika. Maka berangkatlah Agama Karya besar Utsman lainnya yang dipersembahkan kepada umat Islam ialah susunan kitab suci al-Qur’an yang dikenal dengan “Mushaf Utsmani” Pada Masa Ali Bin Abi Thalib ekonomi Kebijakan Ekonomi Ali Bin Ali Thallib antara lain : a Mengedepankan prinsip pemerataan dalam pendistribusian kekayaan negara kepada masyarakat. b Menetapkan pajak terhadap para pemilik kebun dan mengijinkan pemungutan zakat terhadap sayuran segar c Pembayaran gaji pegawai dengan system mingguan d Melakukan kontrol pasar dan pemberantas pedagang licik, penimbunan barang , dan pasar gelap e Aturan konpensai bagi para pekerja jika kereka merusak barang-barang pekerjaaannya budaya a. Terciptanya ilmu bahsa/nahwu (Aqidah nahwiyah) b. Bermkebangnya ilmu Khatt al-Qur’an c. Berkembangnya Sastra Politik Ia membenahi dan menyusun arsip Negara untuk mengamankan dan menyelamatkan dokumen-dokumen khalifah dan kantor sahib-ushsurtah, serta mengkoordinir polisi dan menetapkan tugas-tugas mereka 3). Peristiwa Tahkim Peristiwa tahkim itu sebagai persetujuan pihak ali dengan mu’awiyah yang brselisih dalam menerima keputusan secara adil. Jadi dalam tahkim tersebut pihak ali di rugikan oleh pihak mu’awiyah,yang kemudian pendukung ali terpecah menjadi dua yaitu kelompok pertama yang secara terpaksa menghadapi hasil tahkim dan mereka tetap setia kepada Ali.dan kelompok kedua yaitu yang menolak hasil tahkin dan kecewa terhadap kepemimpinan ali. 4). Latar Belakang Pecahnya 3 Golongan Pada Masa Ali Bin Abi Thalib pro syi’ah Kaum Syi’ah adalah orang-orang yang mendukung Ali bin Abi Tholib r.a, Ali telah mempunyai banyak pendukung setelah wafatnya Rosulullah SAW. Kontra Muawiyah (Mu’tazilah) khawarij ini merupakan bagian dari kelompok pendukung Ali yang memisahkan diri, dengan beralasan ketidaksetujuan mereka terhadap sikap Ali bin abi Thalib yang menerima tahkim (arbitrase) dalam upaya untuk menyelesaikan persilisihan dan konfliknya dengan mu’awiyah bin abi sofyan, gubernnur syam, pada waktu perang siffin. LATAR BELAKANG LAHIRNYA Syiah syiah mulai muncul setelah pembunuhan khalifah Utsman bin ‘Affan. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, masa-masa awal kekhalifahan Utsman yaitu pada masa tahun-tahun awal jabatannya, Umat islam bersatu, tidak ada perselisihan. Kemudian pada akhir kekhalifahan Utsman terjadilah berbagai peristiwa yang mengakibatkan timbulnya perpecahana, muncullah kelompok pembuat fitnah dan kezhaliman, mereka membunuh Utsman, sehingga setelah itu umat islam pun berpecah-belah. Mutazilah (Muawiyah) 1. Adanya perbedaan pendapat antara Syi’ah dan Khawarij: mengkafirkan pihak-pihak yang ingin merebut kekuasaan ali dan mengkafirkan orang yang terlihat dan menyetujui tahkim dalam perang siffin. 2. Adanya pendapat yang menyalahkan aisyah dan kawan-kawan yang menyebabkan terjadinya perang jamal. 3. Adanya pendapat yang menyalahkan orang yang ingin merebut kekuasaan Usman bin Affan. Khawarij Khawarij untuk pertama kali muncul dikalangan tentara Ali ketika peperangan memuncak antara pasukan Ali dan pasukan Mu’awiyah (perang siffin). Kelompok khawarij ini merupakan bagian dari kelompok pendukung Ali yang memisahkan diri, dengan beralasan ketidaksetujuan mereka terhadap sikap Ali bin abi Thalib yang menerima tahkim (arbitrase) dalam upaya untuk menyelesaikan persilisihan dan konfliknya dengan mu’awiyah bin abi sofyan, gubernnur syam, pada waktu perang siffin. Latar belakang ketidak setujuan mereka itu, beralasan bahwa tahkim itu merupakan penyelesaian masalah yang tidak di dasarkan pada ajaran Al-Qur’an, tapi ditentukan oleh manusia sendiri, dan orang yang tidak memutuskan hukum dengan al-Qur’an adalah kafir. 5).Mengapa Khalifah Ali Menerima Tahkim? Khalifah ali ingin menyelesaikan pemberontakan muawiyah yang menolak peletakan jabatan dan secra terbuka menentang khalifah dan tidak mengakuinya maka terjadilah perang siffin yang terjadi antara pasukan ali dan muawiyah ,peperangan ini hampir di menangkan oleh pihak Ali namun atas kecerdikan muawiyah yang di motori oleh panglima perangnya amr bin ash yang mengacungkan Alquran di atas ujung tombaknya yang mempunyai arti bahwa mereka mengajak berdamai ,khalifah ali mengetahiui itu sebagai tipu muslihat namun karena di desak oleh pasukannya khalifah Ali menerima tawaran tersebut ,akhirnya terjadilah tahkim

DINASTI UMAYAH TIMUR(VENA VULVENA)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dinasti umayah timur adalah sebuah dinasti yang didirikan oleh keturunan Umayah atas rintisan Muawiyah (661-680 M), yang berpusat di Damaskus. Dinasti Umayah timur merupakan fase ketiga dari kekuasaan Islam yang berlangsung selama lebih kurang satu abad (661-750 M). Ciri yang menonjol ditampilkan oleh dinasti Umayah ini adalah perpindahan ibukota dari Madinah ke Damaskus. Kepemimpinan dikuasai militer Arab dari lapisan bangsawan; dan ekspansi kekuasaan Islam yang lebih meluas yaitu pada masa kekuasaan Islam terbentang sejak dari Spanyol, Afrika Utara, Timur Tengah, sampai ke perbatasan Tiongkok. Dengan demikian, selama periode Umayah berlangsung langkah-langkah baru untuk merekonstruksi otoritas dan sekaligus kekuasaan khilafah, dan menerapkan faham golongan bersama dengan elite pemerintah. Kekuasaan Arab menjadi sebuah sentralisasi monarkis. B. RUMUSAN MASALAH 1. Kapan waktu berdirinya Dinasti Umayah I? 2. Bagaimana perkembangan pemerintahan Dinasti Umayah I? 3. Bagaimana kejayaan dan keruntuhan pemerintahan Dinasti Umayah I? 4. Bagaimana faktor penyebab kejayaan dan keruntuhan pemerintahan Dinasti Umayah I ? 5. Bagaimana hasil-hasil kebudayaan islam pada masa pemerintahan Dinasti Umayah I ? BAB II PEMBAHASAN A. SEJARAH BERDIRINYA PEMERINTAHAN DINASTI UMAYAH TIMUR Dinasti Umayah I didirikan oleh keturunan Umayah atas rintisan Muawiyah (661-680 M), yang berpusat di Damaskus. Sebutan Daulah Umayah berasal dari nama “ Umayah ibn ‘Abdi Syams ibn Abdi Manaf, salah seorang pemimpin suku Quraisy pada zaman Jahiliyah. Bani Umayah baru masuk islam setelah Nabi Muhammad saw. Berhasil menaklukkan kota mekah (Fathu Mekah). Dinasti Umayah I, yang ibu kota pemerintahannya di Damaskus, berlangsung selama 91 tahun. Dan diperintah oleh 14 orang khalifah. Yaitu : 1. Muawiyah I bin Abu Sufyan (41-61 H / 661-680 M) 2. Yazid I bin Muawiyah (61-64 H / 680-683 M) 3. Muawiyah II bin yazid (64-65 H / 683-684 M) 4. Marwan I bin al hakam(65-66 H / 684-685 M) 5. Abdul Malik bin marwan(65 H/685 M) 6. Al-Walid I bin abdulmalik (86-97 H/705-715 M) 7. Sulaiman bin abdulmalik(97-99 H/715-717 M) 8. Umar II bin abdulaziz (99-102 H/717-720 M) 9. Yazid II bin Abdul-Malik (102-106 H/720-724 M) 10. Hisyam bin Abdul Malik (106-126 H/724-743 M) 11. Walid II bin yazid II (126-127 H/743-744 M) 12. Yazid III bin Al Walid(127 H/744 M) 13. Ibrahim bin Al Walid(127 H/744 M) 14. Marwan II bin Muhammad (127-133 H/744-750 M) B. PERKEMBANGAN PEMERINTAHAN PADA MASA PEMERINTAHAN DINASTI UMAYAH TIMUR 1). Bani Umayyah berhasil memperluas daerah kekuasaan Islam keberbagai penjuru dunia, seperti Spanyol, Afrika Utara, Suria, Palestina,Semenanjung Arabia, Irak, sebagian kecil Asia, Persia, Afghanistan, Pakistan,Rukhmenia, Uzbekistan dan Kirgis. 2). Perdagangan, setelah bani umayah berhasil menguasai wilayah yang cukup luas maka lalu lintas perdagangan mendapat jaminan layak. Lalu lintas darat melalui jalan sutera ke tiongkok guna memperlancar perdagangan sutera, keramik, obat-obatan dan wewangian. 3). Reformasi fiskal, selama masa pemerintahan umayah hampir semua pemilik tanah baik muslim maupun non muslim, diwajibkan membayar pajak tanah. Sementara itu pajak kepala tidak berlaku bagi penduduk muslim, sehingga banyaknya penduduk yang masuk Islam secara ekonomis merupakan latar belakang berkurangnya penghasilan Negara.namun demikian dengan keberhasilan muawiyah dalam melakukan penaklukkan imperium Sassani (Parsi) beserta wilayah kepunyaan imperium Byzantium, sesungguhnya kemakmuran bagi daulah ini melimpah-limpah yang mengalir kedalam perbendaharaan Negara. C. MUNCULNYA BANYAK PEMBERONTAKAN Meskipun keberhasilan banyak dicapai daulah ini, namun tidak berarti bahwa politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Karena Muawiyah –radhiyallaahu ‘anhu- dianggap tidak mentaati isi perjanjiannya dengan al-Hasan bin ‘Ali –radhiyallaahu ‘anhuma-ketika dia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan penggantian pemimpin setelah Muawiyah –radhiyallaahu ‘anhu- diserahkan kepada dewan syura kaum Muslimin dan terserah kepada mereka siapa yang dipilih untuk mengisi kekosongan jabatan khalifah. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid –rahimahullaahu ta’ala- sebagai putera mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan. Ketika Yazid –rahimahullaahu ta’ala- naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid –rahimahullaahu ta’ala- kemudian mengirim surat kepada gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husein bin ‘Ali dan ‘Abdullah Bin Zubair Ibnul Awwam–radhiyallaahu ‘anhum-. Bersamaan dengan itu, kaum Syi’ah(pengikut ‘Abdullah bin Saba’ al-Yahudi) melakukan penggabungan kekuatan kembali. Perlawanan terhadap Bani Umayyah dimulai oleh Husein bin ‘Ali –radhiyallaahu ‘anhuma-. Pada tahun 680 M, ia berangkat dari Mekkah ke Kufah atas tipu daya golongan Syi’ah yang ada di Irak. Ummat Islam di daerah ini tidak mengakui Yazid . Mereka berusaha menghasut dan mengangkat Husein –radhiyallaahu ‘anhuma-sebagai khalifah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karballa, sebuah daerah di dekat Kufah, tentara dan seluruh keluarga Husein –radhiyallaahu ‘anhuma- kalah dan Husein –radhiyallaahu ‘anhuma- sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karballa. Perlawanan orang-orang Syi’ah tidak padam dengan sebab terbunuhnya Husein –radhiyallaahu ‘anhuma-. Banyak pemberontakan yang dipelopori kaum Syi’ah terjadi. Yang termashur diantaranya adalah pemberontakan al-Mukhtar di Kufah pada tahun 685-687 M. Al-Mukhtar (yang pada akhirnya mengaku sebagai Nabi) mendapat banyak pengikut dari kalangan kaum Mawali (yaitu umat Islam bukan Arab, berasal dari Persia, Armenia dan lain-lain) yang pada masa Bani Umayyah dianggap sebagai warga negara kelas dua. Al-Mukhtar terbunuh dalam peperangan melawan gerakan oposisi lainnya, gerakan ‘Abdullah bin Zubair –radhiyallaahu ‘anhuma-. Namun, Ibnu Zubair –radhiyallaahu ‘anhuma- juga tidak berhasil menghentikan gerakan Syi’ah. ‘Abdullah bin Zubair –radhiyallaahu ‘anhuma- membina gerakan oposisinya di Mekkahsetelah dia menolak sumpah setia terhadap Yazid. Akan tetapi, dia baru menyatakan dirinya secara terbuka sebagai khalifah setelah al-Husein bin ‘Ali –radhiyallaahu ‘anhuma- terbunuh. Tentara Yazid kemudian mengepung Madinah dan Makkah. Dua pasukan bertemu dan pertempuran pun tak terhindarkan. Namun, peperangan terhenti karena Yazid wafat dan tentara Bani Umayyah kembali ke Damaskus. Gerakan ‘Abdullah bin Zubair –radhiyallaahu ‘anhuma- baru dapat dihancurkan pada masa kekhalifahan ‘Abdul Malik bin Marwan. Tentara Bani Umayyah dipimpin al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi berangkat menuju Thaif, kemudian ke Madinah dan akhirnya meneruskan perjalanan ke Makkah. Ka’bah diserbu. Keluarga Ibnu Zubair –radhiyallaahu ‘anhuma- dan sahabatnya melarikan diri, sementara Ibnu Zubair –radhiyallaahu ‘anhuma- sendiri dengan gigih melakukan perlawanan sampai akhirnya terbunuh pada tahun 73 H/692 M. Selain gerakan di atas, gerakan-gerakan anarkis yang dilancarkan kelompok Khawarijdan Syi’ah juga dapat diredakan. Keberhasilan memberantas gerakan-gerakan itulah yang membuat orientasi pemerintahan dinasti ini dapat diarahkan kepada pengamanan daerah-daerah kekuasaan di wilayah timur (meliputi kota-kota di sekitarAsia Tengah) dan wilayah Afrika bagian utara, bahkan membuka jalan untuk menaklukkan Spanyol (andalus). Hubungan pemerintah dengan golongan oposisi membaik pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul Aziz –rahimahullaahu ta’ala- (717-720 M). Ketika dinobatkan sebagai khalifah, dia menyatakan bahwa memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada dalam wilayah Islam lebih baik daripada menambah perluasannya. Ini berarti bahwa prioritas utama adalah pembangunan dalam negeri. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, dia berhasil menyadarkan golongan Syi’ah. Dia juga memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Zakat diperingan. Kedudukan mawali disejajarkan dengan muslim Arab. D. KEJAYAAN DAN KEMAJUAN PEMERINTAHAN DINASTI UMAYAH TIMUR 1. Bidang Ilmu Qiraat Ilmu qiraat adalah ilmu yang mempelajari tentang bacaan al quran. Dalam islam dikenal ada 7 macam bacaan al quran yang disebut “Qiraat Sab’ah”. Qiraat ini kemudian ditetapkan menjadi dasar bacaan alquran. 2. Bidang Arsitek Seni Bangunan pada zaman muawiyah bertumpu pada bangunan sipil berupa kota-kota,, bangunan agama berupa masjid-masjid. Beberapa kota baru atau kota lama telah dibangun berbagai gedung dengan gaya perpaduan Persia, Romawi dan Arab dengan dijiwai semangat Islam. Damaskus yang pada masa sebelum Islam merupakan ibukota Kerajaan Romawi Timur di Syam, adalah kota lama yang di bangun kembali pada masa Umawiyah, dan dijadikan ibukota Daulah ini, Di Kota ini didirikan gedung-gedung indah yang bernilai seni, dilengkapi jalan-jalan dan taman-taman rekreasi yang menakjubkan. Muawiyah membangun “istana hijau” di miyata dan pada tahun 704 M, istana itu di perbaharui oleh Walid ibn Abd al-Malik. 3. Organisasi Militer Pada masa Umawiyah organisasi militer terdiri dari Angkatan Darat (al-Jund), Angkatan Laut (al-Bahriyah) dan Angkatan Kepolisian (as-Syurtah). Berbeda dengan masa Usman, bala tentara pada masa ini bukan muncul atas kesadaran sendiri untuk melakukan perjuangan, tetapi semacam dipaksakan. Sesuai dengan politik Arabnya, angkatan bersenjata meluas sampai keAfrika Utara, orang luar pun terutama bangsa barbar turut ambil bagian dalam kemiliteran ini. E. KERUNTUHAN DAN KEMUNDURAN PADA MASA DINASTI UMAYAH TIMUR 1. Fanatisme arab yang berlebihan dari orang-orang Bani Umayah, hingga menyebabkan orang-orang Mawali (non-arab) berontak terhadap Bani Umayah. 2. Kesewenang-wenangan pribadi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan runtuhnya Umayah. 3. Faktor nepotisme keluarga Umayah yang menyebabkan terangkatnya orang-orang arab dan menenggelamkan orang lain. 4. Akibat dari kezhalimannya sendiri 5. Tradisi arab 6. Bahasa arab 7. Mayoritas khalifah tidak mampu mencapai standar persamaan dan keadilan dalam islam 8. Faktor substansial. 9. Pengangkatan dua putera mahkota 10. Potensi perpecahan antara suku, etnis dan kelompok politik yang tumbuh semakin kuat, menjadi sebab utama terjadinya gejolak politik dan kekacauan yang mengganggu stabilitas Negara 11. munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-’Abbas bin Abd al-Muthallib. Gerakan ini sepenuhnya memperoleh dukungan dari Bani Hasyim dan kubu Syi’ah serta golongan Mawali yang merasa dianggap sebagai masyarakat kelas dua oleh pemerintahan Dinasti Umayyah. F. FAKTOR PENYEBAB KEJAYAAN DAN KERUNTUHAN MASA DINASTI UMAYAH TIMUR 1. Faktor Kejayaan Pada Masa Umayah Timur  masa disintegrasi yang dapat dicegah pada masa pemerintahan Abdul Malik.  sistem Administrasi yang disempurnakan pada masa Abdul Malik.  bani Umayah berhasil memperluas kekuasaan islam kepenjuru dunia.  islam memberikan pengaruh bagi kehidupan masyarakat luas.  telah berkembang ilmu pengetahuan secara tersendiri dengan masing-masing tokoh spesialisnya. 2. Faktor Kemunduran pada Masa Umayah Timur  persoalan suksesi kekhalifahan.  sikap glamour penguasa.  perlawanan kaum khawarij.  perlawanan kaum syiah.  meruncingnya pertentangan etnis.  timbulnya stratifikasi sosial.  munculnya kekuatan baru. 3. Hasil Budaya Pada Masa Pemerintahan Dinasti Umayah Timur a. Sastra dan Seni Salah satu contoh hasil budaya yang terlihat pada masa Dinasti Umayah sebuah hasil sastra dan seni yang berkembang pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan. Salah satu contohnya yaitu : • “sungguh aku telah hidup sejenak didalam zaman, dan dapat menguasai dunia dengan pedangku yang tajam. • Maka lenyaplah secepat kilat apa yang selamat ini menjadi kebanggaanku, lenyap kedalam tumpukan peristiwa-peristiwa lama yang telah berlalu. • Aduhai, alangkah berbahagianya aku, seandainya aku tak mencurahkan perhatianku sekejappun jua kepada kerajaan ini, dan aku tidak dimabuk hidup nikmat yang nyaman ini. • Melainkan, hidup sebagai seorang miskin, yang hanya mempunyai dua helai kain yang telah lusuh, hanya hidup sekedar cukup tiada bersisa, dan terus demikian sampai masuk keliang kubur”. b. Kerajinan Pada masa khalifah Abd Malik mulai dirintis pembuatan tiraz (semacam bordiran), yakni cap resmi yang dicetak pada pakaian Khalifah dan para pembesar pemerintahan. Format tiraz yang mula-mula merupakan terjemahan dari rumus Kristen, kemudian oleh Abdul Aziz (gubernur Mesir) diganti dengan rumus Islam, lafaz “La Illaha Illa Allah”. Guna memperlancar produktifitas pakaian resmi kerajaan, maka Abdul Malik mendirikan pabrik-pabrik kain. Setiap pabrik diawasi oleh “sahib at-Tiraz”, yang bertujuan mengawasi tukang emas dan penjahit, menyelidiki hasil karya dan membayar gaji mereka. c. Seni lukis Pada masa pemerintahan khalifah Muawiyah sudah mendapat perhatian masyarakat. Seni lukis tersebut selain terdapat di masjid-masjid, juga tumbuh di luar masjid. Adanya lukisan dalam istana Bani Umayah, merupakan langkah baru yang muncul di kalangan bangsawan Arab. Sebuah lukisan pertama kali yang ditorehkan oleh khalifah Walid I, yaitu lukisan berbagai gambar binatang. Adapun corak dan warna lukisan masih bersifat Hellenisme murni, tetapi kemudian dimodifikasi menurut cara-cara Islam. Sehingga sangat menarik perhatian para penulis Eropa. BAB III PENUTUP Demikianlah pemerintahan Daulat Bani Umayyah timur yang berpusat di Damasakus. Oleh karna itu Daulat Bani Umayyah memendahkan ibukota kekuasaan dari Madinah ke Damaskus. Kemudian kepemimpinan dikuasai militer Arab dari lapisan bangsawan dan ekspansi kekuasaan Islam yang lebih meluas yaitu pada masa kekuasaan Islam terbentang sejak dari Spanyol, Afrika Utara, Timur Tengah, sampai keperbatasan Tiongkok. Walaupun pemerintahan Daulat Bani Umyyah menggunakan sistem monarchi, tetapi mereka telah mengembangkan lembaga-lembaga Islam. Hal ini telah didukung oleh para khalifahnya untuk pengembangan peradaban Islam. Namun setelah itu Bani Umayyah runtuh disebabkan karena para khalifah hidup bermewah-mewahan. Berarti Daulat Bani Umayyah terbagi menjadi tiga masa yaitu masa permulaan, perkembangan dan keruntuhan. DAFTAR PUSTAKA A. Syalabi. Sejarah dan Kebudayaan Islam jld.2.Pustaka Al Husna Baru. 2003 Abdul halim ‘uwais.analisa runtuhnya daulah-daulah islam.pustaka mantiq.1982 http://sejarahislam.co.id N Abbas Wahid-Suratno.khazanah sejarah kebudayaan islam. Hal. Solo: tiga serangkai pustaka mandiri,2008 siti maryam,dkk.ed. sejarah peradaban islam:dari masa klasik hingga modern. .yogyakarta : LESFI,2002 Catatan kaki (foot note) 1 siti maryam,dkk.ed. sejarah peradaban islam:dari masa klasik hingga modern .yogyakarta : LESFI,2002 2 siti maryam,dkk.ed. sejarah peradaban islam:dari mas

FILSAFAT BAHASA

BAB I PENDAHULUAN A.LATAR BELAKANG Istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani : ”philosophia”. Seiring perkembangan jaman akhirnya dikenal juga dalam berbagai bahasa, seperti : ”philosophic” dalam kebudayaan bangsa Jerman, Belanda, dan Perancis; “philosophy” dalam bahasa Inggris; “philosophia” dalam bahasa Latin; dan “falsafah” dalam bahasa Arab. Para filsuf memberi batasan yang berbeda-beda mengenai filsafat, namun batasan yang berbeda itu tidak mendasar. Selanjutnya batasan filsafat dapat ditinjau dari dua segi yaitu secara etimologi dan secara terminologi. Secara etimologi, istilah filsafat berasal dari bahasa Arab, yaitu falsafah atau juga dari bahasa Yunani yaitu philosophia – philien : cinta dan sophia : kebijaksanaan. Jadi bisa dipahami bahwa filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Dan seorang filsuf adalah pencari kebijaksanaan, pecinta kebijaksanaan dalam arti hakikat. Pengertian filsafat secara terminologi sangat beragam. Para filsuf merumuskan pengertian filsafat sesuai dengan kecenderungan pemikiran kefilsafatan yang dimilikinya. Plato mengatakan bahwa : Filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang asli. B. RUMUSAN MASALAH apa yang di maksud dengan filsafat bahasa? BAB II PEMBAHASAN A. MEMAHAMI FILSAFAT BAHASA Pengertian Filsafat Bahasa Hadirnya filsafat bahasa dapat dikatakan sebagai suatu hal yang baru. Filsafat bahasa muncul bersamaan dengan kecenderungan filsafat abad ke-20 yang bersifat logosentris. Berikut ini adalah beberapa pandangan para ahli mengenai filsafat bahasa. Verhaar menunjukkan dua jalan yang dikandung dari filsafat bahasa, yakni 1) filsafat mengenai bahasa dan 2) filsafat berdasarkan bahasa. Verhaar memberikan dua pengertian “bahasa” yang dijadikan titik pangkal untuk berfilsafat, yaitu bahasa yang diartikan eksklusif dan bahasa yang diartikan inklusif. Bahasa dalam pengertian eksklusif merupakan suatu pelukisan yang dapat dipakai sebagai pedoman pengantar umum atas aliran “filsafat analitik” (analisis bahasa) yang lahir di Inggris. Sedangkan untuk bahasa yang diartikan sebagai “inklusif” merupakan bahasa yang ditujukan untuk aliran hermeneutika. Menurut Rizal Muntansyir, filsafat bahasa ialah suatu penyelidikan secara mendalam terhadap bahasa yang dipergunakan dalam filsafat, sehingga dapat dibedakan pernyataan filsafat yang mengandung makna (meaningfull) dengan yang tidak bermakna (meaningless). Asep Ahmat Hidayat berpendapat bahwa pengertan filsafat perlu didekati dari dua pandangan, yaitu filsafat sebagai sebuah ilmu dan filsafat sebagai sebuah metode. Oleh karena itu, pengertian filsafat bahasa pun bisa didekati dari dari dua pandangan tersebut. Jika pengertian filsafat bahasa dilihat dari sebuah ilmu, maka filsafat bahasa adalah kumpulan hasil pekiran para filosof mengenai hakikat bahasa yang disusun secara sistematis untuk dipelajari dengan menggunakan metode tertentu. Sedangkan, jika diartikan sebagai sebuah metode berpikir, ia bisa diartikan sebagai metode berpikir secara mendalam , logis dan universal mengenai hakikat bahasa. B. Obyek Filsafat Bahasa Kata obyek dalam kamus besar bahasa Indonesia mengandung lima pengertian, yaitu : 1. Hal, perkara atau orang yang menjadi pokok pembicaraan 2. Benda, hal dan sebagainya yang menjadi obyek untuk diteliti. 3. Pelengkap dalam kalimat 4. Hal atau benda yang menjadi sasaran usaha sambilan 5. Bayangan dari suatu sistem lensa Dalam konteks ilmu pengetahuan , penertian yang cocok dari kata obyek adalah hal, benda atua perkara yang menjadi sasaran penelitian atau studi. Biasanya obyek ilmu pengetahuanitu dibedakan menjadi dua, yaitu obyek material (material object) dan obyek formal (formal object) Obyek material adalah benda, hal atau bahan yang menjadi obyek, bidang atau sasaran penelitian. Misalnya manusia merupakan obyek material dan ilmu psikologi, biologi, sosiologi dan sejarah. Sedangkan benda mati, merupakan obyek material dan ilmu pengetahuan alam (fisika, kimia dan astronomi). Sedangkan obyek formal ialah aspek atau sudut pandang tertentu terhadap obyek materialnya. C. Metode Mempelajari Filsafat Bahasa Metode merupakan kata dari bahasa Yunani, meta dan hodos. Meta berarti menuju, melalui, sesudah, dan mengikuti. Sedang hodos berarticara, jalan atau arah. Dalam ilmu pengetahuan, metode sering diartikan dengan jalan berpikir dalam bidang penelitian untuk memperoleh pengetahuan, atau merupakan salah satu langkah dari seluruh prosedur (methodology) penelitian tentang pengetahuan. Terdapat lima metode yang dapat digunakan untuk mempelajari filsafat bahasa. Kelima metode itu adalah : 1. Metode Historis 2. Metode Sistematis 3. Metode Kritis 4. Metode Analisa Abstrak 5. Metode Intuitif Metode historis atau metode sejarah adalah suatu metode pengkajian filsafat yang didasarkan pada prinsip-prinsip metode historigrafi yangf meliputi empat tahapan: heuristic, kritik, intepretasi, dan historigrafi. Heuristic artinya penentuan sumber kajian. Intepretasi artinya melakukan intepretasi terhadap isi sebuah sumber kajian atau pemikiran seorang ahli filsafat mengenai pemikirannya disekitar bahasa. Sedangkan historigrafi adalah tahapan penulisan dalam bentuk rangkaian cerita sejarah. Dalam konteks ini adalah cerita sejarah filsafat bahasa. Metode sistematis adalah metode pembahasan filsafat bahasa yang didasarkan pada pendekatan material (isi pemikiran). Melalui metode ini, seseorang bisa mempelajari filsafat bahasa mulai dari aspek ontology filsafat bahasa, kemudian dilanjutkan pada aspek epistemology, dan akhirnya sampai pada pembahasan mengenai aspek aksiologi filsafat bahasa. Selain itu melalui metode sistematis ini,seseorang bisa juga mempelajari filsafat bahasa mulai dari salah satu aliran tertentu dan selanjutnya mempelajari aliran lainnya. Misalnya, mempelajari aliran bahasa (analitik), kemudian mempelajari aliran lainnya, seperti positifisme logis, strukturalisme, post strukturalisme dan postmodernisme. Metode kritis digunakan oleh mereka yang mempelajari filsafat tingkat intensif. Biasanya digunakan oleh mahasiswa tingkat pasca sarjana. Bagi yang menggunakan metode ini haruslah sudah memiliki pengetahuan filsafat. Mengkritik boleh jadi dengan menentang suatu pemikiran atau bisa juga mendukung suatu pemikiran. Metode semacam ini telah dilakukan oleh George Moore ketika mengkritisi filsafat hegalianisme (neo idealisme) di Inggris dengan cara mengkritisi pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para filsuf hegalianisme. Selanjutnya diteruskan oleh para peletak dasar aliran analisa bahasa, seperti B. Russel dan Wittgestein. Metode analisis abstrak yaitu dengan cara melakukan kegiatan urai setiap fenomena kebahasaan dengan cara memilah-milah. Selanjutnya dilakukan generalisir secara abstrak sesuai dengan kaidah berfikir logis. Analisis dilakukan dengan cara memadukan analisis logis deduksi dengan analisis induksi sebagaimana yang telah dilakukan B. Russel. Metode intuitif, yaitu dengan melakukan introspeksi intuitif dan dengan memakai symbol-simbol. Metode ini telah lama dipraktekkan oleh para ahli tasawuf (Islam) dan mengungkap hakikat kebahasaan secara kasyaf. Di dunia barat, tokoh yang telah mempraktekkan metode ini adalah Henry Bergson. D Manfaat Mempelajari Filsafat Bahasa Berfilsafat adalah berusaha menemukan kebenaran (realitas yang sesungguhnya) tentang segala sesuatu dengan berpikir serius. Kecakapan berpikir serius sangat diperlukan oleh setiap orang. Banyak persoalan yang tidak dapat di selesaikan sampai saat ini. Hal ini dikarenakan karena persoalan tidak ditangani secara serius, hanya diwacanakan saja. Mempelajari filsafat (termasuk filsafat bahasa) adalah berlatih secara serius untuk mampu menyelesaikan suatu persoalan yang sedang dihadapi dengan cara menghadapi persoalan dengan tuntas dan logis. Seseorang tidak akan memiliki kemampuan seperti ini jika ia tidak melatihnya. Masih banyak manfaat yang dapat kita peroleh dengan mempelajari bahasa, diantaranya adalah : 1. Menambah pengetahuan baru 2. Bisa berpikir logis 3. Biasa berpikir analitik dan kritis 4. Terlatih untuk menyelesaikan masalah secara kritis, analitik dan logis 5. Melatih berpikir jernih dan cerdas 6. Melatih berpikir obyektif E. FILSAFAT BAHASA DALAM PENGAJARAN DWIBAHASA (BILINGUAL TEACHING) Filsafat bahasa adalah beralasan penyelidikan ke alam, asal-usul, dan penggunaan bahasa Sebagai topik, dengan filsafat bahasa untuk filsuf analitik berkaitan dengan empat masalah utama: sifat makna , menggunakan bahasa, bahasa kognisi , dan hubungan antara bahasa dan realitas . Untuk filsuf kontinental Namun, filsafat bahasa cenderung harus ditangani, bukan sebagai topik yang terpisah, tetapi sebagai bagian dari logika , sejarah atau politik . (Lihat bagian "Bahasa dan Continental Filsafat" di bawah ini.) Pertama, filsuf bahasa ke menanyakan sifat makna, dan berusaha untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan "berarti" sesuatu. Topik dalam vena yang mencakup sifat sinonim , asal makna itu sendiri, dan bagaimana makna yang bisa benar-benar diketahui. Lain proyek yang sedang this heading dari minat khusus untuk filsuf analytic bahasa is the penyelidikan the cara which are dikomposisikan menjadi kalimat keluar whole Berarti meaning of its parts. Kedua, mereka ingin memahami apa yang pembicara dan pendengar dengan bahasa dalam komunikasi , dan bagaimana ia digunakan social kepentingan khusus mungkin mencakup topik belajar bahasa , penciptaan bahasa, dan tindak tutur . Ketiga, mereka ingin tahu bagaimana bahasa berkaitan dengan pikiran baik pembicara dan penerjemah . Dari bunga tertentu adalah dasar untuk sukses terjemahan kata-kata ke kata lain. Akhirnya, mereka menyelidiki bagaimana bahasa dan makna berhubungan dengan kebenaran dan dunia. Filsuf cenderung kurang peduli dengan kalimat yang sebenarnya benar, dan banyak lagi dengan jenis apa makna bisa benar atau salah. Seorang filsuf kebenaran berorientasi bahasa mungkin bertanya-tanya apakah suatu kalimat bermakna bisa benar atau salah, atau apakah kalimat dapat mengekspresikan proposisi tentang hal-hal yang tidak ada, bukan kalimat cara digunakan. Pengertian bahasa menurut Bloch and Trager adalah sebagai berikut. Bahasa ialah….an arbitrary system of vocal sPeymbols, by means of which members of a community interact with each other. Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang sifatnya arbitraris yang dipakai menjadi sarana komunikasi anggota masyarakatnya. Ada beberapa hal yang penting, pertama bahasa adalah suatu sistem. Kedua, bahasa adalah lambang. Ketiga, bahasa itu berbentuk bunyi. Keempat, bahasa itu bersifat arbitraris. Kelima, bahasa itu berfungsi sebagai sarana komunikasi antara masyarakat manusia. Letak perbedaan antara filsafat bahasa dengan linguistik adalah; Linguistik bertujuan mendapatkan kejelasan tentang bahasa. Linguistik mencari hakikat bahasa. Jadi, para ahli bahasa menganggap bahwa kejelasan tentang hakikat bahasa adalah tujuan akhir kegiatannya. Sedangkan filsafat bahasa mencari hakikat ilmu pengetahuan atau hakikat pengetahuan konseptual. Dalam usahanya mencari hakikat pengetahuan konseptual, para filsuf mempelajari bahasa bukan sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai obyek sementara agar pada akhirnya dapat diperoleh kejelasan tentang hakikat pengetahuan konseptual itu. Didalam mendefinisikan bahasa, para ahli bahasa dari aliran strukturalis berpendapat bahwa fungsi bahasa memang untuk berkomunikasi, saling berinteraksi, untuk tanya jawab, menyuruh, menyahut, melarang, meminta, berseru, dll. Dapat dikatakan bahwa fungsi bahasa beserta variasinya adalah sebagai berikut. 1. Sebagai alat berkomunikasi (menyampaikan maksud) 2. Sebagai alat penyampai rasa santun. 3. Sebagai penyampai rasa keakraban dan hormat. 4. Sebagai alat pengenalan diri. 5. Sebagai alat penyampai rasa solidaritas. 6. Sebagai alat penopang kemandirian bangsa. 7. Sebagai alat penyalur rasa uneg-uneg. 8. Sebagai cermin peradaban bangsa. Masalah kebahasaan yang sering dibahas oleh para filsuf biasanya berkisar pada simbol dan arti. Secara garis besar, pemikiran itu dapat digambarkan sebagai berikut. 1. Metafisika Metafisika adalah bagian filsafat yang berusaha memformulasikan fakta yang paling umum dan paling luas, termasuk penyebutan kategori-kategori yang paling pokok atas pengelompokan hal, benda dan gambaran. 2. Logika Logika adalah studi tentang inference (kesimpulan-kesimpulan). Logika berusaha menciptakan suatu criteria guna memisahkan interferensi yang sahih dan tidak sahih. Karena penalaran itu terjadi dengan bahasa, maka analisis inteferensi itu tergantung pada analisis statement yang berbentuk premis dan konklusi. 3. Epistemology Epistemology (ilmu pengetahuan) menaruh perhatian pada bahasa dalam beberapa aspek, terutama dalam masalah pengetahuan apriori, yakni pengetahuan yang dianggap sudah diketahui tanpa didasarkan pada pengalaman yang sudah dialami secara nyata. Misal : 7+7 = 14 bagaimana kita tahu bahwa 7+7 = 14, salah satu jawabnya adalah makna masing-masing istilah yang dipakai dalam perhitungan matematika memang sudah kita anggap benar, tanpa melalui pemeriksaan lebih lanjut. 4. Reformasi bahasa Para filsuf juga tertarik untuk memperbaiki bahasa, dikarenakan kegiatan keilmuan para filsuf boleh dikatakan tergantung pada pemakaian bahasa. Ada dua pandangan berbeda terhadap bahasa. a. Bahasa berfungsi sebagai sarana pengantar filsafat. b. Bahasa yang kita pakai sehari-hari kurang kuat dan kurang sesuai untuk dipakai sebagai sarana pengantar filsafat. Bahasa kita samar, tidak eksplisit, ambigu, tergantung pada konteks dan sering menimbulkan kesalahpahaman. Pengertian Kedwibahasaan (The Meaning Of Bilingual) Menurut para pakar linguistik kedwibahasaan didefinisikan sebagai berikut: 1. Robert Lado (1964:214) Kedwibahasaan merupakan kemampuan berbicara dua bahasa dengan sama atau hamper sama baiknya. Secara teknis pendapat ini mengacu pada pengetahuan dua bahasa, bagaimana tingkatnya oleh seseorang. 2. MacKey (1956:155) Kedwibahasaan adalah pemakaian yang bergantian dari dua bahasa. 3. Hartman dan Stork (1972:27) Kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasa oleh seorang penutur atau masyarakat ujaran. 4. Haugen (1968:10) Kedwibahasaan adalah tahu dua bahasa 5. Bloomfield (1958:56) Kedwibahasaan merupakan kemamouan untuk menggunakan dua bahasa yang sama baiknya oleh seorang penutur. Jika diuraikan secara lebih umum maka maka pengertian kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasa secara bergantian baik secara produktif maupun reseftif oleh seorang individu atau oleh masyarakat. Tipologi kedwibahasaa 1. Menurut Weinrich (1953) Tipologi kedwibahasaan didasarkan pada derajat atau tingkat penguasaan seorang terhadap keterampilan berbahasa. Maka Weinreich membagi kedwibahasaan menjadi tiga, yaitu: a. Kedwibahasaan Majemuk (Compound Bilingualism) b. Kedwibahasaan majemuk adalah kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa salah satu bahasa lebih baik daripada kemampuan berbahasa yang lain. c. Kedwibahasaan koordinatif / sejajar Kedwibahasaan koordinatif/sejajar adalah kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa pemakaian dua bahasa sama-sama baik oleh seorang individu. d. Kedwibahasaan Sub-Ordinatif (kompleks) Kedwibahasaan sub-ordinatif (kompleks) adalah kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa seorang individu pada saat memakai B1 sering memasukkan B2 atau sebaliknya. 2. Beaten Beardsmore (1985:22) Beardsmore menambahkankan satu derajat lagi yaitu kedwibahasaan awal (inception bilingualism) yaitu kedwibahasan yang dimiliki oleh seorang individu yang sedang dalam proses menguasai B2. 3. Pohl (dalam Beatens Beardmore, 1985;5) tipologi bahasa lebih didasarkan pada status bahasa yang ada didalam masyarakat, maka Pohl membagi kedwibahasaan menjadi tiga tipe yaitu: a. Kedwibahasaan Horisontal (Horizontal Bilingualism) Merupakan situasi pemakaian dua bahasa yang berbeda tetapi masing-masing bahasa memiliki status yang sejajar baik dalam situasi resmi, kebudayaan maupun dalam kehidupan keluarga dari kelompok pemakainya. b. Kedwibahasaan Diagonal (Diagonal Bilingualism) Merupakan pemakaian dua bahasa dialek atau atau tidak baku secara bersama-sama tetapi keduanya tidak memiliki hubungan secara genetik dengan bahasa baku yang dipakai oleh masyarakat itu. c. Kedwibahasaan Vertikal (Vertical Bilinguism) Merupakan pemakaian dua bahasa apabila bahasa baku dan dialek, baik yang berhubungan ataupun terpisah, dimiliki oleh seorang penutur. 4. Menurut Arsenan (dalam Baerdsmore, 1985) Tipe kedwibahasaan pada kemampuan berbahasa. Maka Arsenan mengklasifikasikan kedwibahasaan menjadi dua yaitu: • Kedwibahasaan produktif (productive bilingualism) atau kedwibahasaan aktif atau kedwibahasaan simetrik (symmetrical bilingualism) yaitu pemakaian dua bahasa oleh seorang individu terhadap seluruh aspek keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) • Kedwibahasaan reseptif (reseptive bilingualism) atau kedwibahasaan pasif atau kedwibahasaan asimetrik (asymetrical bilingualism) F. DIAGLOSIA DALAM KEDWIBAHASAAN Diaglosia adalah situasi dimana dau dialek atau lebih biasa dipakai. (Charles Fergison 1959:136). Diaglosia adalah suatu situasi bahasa yang relatif stabil dimana, selain dari dialek-dialek utama satu bahasa (yang memungkinkan mencakup satu bahasa baku atau bahasa-bahasa baku regional), ada ragam bahasa yang sangat berbeda, sangat terkondifikasikan dan lebih tinggi, sebagai wacana dalam keseluruhan kesusastraan tertulis yang luas dan dihormati, baik pada kurun waktu terdahulu maupun masyarakat ujaran lain, yang banyak dipelajari lewat pendidikan formal dan banyak dipergunakan dalam tujuan-tujuan tertulis dan ujaran resmi, tapi tidak dipakai oleh bagian masyarakat apa pun dalam pembicaraan-pembicaraan biasa. (Hudson 1980:54). Diaglosia adalah hadirnya dua bahasa baku dalam satu bahasa, bahasa tinggi dipakai dalam suasana-suasana resmi dan dalam wacana-wacana tertulis, dan bahasa rendah dipakai untuk percakapan sehari-hari.(Hartmann & Strork 1972:67). Diaglosia adalah persoalan antara dua dialek dari satu bangsa, bukan antara dua bahasa. Kedua ragam bahasa ini pada umumnya adalah bahasa baku (standard language) dan dialek derah regional daerah (regional dialect). G. PARAMETER/PENGUKURAN DIAGLOSIA Mackey (1956) mengemukakan bahwa pengukuran kedwibahasaan dapat dilakukan melalui beberapa aspek, yaitu; a. Aspek tingkat. Dapat dilakukan dengan mengamati kemampuan memakai unsure-unsur bahasa seperti fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon serta ragam bahasa. b. Aspek fungsi Dapat dilakukan melalui kemampian pemakaian dua bahsa yang dimiliki sesuai dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Ada dua faktor yang harus diperhatikan dalam pengukuran kedwibahasaan yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang menyangkut pemakaian bahasa secara internal. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor dari luar bahasa. Hal ini antara lain menyangkut masalah kontak bahasa yang berkaitan dengan lamanya waktu kontak seringnya mengadakan kontak bahasa si penutur dapat ditentukan oleh lamanya waktu kontak, seringnya kontak dan penekannya terhadap bidang-bidang tertentu. Misalnya, bidang ekonomi, budaya, politik,dll. c. Aspek Pergantian Yaitu pengukuran terhadap seberapa jauh pemakai bahasa mampu berganti dari satu bahasa kebahasa yang lain. Kemampuan berganti dari satu bahasa ke bahasa yang lain ini tergantung pada tingkat kelancaran pemakaian masing-masing bahasa. d. Aspek interferensi Yaitu pengukuran terhadap kesalahan berbahasa yang disebabkan oleh terbawanya kebiasaan ujaran berbahasa atau dialek bahasa pertama terhadap kegiatan berbahasa. Robert Lado (1961) mengemukakan agar dalam pengukuran kedwibahasaan seseorang dilakukan melalui kemampuan berbahasa dengan menggunakan indikator tataran kebahasaan (sejalan dengan Mackey). Kelly (1969) menyarankan agar kedwibahasaan seseorang diukur dengan cara mendeskripsikan kemampuan berbahas seseorang dari masing-masing bahasa dengan menggunakan indikator elemen kebahasaan kemudian dikorelasikan untuk menentukan keterampilan berbahasa. John MacNawara (1969) memberikan disain teknik pengukuran kedwibahasaan dari aspek tingkat dengan cara memberikan respon kemampuan berbahasa dengan menggunakan konsep dasar analisis kesalahan berbahasa. Pengukuran dapat memakai indikator membaca pemahaman, membaca leksikon, kesalahan ucapan, kesalahan ketatabahasaan, interferensi leksikal B2, pemahaman bahasa lisan, kesalahan fonetis, makna kata dan kekayaan makna. Berbeda dengan pendapat-pendapat diatas yaitu Jakobovits (1970) memberikan desain teknik pengukuran kedwibahasaan dengan cara: 1. Menghitung jumlah tanggapan terhadap rangsangan dalam B1. 2. Menghitung jumlah tanggapan dalam rangsangan dalam B2 terhadap B1. 3. Menghitung perbedaan total antara B1 dan B2. 4. Menghitung jumlah tanggapan dalam B1 terhadap rangsangan dalam B1. 5. Menghitung jumlah tanggapan dalam B2 terhadap rangsangan dalam B2. 6. Menghitung tanggapan dalam b2 terhadap rangsangan dalam B1. 7. Menghitung jumlah tanggapan dalam b1 terhadap rangsangan dalam B2. 8. Menghitung tanggapan terjemahan terhadap rangsangan dalam B2. 9. Menyatakan hasil dalam bentuk prosentase, dan 10. Menghitung tanggapan dua bahasa terhadap rangsangan B1 dan B2 jika memungkinkan. Lambert (195:50, mengajukan teknik pengukuran kedwibahasaan dengan mengungkapkan dominasi bahasa, artinya bahasa mana dari dari kedua bahasa itu dominan Mackey (1968) memberikan teknik pengukuran kedwibahasaan dengan menggunakan tes keterampilan berbahasa masing-masing bahasa. Berikut merupakan ciri-ciri teori kebahasaan tradisional: 1. Teori-teori kebahasaan yang bersifat tradisional mengambil sumber asumsi-asumsi dan hipotesis tentang bahasa filsafat dan logika. Jadi, Jadi dengan latar belakang filsafat dan logikalah lahirlah asumsi dan hipotesis bahasa. 2. Data bahasa yang diteliti mulanya adalah data bahasa tertulis dan bahasa yang telah mengenal ejaan. 3. Data bahasa tertulis itu terbatas pada bahasa Yunani dan latin. 4. Bahasa dipandang bukan merupakan sebuah produk kebudayaan tetapi hanya dipandang sebagai sarana dan alat komunikasi berpikir. 5. Data dan Fakta bahasa yang tidak sesuai dengan teori-teori filsafat dianggap kekecualiaan atau kesalahan atau perlu pula diperbaiki sesuai dengan teori filsafat dan logika. Kelemahan dari teori kebahasaan ini ialah: 1. Asumsi-asumsi dan hipotesis kebahasan bukanlah harus dikaji dengan fakta dan data bahasa, melainkan fakta dan data bahasa harus disesuaikan dengan asumsi dan hipotesis filsafat dan logika tentang bahasa. 2. Teori kebahasaan bersifat universal dan dapat dilakukan untuk semua bahasa di dunis, sementara karakteristik setiap bahasa berbeda-beda. BAB IV KESIMPULAN Didasarkan pada uraian yang telah disajikan dalam bab-bab sebelumnya, terdapat pemikiran dasar yang akan ditekankan dalam bab kesimpulan ini. Yang pertama adalah bahwa bahasa sejak dulu hingga saat ini telah memberikan andil yang sangat besar bagi perkembangan peradaban manusia. Melalui symbol-simbol bahasa, karya intelektual, budaya manusia dilestarikan dan dtransformasikan dari satu periode generasi kepada generasi berikutnya. Lewat bahasa, manusia dapat menyampaikan dan mengembangkan pemikirannya dalam aneka wujud kebudayaan. Simbol-simbol bahasa memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan member makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Dari serangkaian pendapat-pendapat yang telah diuraikan, menunjukkan tentang kebhinekaan pendapat mengenai konsep makna dan bentuk pengajaran dwibahasa atau bilingual teaching yang disuguhkan oleh para filsuf dari berbagai macam aliran. Ini membuktikan bahwa dalam filsafat terdapat bermacam metode perenungan. Karena itu, jika kita hanya membahas filsafat hanya kedalam satu jenis metode pembahasan khusus saja, ini berarti kita telah berusaha untuk mengusir filsafat dari dunianya. Langkah ini sungguh bertentangan dengan sifat atau karakter yang telah dimiliki filsafat. Dari dulu hingga sekarang, filsafat senantiasa memberikan berbagai alternatif metode untuk memecahkan suatu persoalan. DAFTAR PUSTAKA Endraswara, Suwardi, 2006, Methodology Penelitian Sastra, Pustaka Widyatama, Yogyakarta Hidayat, Asep Ahmat, 2006, Filsafat Bahasa, Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung Pranowo, 1996, Analisis Pengajaran Bahasa, Gajahmada University Press, Yogyakarta Poedjosoedarmo, Soepomo, 2003, Filsafat Bahasa, Muhammadiyah University Press, Surakarta

MAKALAH WALI NIKAH (VENA VULVENA)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam pandangan islam perkawinan itu bukan hanya urusan perdata semata, bukan pula sekedar urusan keluarga dan budaya, tetapi masalah dan peristiwa agama. Oleh karena perkawinan itu dilakukan untuk memenuhi sunnah Allah dan sunnah nabi SAW dan dilaksanakan sesuai dengan petunjuk Allah dan petujuk nabi. Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur hukum. B. RUMUSAN MASALAH Dalam makalah ini akan membahas mengenai Wali,dan saksi dalam pernikhan Kedudukan dan jenis mahar dalam pernikahan. BAB II PEMBAHASAN A. KONSEP WALI DALAM PERNIKAHAN Pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan sangat suci, ia merupakan dambaan setiap pemuda dan pemudi. Namun di dalam mewujudkan hal tersebut tidaklah mudah dan sembarangan, karena di dalam pernikahan ada rukun-rukun dan syarat-syarat yang harus dipenuhi, apabila kurang salah satu rukun atau syaratnya maka menurut kesepakatan ulama fiqih tidak sah pernikahan tersebut. Di antara rukun-rukun nikah yang harus dipenuhi adalah sebagaimana berikut: 1. Wali. 2. Dua orang saksi 3. Akad. 4. Mahar. Adapun salah satu rukunnya adalah adanya wali dari pihak perempuan. Apabila rukun ini tidak terpenuhi bahkan cenderung diabaikan maka sia-sialah pernikahan yang dilaksanakan, sehingga seorang laki-laki belum resmi memiliki seorang wanita yang dinikahinya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah عن عائشة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “لا نكاح إلا بولي وشاهدي عدل Dari Aisyah Radhiyallahu anha bahwasanya Rasulullah r bersabda, “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” Sabdanya yang lain, عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ Dari Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal” 1. Wali Nikah Menurut Bahasa Dan Istilah. Kata wali dalam kamus besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai pengasuh, orang tua atau pembimbing terhadap orang atau barang. Perwalian dari bahasa Arab adalah Walayah atau wilayah yaitu hak yang diberikan oleh syariat yang membuat si wali mengambil dan melakukan sesuatu, kalau perlu secara paksa diluar kerelaan dan persetujuan dari orang yang diperwalikan Menurut Amin perwalian dalam literatur fiqh Islam disebut dengan Al-walayahatau Al-Wilayah seperti kata ad-dalalah yang juga disebut ad-dilalah. Secara etimologis mengandung beberapa arti yaitu cinta (al-mahabbah) dan pertolongan (an-nashrah) atau bisa juga berarti kekuasaan atau otoritas. Seperti dalam ungkapan al-wali yakni orang yang mempunyai kekuasaan untuk mengurus sesuatu. Perwalian dalam istilah Fiqh disebut wilayah yang berarti penguasaan dan perlindungan. Yang dimaksud perwalian adalah penguasaan penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk menguasai dan melindungi orang atau barang. Dalam Fiqh Sunnah di jelaskan bahwa wali adalah suatu ketentuan hukum yang dapat di paksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya, wali ada yang khusus dan ada yang umum. Wali khusus adalah yang berkaitan dengan manusia dan harta bendanya. Menurut Syarifuddin yang dimaksud dengan wali dalam perkawinan adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Wali yaitu pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki Perwalian dalam perkawinan adalah suatu kekuasaan atau wewenang Syar’i atas segolongan manusia yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai itu demi kemaslahatannya sendiri. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud wali nikah adalah orang yang mewakili perempuan dalam hal melakukan akad pernikahan, karena ada anggapan bahwa perempuan tersebut tidak mampu melaksanakan akadnya sendiri karena dipandang kurang cakap dalam mengungkapkan keinginannya sehingga dibutuhkan seorang wali untuk melakukan akad nikah dalam pernikahan. 2. Klasifikasi Wali Dalam beberapa refrensi hukum Islam, baik yang berbahasa arab atau berbahasa Indonesia, ulama berbeda-beda dalam menyebutkan macam-macam wali dalam pernikahan, semisal Imam Taqiyuddin Abi Bakrin in Muhammad Al-Husainy Al-Hishny al-Damasyqy as-Syafi’i, menyebutkan empat wali yang dapat menikahkan mempelai perempuan, yaitu wali nasab, wali maula, wali tahkim dan wali hakim. Adapun rinciannya sebagai berikut: a. Wali nasab, wali nasab adalah wali nikah karena ada hubungan darah nasab dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan. Adapun urutan wali menurut pendapat tokoh akan dijelaskan selanjutnya. b. Wali maula, Sedangkan yang dimaksud dengan wali Maula adalah pewalian yang digunakan dalam menikahkan budak yang telah dimerdekakan, dengan kata lain wali yang menikahkan budaknya, artinya majikannya sendiri. Laki-laki boleh menikahkan perempuan yang berada dalam perwalian, bilamana perempuan yang berada dalam pewaliannya rela menerimanya. Perempuan yang dimaksudkan disini adalah hamba sahaya yang berada dibawah kekuasaannya. Sedangkan wanita yang wali nasabnya tidak diketahui siapa dan dimana hamba sahaya yang telah dimerdekakan), maka walinya adalah orang yang memerdekakan, selanjutnya adalah famili-famili atau ashabah dari orang yang telah memerdekakannya. c. Wali tahkim, yaitu wali yang diangkat oleh calon mempelai suami dan atau calon istri. Hal itu diperbolehkan, karena akte tersebut dianggap tahkim. Sedang muhakkamnya bertindak sebagaimana layaknya hakim. Seperti yang telah diriwayatkan olehYunus bin Abdil A’la, bahwa Syafi’i pernah berkata “seandainya ada seorang perempuan dalam suatu perkumpulan, ia memasrahkan wali kepada seorang laki-laki, sedang perempuan tersebut tidak mempunyai wali, maka hal tersebut dianggap boleh dilakukan, ada pula yang mengemukakan, bahwa wali nikah dapat diangkat dari orang yang terpandang, disegani, luas ilmu fiqhnya terutama tentang munakahat, berpandangan luas, adil, islam dan laki-laki; demikian pendapat Hanafi, yang dikutip oleh Moh. Idris Ramulyo. Sejalan dengan pendapat-pendapat tersebut di atas, apayang dikemukakan oleh al- Bikri, pengarrang kitab I’anatuh at-Thalibin “seorang perempuan yang tidak ada walinya, baik wali nasab, wali hakim atau Qhadi, maka perempuan tesebut diperbolehkan mengangkat seorang laki-laki untuk menikahkan dirinya dengan laki-laki yang dicintainya dan sekufu. Bahkan, sekalipun ada wali hakim atau Qhadi yang diangkat oleh penguasa, ketika mereka berbelit-belit dan memungut uang untuk menikahkannya. Bahkan ada pendapat yang mengatakan jika tidak ada orang yang siap menjadi muhakkam, sedang dirinya dikhawatirkan akan berbuat zina, maka perempuan tersebut diperbolehkan menikahkan dirinya sendiri. Sebagaimana juga dikemukakan oleh syaikh Muhammad bin Abdurrahman ad- Damasyqi, bahwa perempuan yang ada disuatu tempat yang tidak ada hakim dan wali, maka ada dua macam hukumnya. Pertama, dia boleh menikahkan dirinya. Kedua, perempuan tersebut menyerahkan pernikahan kepada orang lain yang beragama islam. Bahkan, beliau mengutip sebuah pendapat Abu Ishak Asy-Syirazi yang mengemukakan bahwa masalah yang seperti di atas boleh memilih hukum yang telah ditetapkan oleh seorang faqih diantara ahli ijtihad, berdasarkan suatu prinsip bahwa diperbolehkan mentahkim dalam nikah. Adapun cara pengangkatannya (cara melakukan tahkim) adalah calon suami mengucapkan tahkim, kepada calon istri dengan kalimat “saya angkat saudara untuk menikahkan saya dengan si…..(calon istri) dengan mahar putusan bapak/saudara, saya terima dengan senang” setelah itu, calon istri juga mengucapkan hal sama. Kemudian calon hakim menjawab “saya terima tahkimini” d. Wali Hakim, adapun yang dimaksud dengan wali hakim adalah penguasa atau orang yang ditunjuk oleh penguasa (pemerintah) untuk menangani hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan, baik dia itu orang yang curang atau yang adil. Ada juga yang berpendapat bahwa dia termasuk penguasa yang adil, bertanggung jawab mengurusi kemaslahatan umat Allah, bukan para sultan atau penguasa yang curang, karena mereka tidak termasuk orang yang berhak mengurusi hal itu. Sekiranya pengantin perempuan itu tidak mempunyai wali maka ia akan dinikahkan secara wali hakim. Rasullah SAW bersabda: “Maka Sultanlah yang menjadi wali bagi siapa yang tidak mempunyai wali”. (Riwayat At-Tirmizi dan Abu Daud). 3. Fungsi Wali dalam Pernikahan. Dari beberapa rukun dalam perkawinan menurut Hukum Islam, wali nikah adalah hal yang sangat penting dan menentukan, bahkan menurut Syafi`i tidak sah nikah tanpa adanya wali bagi pihak perempuan sedangkan untuk pihak laki-laki tidak diperlukan adanya wali nikah. Pendapat lain mengatakan bahwa fungsi wali nikah sebenarnya adalah sebagai wakil dari perempuan, sebenarnya wali tersebut tidak diperlukan apabila yang mengucapkan ikrar ijab adalah laki-laki. Namun dalam praktek selalu pihak perempuan yang mengucapkan ijab (penawaran) sedangkan pengantin laki-laki mengucapkan ikrar qabul (penerimaan), karena pada dasarnya wanita itu pemalu maka pengucapan ijab tersebut diwakilkan pada walinya, jadi wali di sini hanya sekedar sebagai wakil karena yang paling berhak adalah perempuan tersebut. Dari pendapat di atas menjelaskan bahwa fungsi wali adalah sebagai pengganti dari perempuan yang akan melangsungkan akad nikah, akan tetapi yang berlaku pada masyarakat di jazirah Arab pada waktu awal Islam, wali dapat menikahkan anak perempuanya tanpa melalui izin anak perempuan yang akan dinikahkan, ketika Islam datang praktek menikahkan tanpa persetujuan dari anak perempuan kemudian dilarang oleh Nabi Muhammad. 4. Hikmah Wali Dalam Pernikahan. Hikmah disyari`atkanya wali dalam pernikahan disebabkan dalam Islam hubungan anak dengan orang tua harus tetap terjaga jangan sampai terjadi perpecahan sampai anak tersebut memiliki rumah tangga sendiri, penyebab perpecahan tersebut sering terjadi karena calon suami dari anak perempuan tersebut tidak direstui oleh orang tua, oleh sebab itu ketika seorang perempuan mencari calon suami perlu adanya perantara dari wali supaya dikemudian hari tidak terjadi permasalahan dengan walinya. Hikmah wali dalam pernikahan juga disebabkan karena perempuan jarang berteman dengan laki-laki, jadi wajar kalau perempuan tersebut tidak begitu paham tentang tabiat seorang laki-laki maka agar perempuan tersebut tidak tertipu oleh seorang laki-laki dibutuhkanlah seorang wali, karena wali lebih tahu tentang tabiat seorang laki-laki sebab sering bergaul dengan mereka atau karena sesama lelakinya jadi lebih paham mana laki-laki yang baik dan tidak baik. Hikmah yang terkandung dibalik keharusan adanya wali dalam pernikahan sebenarnya lebih ditekankan pada permasalahan kecocokan antara calon suami dengan keluarga perempuan, maksudnya adalah jika hubungan antara calon suami mulai awal tidak disetujui oleh wali maka selanjutnya bagi keluarga anak perempuan dengan keluarga orang tua akan mengalami permasalahan, padahal dalam Islam sangat ditekanan masalah silaturrahmi, permasalahan di atas bisa dicegah manakala dalam proses perkawinan wali ikut di dalamnya, apabila dikemudian hari ada permasalahan, wali juga akan membantu menyelesaikan perkara tersebut, karena sejak awal wali dilibatkan dalam perkawinannya. 5. Wali Fasik Mengikut pendapat Mazhab Syafi’e dan Hambali, wali fasik tidak boleh atau tidak sah menjadi wali nikah. Ini berdasarkan sebuah hadith dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak sah nikah melainkan wali yang adil dan ada saksi yang adil”.(RiwayatAhmad) Yang dimaksudkan dengan adil ialah seseorang itu berpegang kuat (istiqamah) kepada ajaran Islam, menunaikan kewajiban agama, mencegah dirinya melakukan dosa-dosa besar seperti berzina, minum arak, menderhaka kepada kedua-dua ibu bapak dan sebagainya serta berusaha tidak melakukan dosa-dosa kecil. Wali bersifat adil disyaratkan karena ia dianggap bertanggungjawab dari segi kehendak agama ketika membuat penilaian bakal suami bagi kepentingan dan maslahat perempuan yang hendak berkahwin itu. Manakala wali fasik pula, ia sendiri sudah tidak bertanggungjawab ke atas dirinya apatah lagi hendak bertanggung jawab kepada orang lain. Untuk menentukan seseorang wali itu bersifat adil atau fasik adalah memadai dilihat dari segi zahir atau luaran sahaja ataupun memadai wali itu mastur iaitu kefasikannya tidak diketahui karena untuk menilai kefasikan secara batin adalah susah. Walau bagaimanapun jikalau Sultan atau Raja itu fasik yang menjadi wali bagi perempuan yang tidak mempunyai wali maka kewalian itu tetap sah karena kesahihannya diambilkira dari segi keperluan terhadap wali Raja. Sebenarnya sebagian besar ulama-ulama Mutaakhirin dalam Mazhab Syafi’e seperti Imam Al-Ghazali, pendapat pilihan Imam Nawawi dan sebagainya, telah mengeluarkan fatwa bahwa sah wali fasik menjadi wali, selepas beristighfar. Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin telah mengingatkan bahwa seseorang wali harus memerhati dan meneliti kelakuan geraklaku calon suami, jangan sampai mengawini saudara perempuan dengan seorang lelaki yang buruk budi pekertinya atau lemah agamanya ataupun yang tidak sekufu dengan kedudukannya. Sekiranya ia mengawinkan puterinya dengan seorang lelaki yang zalim atau fasik atau yang lemah agamanya atau peminum arak, maka ia telah melanggar perintah agamanya dan ketika itu ia akan terdedah kepada kemurkaan Allah swt, karena ia telah mencuaikan persoalan silaturrahim (perhubungan tali kerabat) dan telah memilih jalan yang salah. Selanjutnya Al-Ghazali menceritakan seorang ayah telah datang meminta nasihat kepada Al-Hasan, Katanya: “Telah banyak orang yang datang meminang puteriku, tetapi aku tidak tahu dengan siapa yang harusku kawinkan dia”. Berkata Al-Hasan: “Kawinkan puterimu itu dengan orang yang banyak taqwanya kepada Allah. Andaikata suaminya mencintainya kelak pasti ia akan dimuliakan. Tetapi jika suaminya membencinya maka tiada dianiayainya”. 6.Konsep Wali Nikah Dalam Perspektif Fiqh Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum wali dalam pernikahan, apakah semua gadis yang akan melangsungkan pernikahan harus ada wali ataukah tidak? Berikut perinciannya : 1. Jumhur ulama, termasuk di dalamnya Sa’id bin Musayyib, Hasan Al-Bashri, Abdullah bin Abdul Aziz, Ats-Tsauri dan Imam Syafi’i. Mereka semua berpendapat bahwasanya pernikahan tanpa wali tidak sah. Menurut imam Syafi’i, kehadiran wali menjadi salah satu rukun nikah, yang berarti tanpa kehadiran wali ketika melakukan akad nikah perkawinan tidak sah. Bersamaan dengan ini, Syafi’i juga berpendapat wali dilarang mempersulit perkawinan wanita yang ada di bawah perwaliannya sepanjang wanita mendapat pasangan yang sekufu. Dasar yang digunakan imam Syafi’i adalah Al-Baqarah:232, An-Nisa: 25,34. serta beberapa hadits nabi. Menurut Syafi’i bapak lebih berhak menentukan perkawinan anak gadisnya. Hal ini didasarkan pada mafhum mukhalafah dari hadits yang menyatakan “janda lebih berhak kepada dirinya”. Sehingga menurut Syafi’i izin gadis bukanlah satu keharusan tetapi hanya sekedar pilihan. Adapun perkawinan seorang janda harus ada izin secara tegas dari yang bersangkutan. Hal ini didasarkan pada kasus al-khansa’a. 2. Imam Maliki mengharuskan izin dari wali atau wakil terpandang dari keluarga atau hakim untuk akad nikah. Akan tetapi tidak dijelaskan secara tegas apakah wali harus hadir dalam akad nikah atau cukup sekedar izinnya. Meskipun demikian imam malik tidak membolehkan wanita menikahkan diri-sendiri, baik gadis maupun janda. Mengenai persetujuan dari wanita yang akan menikah, imam malik membedakan antara gadis dengan janda. Untuk janda, harus terlebih dahulu ada persetujuan secra tegas sebelum akad nikah. Sedangkan bagi gadis atau janda yang belum dewasa dan belum dicampuri suami, maka jika bapak sebagai wali ia memiliki hak ijbar. Sedangkan wali diluar bapak, ia tidak memilki hak ijbar. Imam Malik berpendapat juga bahwa jika yang akan menikah adalah orang yang biasa-biasa saja, bukan termasuk orang yang mempunyai kedudukan, kerupawanan dan bukan bangsawan tidak apa-apa ia menikah tanpa wali. Akan tetapi ketika ia seorang yang berkedudukan, berwajah rupawan dan banyak harta maka ketika menikah harus memakai wali. 3. Ibnu Qudamah dari Madzhab Hambali menyatakan, wali harus ada dalam perkawinan (rukun nikah), yakni harus hadir ketika melakukan akad nikah. Menurutnya hadits yang mengharuskan adanya wali bersifat umum yang berarti berlaku untuk semua. Sedangkan hadits yang menyebutkan hanya butuh izin adalah hadits yang bersifat khusus. Sehingga yang umum harus didahulukan dari dalil khusus. Ibnu Qudamah berpendapat adanya hak ijbar wali untuk menikahkan gadis yang belum dewasa, baik wanita tersebut senang atau tidak, dengan syarat sekufu. Sedangkan menurut Ibnu Qayyim, persetujuan wanita harus ada dalam perkawinan. 4. Abu Hanifah membolehkan perkawinan tanpa wali (menikahkan diri sendiri), atau meminta orang lain diluar wali nasab untuk menikahkan gadis atau janda. Hanya saja kalau tidak sekufu, wali berhak membatalkannya. Dasar yang membolehkan perkawinan tanpa wali, menurut abu hanifah diantaranya Al-Baqarah: 230,232,240. serta mengartikan “al-aima”adalah”wanita yang tidak mempunyai suami” baik gadis maupun janda. Ditambah dengan hadits tentang kasus al-khansa’a yang dinikahkan secara paksa oleh bapaknya dan ternyata tidak diakui oleh Nabi. Menurut abu hanifah persetujuan dari para calon adalah satu keharusan dalam perkawinan, baik bagi seorang gadis maupun janda. Perbedaannya, persetujuan gadis cukup dengan diamnya, sementara janda harus dinyatakan dengan tegas.Sedangkan pendapat yang rajih dan benar dari tiga pendapat di atas adalah pendapat pertama yang dibawakan oleh jumhur ulama, yaitu seorang gadis ketika melangsungkan pernikahan harus ada wali bersamanya. Ulama-ulama yang memperbolehkan wali (bapak dan kakek) menikahkan tanpa izin ini menggantungkan bolehnya dengan syarat-syarat sebagai berikut: 1. Tidak ada permusuhan antara bapak dan anak. 2. Hendaknya dinikahkan dengan orang yang setara sekufu). 3. Maharnya tidak kurang dari mahar misil (sebanding) . 4. Tidak dinihkan dengan orang yang tidak mampu membayar mahar. 5. Tidak dinikahkan dengan laki-laki yan mengecewakan (membahayakan) si anak kelak dalam pergaulannya dengan laki-laki itu, misalnya orang itu buta atau orang yang sudah sangat tua sehingga tidak ada harapan akan mendapat kebahagiaan dalam pergaulannya. Tetapi sebagian Ulama berpendapat, bapak tidak boleh menikahkan anak perawannya tanpa izin lebih dahulu dari anaknya itu. Sabda rasulullah SAW: Artinya:Dari Abu Hurairah. Ia berkata:” Rasulullah SAW telah bersabda:” perempuan janda janganlah dinikahkan sebelum diajak bermusyawarah, dan perawan sebelum diminta izinny.” para sahabat lalu bertanya:” bagaimana cara izin perawan itu ya rasulullah?” jawab beliau:” Diamnya tanda izinnya.” (Riwayat Muttfaq ’Alaih) Oleh pihak pertama, hadits ini dan sebagainya diartikan perintah sunat atau larangan makruh, bukan perintah wajib atu larangan haram. Golongan kedua menjawab, bahwa hadits-hadits yang memperbolehkan si bapak menikahkan anaknya tanpa izin terlebih dahulu terjadi sebelum datang perintah yang yang mewajibkan izin. Kejadian mengenai diri Aisyah ( pernikahannya) dengan Rasulullah SAW adalah Khususiyah (tertentu) bagi Rasulullah SAW sendiri, tidak dapat dijadikan dalil untuk umum. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwasanya wali dalam pernikahan merupakan satu bagian yang tak mungkin untuk dipisahkan. Namun untuk bisa menjadi wali, seseorang harus memenuhi syarat standar minimal yang juga telah disusun oleh para ulama, berdasarkan pada ayat Al-quran dan sunnah nabawiyah. Adapun syarat-syaratnya adalah sebagaimana berikut : 1. Islam. Seorang ayah yang bukan beragama Islam tidak menikahkan atau menjadi wali bagi pernikahan anak gadisnya yang muslimah. Begitu juga orang yang tidak percaya kepada adanya Allah (atheis). Ini adalah pendapat jumhur ulama di antaranya Malik, Syafi’I, Abu Ubaid. Dalil haramnya seorang kafir menikahkan anaknya yang muslimah adalah ayat Quran berikut ini: وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ “Dan orang-orang yang beriman laki-laki dan perrempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain.” Khusus dalam syarat ke-Islaman, ada pengecualian tersendiri dalam kasus khusus. Yaitu pabila wanita yang dinikahkan itu bukan beragama Islam, melainkan seorang wanita pemeluk agama ahli kitab , maka tidak perlu walinya seorang muslim juga. Titik masalahnya adalah karena seorang muslim atau atau muslimah tidak boleh diwalikan oleh non muslim. Namun bila pengantin wanita belum lagi menjadi muslimah, maka tidak ada masalah dengan agama sang wali, boleh saja walinya itu juga bukan muslim. Jadi keharusan wali beragama Islam lantaran karena dia menjadi wali buat seseorang yang beragama Islam. Di dalam hukum Islam, seorang yang bukan muslim tidak berhak dan juga tidak sah menjadi wali bagi seorang muslim. Namun bila yang diwalikan bukan muslim, maka tidak ada masalah. 2. Berakal, maka seorang yang kurang waras, idiot atau gila tidak syah bila menjadi wali bagi anak gadisnya. Meskipun gilanya hanya kadang-kadang, terlebih lagi gila yang terus menerus tidak ada perbedaan di antara keduanya menurut pendapat yang paling benar. 3. Bulugh, maka seorang anak kecil yang belum pernah bermimpi atau belum baligh, tidak syah bila menjadi wali bagi saudara wanitanya atau anggota keluarga lainnya. 4. Merdeka, maka seorang budak tidak syah bila menikahkan anaknya atau anggota familinya, meskipun ia beragama Islam, berakal, baligh. Ulama berbeda pendapat dalam menetapkan perwalian budak. Sebagian ulama mengatakan bahwa seorang budak tidak mempunyai hak perwalian, baik atas dirinya sendiri atau orang lain. Sedangkan ulama Hanafiah mengemukakan bahwa seorang wanita boleh dinikahkan oleh seorang budak atas izinnya, dengan alasan bahwa wanita itu dapat menikahkan dirinya sendiri. Meskipun ada sebagian ulama yang membolehkannya, namun menurut pendapat yang paling benar adalah ia tidak boleh menjadi wali. 5. Laki-laki, jadi seorang perempuan tidak berhak menjadi wali nikah. Seorang perempuan tidak boleh menjadi wali dalam pernikahan, berdasarkan hadits Nabi yang berbunyi: Artinya: Janganlah perempuan menikahkan perempuan yang lain dan jangan pula seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri Dalam hadits tersebut terkandung dalil bahwa wanita tidak mempunyai kekuasaan untuk menikahkan dirinya dan menikahkan orang lain. Namun menurut Imam Abu Hanifah, ia berpendapat bahwa wanita yang berakal dan baligh boleh mengawinkan dirinya sendiri dan mengawinkan anak perempuannya yang di bawah umur serta mewakili orang lain. Namun demikian, jika dia menyerahkan dirinya kepada laki-laki yang tidak sekufu dengannya, maka para wali berhak menentangnya. Berbeda halnya dengan pendapat Imam Malik yang tidak mengeneralkan semua perempuan, akan tetapi hanya terbatas pada golongan rendah saja (bukan bangsawan) karena menurutnya perempuan bangsawan tidak diperbolehkan. 6. Adil, Ulama berbeda pendapat tentang kedudukan adil sebagai persyaratan bagi wali antara lain: 1) Bagi ulama mensyaratkan wali harus adil, maka berdasarkan pada Hadits Nabi yang artinya: ”tidak ada pernikahan kecuali dengan wali yang memberikan bimbingan dan dua orang saksi yang adil” pendapat yang pertama ini disepakati oleh beberapa ulama fiqh terkemuka seperti Imam Ahmad, Imam Syafi’i, Imam Malik dan orang-orang yang sependapat dengannya. 2) Bagi ulama yang tidak mensyaratkan wali harus adil, mereka berdasarkan pada suatu riwayat Mutsanna bin Jami’, dia menukil bahwa dia pernah bertanya pada Ahmad, jika orang menikah dengan wali yang fasik dan beberapa saksi yang adil, maka Ahmad berpendapat bahwa hal tersebut tidak membatalkan pernikahan, itu pula yang menjadi pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah serta salah satu pendapat Syafi’i. Sejalan dengan pendapat kedua di atas, apa yang dikemukakan oleh Imam Al-Baijury, bahwa yang disyaratkan adil adalah kedua saksi, bukan persyaratan bagi wali, karena menurutnya marji’u dhamirnya kembali pada lafad syahidain. Hal ini diperkuat oleh pendapat Sayyid Sabiq yang mengemukakan bahwa bahwa seorang wali tidak disyaratkan adil. oleh karna itu, seorang yang durhaka tetap tidak kehilangan haknya untuk menjadi wali dalam perkawinan kecuali kedurhakaannya melampaui batas-batas kesopanan yang berat. Bahkan dalam KHI diringkas hanya menjadi empat persyaratan bagi wali, sebagaimana tercantum dalam pasal 20 ayat 1 yang berbunyi: “yang betindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum islam yakni muslim, Aqil dan baligh”. 7. Sebagian ulama ada yang mensyaratkan tidak sedang berihram, haji ataupun umrah, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh mengkhitbah.” 8. Sebagian fuqaha juga menambahkan syarat wali yang berikutnya adalah memiliki ‘adalah yaitu dia bukan seorang pendosa, bahkan ia terhindar dari melakukan dosa-dosa besar seperti mencuri, berzina, minum khamr, membunuh, makan harta anak yatim, dan semisalnya. Di samping itu, dia tidak terus-menerus tenggelam dalam dosa-dosa kecil dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak sepantasnya. Pensyaratan ini merupakan salah satu dari dua riwayat dalam mazhab Hanabilah dan merupakan pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’iyyah. Adapun Hanafiyyah memandang seorang yang pendosa (fasik) tidaklah hilang haknya sebagai wali, kecuali bila kefasikannya tersebut sampai pada batasan ia berani terang-terangan berbuat dosa. Demikian pula Malikiyyah berpandangan bahwa seorang yang pendosa (fasik) tidak hilang haknya sebagai wali. Adapun bukan seorang pendosa(tidak fasik) hanyalah syarat penyempurna bagi wali, sehingga bila ada dua wali yang sama derajatnya, yang satu seorang pendosa (fasik) sedangkan yang satu bukan seorang pendosa, seperti seorang wanita yang tidak lagi memiliki ayah dan ia memiliki dua saudara laki-laki, satunya penodsa (fasik) sedangkan yang satunya adil (bukan pendosa), tentunya yang dikedepankan adalah yang memiliki ‘adalah. Inilah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk menjadi wali, seandainya seseorang telah memenuhi syarat-syarat di atas dan ia termasuk dari orang yang berhak menjadi wali, maka ia diperbolehkan untuk menjadi wali bagi seorang gadis yang masih saudaranya yang hendak melangsungkan pernikahan. Perlu diketahui, telah menjadi kesepakatan ulama bahwasanya yang berhak menjadi wali nikah adalah orang-orang yang berstatus asobah. Ini adalah pendapat jumhur ulama di antaranya adalah Tsauri, Laits, Malik dan Syafii, sedangkan perincian yang berhak menjadi wali adalah sebagai berikut. Dalam Kifayatul Akhyar, sebuah kitab fiqih yang lazim digunakan di dalam mazhab Syafi’iyah, disebutkan bahwa urutan wali nikah adalah sebagai berikut: 1. Ayah kandung. 2. Ayah dari ayah (Kakek). Saudara laki-laki seayah dan seibu (saudara kandung) 3. Saudara laki-laki seayah. 4. Anak laki-laki dari saudara sekandung yang laki-laki. 5. Anak laki-laki dari saudara seayah. 6. Saudara laki-laki ayah (paman). 7. Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah (sepupu). Daftar urutan wali di atas tidak boleh dilangkahi atau diacak-acak. Sehingga jika ayah kandung masih hidup, maka tidak boleh hak kewaliannya itu diambil alih oleh wali pada nomor urut berikutnya. Kecuali bila pihak yang bersangkutan memberi izin kepada urutan yang setelahnya. Penting untuk diketahui bahwa seorang wali berhak mewakilkan hak perwaliannya itu kepada orang lain, meski tidak termasuk dalam daftar para wali. Hal itu biasa sering dilakukan di tengah masyarakat dengan meminta kepada tokoh ulama setempat untuk menjadi wakil dari wali yang syah. Dan untuk itu harus ada akad antara wali dan orang yang mewakilkan. Akan tetapi sebaliknya apabila pihak wanita mewakilkan kepada orang lain tanpa ijin dari wali maka pernikahannya tidak sah. Sebagai contoh, ketika dalam kondisi di mana seorang ayah kandung tidak bisa hadir dalam sebuah akad nikah, maka dia bisa saja mewakilkan hak perwaliannya itu kepada orang lain yang dipercayainya, meski bukan termasuk urutan dalam daftar orang yang berhak menjadi wali. Sehingga bila akad nikah akan dilangsungkan di luar negeri dan semua pihak sudah ada kecuali wali, karena dia tinggal di Indonesia dan kondisinya tidak memungkinkannya untuk ke luar negeri, maka dia boleh mewakilkan hak perwaliannya kepada orang yang sama-sama tinggal di luar negeri itu untuk menikahkan anak gadisnya. Namun hak perwalian itu tidak boleh dirampas atau diambil begitu saja tanpa izin dari wali yang sesungguhnya. Bila hal itu dilakukan, maka pernikahan itu tidak syah dan harus dipisahkan saat itu juga. Hukum yang telah dijelaskan di atas mengenai kedudukan wali yang sangat urgen dalam pernikahan, apakah hukum tersebut hanya berlaku bagi seorang perempuan yang masih dalam keadaan perawan atau berlaku juga bagi seorang wanita yang berstatus janda ? berikut perinciannya : Para ulama berbeda pendapat mengenai seorang wanita yang berstatus janda, apakah ia juga harus memakai wali dalam pernikahan atau tidak? Berikut perinciannya : 1. Sebagian ulama membolehkan bagi seorang wanita yang bersatatus janda ketika ia melangsungkan pernikahan kembali tanpa harus memakai wali. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Dawud. Berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut: عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ فِي نَفْسِهَا وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janda `itu lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan seorang gadis harus dimintai izinnya dan izinnya adalah diamnya.” عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ لِلْوَلِيِّ مَعَ الثَّيِّبِ أَمْرٌ وَالْيَتِيمَةُ تُسْتَأْمَرُ وَصَمْتُهَا إِقْرَارُهَا Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seorang wali tidak memiliki kuasa memaksa terhadap seorang janda, dan seorang wanita yatim dimintai pertimbangannya, dan diamnya adalah persetujuannya.” 2. Jumhur ulama berpendapat bahwa wali nikah itu berlaku untuk wanita yang masih perawan ataupun sudah berstatus janda. Dalil-dalil sandaran mereka adalah sebagai berikut, Firman Allah ta’ala dalam surat al-Baqarah, فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ Maka jangan kamu halangi mereka mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya, apabila telah terjalin di antara mereka dengan cara yang baik. Sabda Rasulullah عن عائشة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “لا نكاح إلا بولي وشاهدي عدل Dari Aisyah Radhiyallahu anha bahwasanya Rasulullah r bersabda, “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” لا تزوّ ج المراة ولا تزوجّ نفسها “Seorang wanita tidak boleh mengawinkan seorang wanita dan tidk pula mengawinkan dirinya.” Lalu bagaimana ketika semua wali yang telah disebutkan di atas tidak ada, maka siapakah yang berhak menjadi wali setelahnya? Tidak menutup kemungkinan hal ini akan terjadi di kalangan masyarakat kita atau bahkan hal ini sudah pernah terjadi namun kita tidak mengetahuinya? Berikut sedikit penjelasannya : Seorang wanita tidak boleh menikah kecuali tanpa wali, apabila ia memaksakan diri untuk menikah tanpa wali padahal ia mempunyai wali maka pernikahannya tidak sah, menurut pendapat yang paling benar. namun jika semua urutan wali yang telah disebutkan di atas tidak ada, maka hak perwalian berpindah kepada hakim atau shultan, meskipun ia masih mempunyai saudara laki-laki seibu. Akan tetapi ia tidak bisa menjadi wali bagi saudara perempuannya yang seibu, hal ini sebagaimana sabda Rasulullah: أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ … فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ Artinya:“Siapa saja wanita yang menikah tanpa izin dari walinya maka pernikahannya batil…, dan jika para wali berselisih untuk menikahkannya maka sulthan adalah wali bagi seorang wanita yang tidak punya wali.” Untuk negeri kita yang dimaksud dengan penguasa dalam hal ini adalah petugas kantor urusan agama (KUA). 7.Wali Nikah Untuk Anak diluar Nikah Terjadi perselisihan dikalangan para ulama tentang sah tidaknya pernikahan seorang wanita yang sedang hamil dikarenakan zina: Para ulama Maliki, Hambali dan Abu Yusuf dari madzhab Hanafi tidak memperbolehkan pernikahannya itu sebelum dia melahirkan, tidak dengan lelaki ang menzinahinya atau tidak juga dengan lelaki yang lainnya, berdasarkan sabda Rasulullah saw: ”Seorang wanita yang sedang hamil tidak boleh digauli sehingga dia melahirkan..” (HR. Abu Daud) dan sebagaimana riwayat dari Said al Musayyib bahwa seorang laki-laki telah menikahi seorang wanita dan ketika diketahui bahwa wanita itu sedang hamil dan diberitahukanlah hal ini kepada Nabi saw maka beliau saw pun memisahkan mereka berdua.” (HR. Baihaqi). Sedangkan para ulama Syafi’i dan Hanafi membolehkan pernikahannya dikarenakan belum terkukuhkannya nasab, berdasarkan sabda Nabi saw,” Anak itu bagi yang memiliki tempat tidur sedang bagi yang berzina tidak memiliki apa-apa.” (HR. Jama’ah kecuali Abu Daud). Markaz al Fatwa didalam fatwanya—setelah menyebutkan perbedaan ulama diatas—menyebutkan bahwa adapun anak—dari pernikahan itu—maka dinasabkan kepada ibunya dan keluarga ibunya dengan penasaban sar’iy yang benar yang meneguhkan kemahraman yang berlanjut kepada perwalian secara syar’i, ashobah dan warisan dan selainnya dari hukum-hukum seorang anak karena pada hakikatnya ia adalah anak darinya (ibunya yang mengandungnya itu) dan tidaklah ada perselisihan dalam hal ini. Adapun penasaban seorang anak kepada ayahnya yang berzina dan menisbatkannya kepadanya maka dibolehkan oleh Ishaq bin Rohuyah, ‘Urwah, Sulaiman bin Yasar dan Abu Hanifah. Abu Hanifah mengatakan,”Aku tidak melihat suatu permasalahan jika seorang lelaki yang berzina dengan seorang wanita lalu wanita itu hamil kemudian lelaki itu menikahinya dan menutupi aibnya itu dan anak ang terlahir adalah anak darinya (lelaki itu).” Markaz al Fatwa lebih memilih pendapat jumhur ahli ilmu yang menyatakan bahwa apabila seorang lelaki menikah dengan wanita hamil karena perzinahannya maka anak yang terlahir dinasabkan kepada ibu dan keluarga ibunya itu. Adapun suaminya adalah pemelihara bagi anak tersebut. (Markaz al Fatwa no 6045) Adapun pendapat bahwa jika si ayah biologis dan ibunya yang telah terlanjur hamil ini kemudian menikah. Jika setelah menikah, si ibu masih menjalani kehamilan selama 6 bulan atau lebih sampai kelahirannya, maka si anak bisa mengikuti garis keturunan sang ayah dan bisa menjadi wali nikahnya. tapi jika si ibu menjalani kehamilan kurang dari 6 bulan sampai saat kelahirannya, maka sang anak hanya bisa mengikuti garis keturunan sang ibu.. pernyataan ini bisa ditemukan didalam “al Fatawa al Hindiah” didalam Fiqih Hanafiyah yang menyebutkan : jika seorang lelaki berzina dengan seorang wanita dan wanita itu menjadi hamil kemudian lelaki itu menikahinya dan melahirkan maka jika wanita itu mengandung selama 6 bulan atau lebih maka nasab anak itu terkokohkan dan jika wanita itu mengandung selama kurang dari 6 bulan maka nasab anak itu tidak terkokohkan kecuali hanya sebatas pengakuannya, bahwa anak itu adalah anaknya, selama dia tidak mengatakan,”Sesungguhnya anak itu dari perzinahan.”Adapun jika dia mengatakan,”Sesungguhnya dia adalah dariku dari perzinahan.”Maka nasabnya tidak terkokohkan dan dia tidaklah mewariskan hartanya.”… Pendapat yang paling kuat adalah bahwa anak zina tidaklah terkokohkan nasabnya dari seorang lelaki pezina baik dirinya menikahi wanita yang dizinahinya lalu wanita itu mengandung anak itu kurang dari enam bulan sejak waktu akad nikah atau tidak menikahi wanita itu lalu wanita itu melahirkannya. Akan tetapi jika anak itu dinisbatkan kepadanya dengan pengakuannya dan dia tidak mengatakan bahwa anak itu dari hasil perzinahan maka nasabnya terkokohkan didalam hukum-hukum dunia. Demikian pula jika lelaki itu menikahi wanita yang dizinahinya dan dia mengandung anak dari hasil perzinahannya lalu melahirkan seorang anak dalam masa kurang dari waktu minimal suatu kehamilan sementara orang itu terdiam atau mengakuinya dan tidak mengatakan bahwa anak itu adalah dari hasil perzinahan maka nasabnya terkokohkan didalam hukum-hukum dunia.” (Fatawa al Islam Sual wa Jawab juz I hal 591) Dengan mengambil pendapat jumhur ahli ilmu bahwa seorang anak zina tidaklah dinasabkan kecuali kepada ibunya dan ketika anak zina tersebut kelak ingin menikah maka tidaklah bisa diwalikan oleh ayah yang berzina dengan ibunya akan tetapi perwaliannya dilakukan oleh penguasa atau hakim. Karena hakim adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali, sebagaimana sabda Rasulullah saw: ”Penguasa adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.” (HR. Ahmad dan Abu Daud) Dan seandainya seorang anak zina dinikahkan oleh ayah yang menzinahi ibunya maka pernikahan yang dilakukannya itu batal sehingga kedua pasangan tersebut haruslah dipisahkan. Adapun cara pemisahan antara keduanya adalah dengan cara si suami menjatuhkan talak (cerai) terhadapnya jika memang dirina rela untuk melakukannya sendiri namun jika dirinya tidak ingin melakukannya sendiri maka pemisahan itu dilakukan oleh hakim. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu Qudamah bahwa apabila seorang wanita dinikahkan dengan pernikahan yang rusak (batal) maka tidaklah boleh dirinya denikahkan dengan selain orang yang telah menikahinya sehingga orang yang menikahinya itu menceraikannya atau dipisahkan pernikahannya. Apabila suaminya itu tidak mau menceraikannya maka hakimlah yang harus memisahkan pernikahannya, dan nash ini dari Ahmad. (al Mughni juz IX hal 125) Setelah suaminya menceraikan istrinya atau keduanya dipisahkan oleh hakim lalu si lelaki ingin kembali menikahinya maka hendaklah dengan akad yang baru dengan diwalikan oleh penguasa atau hakim, yang dalam hal ini adalah KUA. 8. Konsep Wali Nikah dalam Perspektif KHI Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya 1. Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat Hukum Islam yakni muslim dan akil baligh 2. Wali nikah terdiri dari: a) Wali nasab b) Wali hakim 3. Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erattidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita, Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah, dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah atau keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Keempat, kelompok saudara kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek, dan keturunan laki-laki mereka. 4. Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita. 5. Apabila dalam suatu kelompok sama derajat kekerabatannya maka yang paling berhak menjadi wali nikah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah. 6. Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama, yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali. Apabila wali nikah yang paling berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali atau oleh karena wali nikah itu menderita tunawicara, tunarungu, atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya. a. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adlal atau enggan. b. Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut. 9. Dasar Hukum Tentang Wali Nikah Keberadaan seorang wali dalam akad nikah adalah suatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali itu ditempatkan sebagai rukun dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama secara prinsip. Memang tidak ada satu pun ayat al-Quran yang jelas menghendaki keberadaan wali dalam akad perkawinan. Tetapi dari ayat tersebut dapat dipahami menghendaki adanya wali . Diantara ayat-ayat al-Quran yang mengisyaratkan adanya wali adalah surat al-Baqarah ayat 232 yang artinya: Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya apabila Telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui ' Kalau sang istri telah habis masa iddahnya, dan tidak ada halangan lain yang ditetapkan agama, maka bekas suami, para wali, atau siapapun tidak boleh melakukan, yakni menghalang-halangi mereka, wanita itu menetapkan sendiri masa depannya menyangkut perkawinan. Siapa saja yang dipilihnya baik suami mereka yang telah pernah menceraikannya, maupun pria lain yang ingin dikawininya dan bakal menjadi suami-suami mereka, maka itu adalah haknya secara penuh, karena janda berhak atas dirinya daripada yang lain. Ayat ini ditujukan kepada para wali, jika mereka tidak mempunyai hak dal am perwalian, tentu mereka tidak dilarang untuk menghalang-halangi. Dari pemahaman ayat tersebut, jumhur ulama (Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah) menetapkan keharusan adanya wali dalam perkawinan. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah dan ulama Syiah Imamiyah berkesimpulan bahwa perempuan yang sudah dewasa dan sehat akalnya dapat melakukan sendiri perkawinannya dan tidak perlu wali mengakadkannya. Alasan rasionalnya ialah orang yang telah dewasa dan sehat akalnya dapat bertindak hukum dengan sendiri tanpa diperlukan bantuan walinya. Jumhur ulama di samping menggunakan ayat-ayat diatas sebagai dalil yang mewajibkan wali dalam perkawinan, mereka menguatkan pendapatnya itu dengan serangkaian hadis dibawah ini: Hadis Nabi dari Abu Burdah bin Abi Musa menurut riwayat Ahmad “Tidak boleh nikah tanpa wali.” Hadis Nabi dari Aisyah yang dikeluarkan oleh empat perawi hadis selain al-Nasa’i; “Perempuan mana saja yang kawin tanpa izin walinya, perkawinannya batal .” Hadis dari Abu Hurairah yang mengutip ucapan Nabi: “Perempuan tidak boleh mengawinkan perempuan dan perempuan juga tidak boleh mengawinkan dirinya sendiri.” Hadis tersebut diatas digunakan oleh ulama Hanafiyah dan pengikutnya untuk menguatkan pendapatnya dalam memahami ayat-ayat al-Quran tersebut sebelumnya untuk menetapkan tidak wajibnya wali bila yang melangsungkan perkawinan itu adalah perempuan yang sudah dewasa dan akal sehat. B. PERSAKSIAN DALAM AKAD NIKAH 1. Pengertian Saksi dalam Akad Nikah Saksi nikah adalah orang yang menyaksikan secara langsung akad pernikahan, yang berfungsi memberitahukan kepada masyarakat luas perihal pernikahan tersebut agar tidak timbul kesalahpahaman. Masalah saksi pernikahan dalam al-Qur’an tidak tertera secara eksplisit, namun saksi untuk masalah lain seperti dalam masalah pidana muamalah atau masalah cerai atau rujuk sangat jelas diutarakan. 2. Kedudukan Saksi KHI menyatakan dalam pasal 24 ayat 1, saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, dan Imam Malik bersepakat bahwa saksi termasuk syarat dari beberapa syarat sahnya nikah. Jumhur ulama berpendapat bahwa pernikahan tidak dilakukan kecuali dengan jelas dalam pengucapan ijab dan qabul, dan tidak boleh dilaksanakan kecuali dengan saksi-saksi hadir langsung dalam pernikahan agar mengumumkan atau memberitahukan kepada orang-orang. Dalam KHI pasal 26, saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan. 3. Syarat syarat Saksi Dalam KHI pasal 25, yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli. Adapun berikut adalah beberapa syarat yang harus ada pada dua orang saksi, antara lain: 1. Islam 2. Baligh 3. Berakal 4. Laki-laki 5. Adil. 6. Tidak tuna rungu atau tuli C. KEDUDUKAN MAHAR 1. Pengertian dan Hukum Mahar Mahar Secara etimologi berarti mas kawin. Sedangkan pengertian mahar menurut terminology ilmu fiqih adalah pemberian yang wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami, untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya. Mahar hanya diberikan oleh calon suami kepada calon istri, bukan kepada wanita lainnya atau siapapun walaupun sangat dekat dengannya. Orang lain tidak boleh menjamah apalagi menggunakannya, meskipun oleh suaminya sendiri, kecuali dengan ridha dan kerelaan istrinya. Allah SWT. Berfirman : وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا (٤) Artinya : berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. Jika ia telah menerima maharnya, tanpa paksaan dan tipuan muslihat lalu ia memberikan sebagian maharnya maka boleh diterima dan tidak disalahkan. Akan tetapi, bila istri dalam memberikan maharnya karena malu, takut, maka ia tidak halal menerimanya. 2. Syarat-syarat Mahar a. Harta/bendanya berharga b. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat c. Barangnya bukan barang gasab d. Bukan barang yang tidak jelas keadannya. 3. Kadar (jumlah) Mahar Islam tidak menetapkan berapa banyak mahar yang harus diberikan kepada calon stri.Hal ini disebabkan adanya perbedaan antar sesama manusia.Ada orang yang kaya dan ada yang miskin, ada yang lapang dan ada yang disempitkan rizkinya.Disamping itu, setiap masyarakat memiliki adat dan kebiasaan yang berbeda.Besarnya mahar fuqaha sepakat tidak ada batasnya, namun mereka berbeda pendapat tentang batasan paling sedikitnya. Imam Syafi’I, Ahmad, Ishaq, Abu Saur, dan fuqaha Madinah dari kalangan tabi’in mengatakan bahwa mahar itu tidak ada batasan rendahnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain maka dapat dijadikan sebagai mahar. Sebagian fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas murni, atau perak seberat tiga dirham atau bisa dengan barang yang sebanding dengan berat emas dan perak tersebut. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham. Riwayat lain ada yang mengatakan lima dirham, ada lagi yang mengatakan empat dirham. 4. Memberi Mahar dengan Kontan dan Utang Pelaksanaan membayar mahar bisa dilakukan sesuai dengan kemampuan atau disesuaikan dengan keadaan dan adat masyarakat, atau kebiasaan yang berlaku. Akan tetapi, yang lebih baik, bahkan disunnahkan apabila akan diangsur sebaiknya diberikan langsung sebagian lebih dulu, sedangkan kekurangannya dilakukan secara berangsur-angsur. Perbedaan pendapat karena apakah pernikahan itu dapat disamakan dengan jual beli dalam hal penundaan, atau tidak dapat disamakan dengannya. Bagi fuqaha yang mengatakan dapat disamakan dengan jual beli, mereka berpendapat bahwa penundaan itu tidak boleh sampai terjadinya kematian atau perceraian.Sedang yang mengatakan tidak dapat disamakan dengan jual beli, mereka berpendapat bahwa penundaan membayar mahar itu tidak boleh dengan alasan bahwa pernikahan itu merupakan ibadah. 5. Jenis Mahar Dalam Pernikahan a. Macam-macam Mahar 1). Mahar Musamma Yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah. Ulama fiqih sepakat bahwa dalam pelaksanaannya mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila : a. Telah bercampur (bersenggama) b. Apabila salah satu dari suami istri meninggal. Demikian menurut ijma’. Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampur dengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab-sebab tertentu seperti : ternyata istrinya mahram sendiri, atau dikira perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama. Akan tetapi, kalau istri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib dibayar setengahnya. Kemudian dalam hal khalwat atau bersenang-senang dengan buka-bukaan dan belum terjadi persetbuhan, maka tidak wajib membayar mahar seluruhnya. Dan dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqih. 2). Mahar Misil (Sepadan) Yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya, pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Bila terjadi demikian, mahar itu mengikuti maharnya saudara perempuan pengantin wanita (bibi, bude, anak perempuan bibi/bude), apabila tidak ada maka misil itu beralih dengan ukuran wanita lain yang sederajat dengan dia. Mahar misil juga terjadi apabila dalam keadaan sebagai berikut : • Bila tidak disebutkan kadar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur. • Kalau mahar musamma belum dibayar, sedangkan suami telah bercampur dengan istri dan ternyata nikahnya tidak sah. Jika istri menuntut penentuan mahar Apabila istri menuntut penentuan mahar bagi dirinya, maka golongan fuqaha berpendapat bahwa ia berhak memperoleh mahar misil. Akan tetapi, jika suami menceraikan istrinya sesudah memberikan ketentuan mahar, maka segolongan fuqaha mengatakan bahwa istri memperoleh separuh mahar. Jika suami meninggal sebelum menentukan mahar Apabila suami meninggal dunia sebelum menentukan mahar, dan belum menggauli istrinya, maka Imam Malik dengan para pengikutnya serta Al-Auza’li berpendapat bahwa, istri tidak memperoleh mahar tetapi memperoleh mut’ah dan warisan. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa, istri memperoleh mahar misil dan warisan Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud. b. Gugur/ Rusaknya Mahar Rusaknya mahar bisa terjadi karena barang itu sendiri atau karena sifat-sifat dari barang tersebut, seperti tidak diketahui atau sulit diserahkan. Mahar yang rusak karena zatnya sendiri, yaitu seperti khamar, babi, dan barang-barang yang tidak boleh dimiliki, sedangkan mahar yang rusak karena sulit dimiliki atau diketahui, pada dasarnya isamakan dengan jual beli yang mengandung 5 persoalan pokok, yaitu : a. Barangnya tidak boleh dimiliki. b. Mahar digabungkan dengan jual beli. c. Penggabungan mahar dengan pemberian. d. Cacat pada mahar. e. Persyaratan dalam mahar. Mengenai gugurnya mahar, suami bisa terlepas dari kewajibannya untuk membayar mahar seluruhnya apabila perceraian sebelum persetubuhan datang dari pihak istri.Begitu juga mahar dapat gugur apabila istri yang belum digauli melepaskan maharnya atau menghibahkan padanya. c. Mahar Yang dipersengketakan Suami Istri 1. Kadar mahar Jika terjadi persengketaan tentang besarnya mahar, misalnya: jika istri mengatakan 200 dirham sedangkan suami mengatakan 100 dirham, maka terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama’ fiqh. Imam Malik mengatakan bahwa apabila persengketaan tersebut terjadi sebelumdukhul, sedangkan suami mengeluarkan kata-kata yang mirip dengan kata-kata istri dan istri juga mengatakan kata-kata yang mirip dengan kata-kata suami, maka keduanya saling bersumpah dan saling membatalkan.Jika salah satu bersumpah, sedangkan yang lainnya menolak, maka yang dijadikan pegangan adalah kata-kata orang yang bersumpah. Apabila persengketaan itu terjadi, sesudah dukhul maka yang dijadikan pegangan adalah kata-kata suami. 2. Penerimaan mahar Apabila suami istri bersengketa masalah penerimaan, yaitu apabila istri mengatakan belum menerima mahar, sedangkan suami mengatakan sudah memberikannya, maka jumhur fuqaha, seperti Imam Syafi’I, As-Sauri, Ahmad, dan Abu Saur berpendapat bahwa yang dijadikan pegangan adalah kata-kata istri, dan ini lebih baik, karena ia menjadi pihak tergugat. 3. Persengketaan mengenai Macam/ Jenis Mahar Ibnu Qasar berpendapat bahwa keduanya saling bersumpah sebelum dukhul.Adapun kalau sesudah dukhhul maka yang dijadikan pegangan adalah kata-kata suami.Sedangkan Ashbah berpendapat bahwa yang dijadikan pegangan adalah kata-kata suami apabila kata-katanya mirip, baik mirip dengan kata-kata istri atau tidak.Jiak kata-kata suami mirip sedang kata-kata istri juga mirip, maka keduanya saling bersumpah dan istri memperoleh mahar misil. 4. Persengketaan mengenai waktu Bagi fuqaha yang menyamakan pernikahan dengan jual beli, maka mereka berpendapat bahwa, mahar baru menjadi wajib setelah dukhul.Sedang bagi fuqaha yang berpendapat bahwa pernikahan merupakan suatu ibadah yang menjadi syarat kehalalan, maka mereka mengatakan bahwa mahar menjadi wajib sebelum dukhul. Itulah sebabnya Imam Malik menganjurkan agar suami memberikan mahar sebelum dukhul. BAB III PENUTUP A.KESIMPULAN Kata “wali” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu al Wali dengan bentuk jamak Auliyaa yang berarti pecinta, saudara, atau penolong. Sedangkan menurut istilah, kata “wali” mengandung pengertian orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa. Saksi nikah adalah orang yang menyaksikan secara langsung akad pernikahan, yang berfungsi memberitahukan kepada masyarakat luas perihal pernikahan tersebut agar tidak timbul kesalahpahaman. Mahar Secara etimologi berarti mas kawin. Sedangkan pengertian mahar menurut terminology ilmu fiqih adalah pemberian yang wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami, untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya. DAFTAR PUSTAKA Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989 Al Jaziri Abdurrahman, Al- Fiqh ‘ala Mazaahib Al- Arba’ah, Beirut : Daar Al- Fikr, Juz 4