BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Istilah filsafat berasal dari bahasa
Yunani : ”philosophia”. Seiring perkembangan jaman akhirnya dikenal juga dalam
berbagai bahasa, seperti : ”philosophic” dalam kebudayaan bangsa Jerman,
Belanda, dan Perancis; “philosophy” dalam bahasa Inggris; “philosophia” dalam
bahasa Latin; dan “falsafah” dalam bahasa Arab.
Para filsuf memberi batasan yang berbeda-beda mengenai
filsafat, namun batasan yang berbeda itu tidak mendasar. Selanjutnya batasan
filsafat dapat ditinjau dari dua segi yaitu secara etimologi dan secara
terminologi.
Secara etimologi, istilah filsafat berasal dari bahasa
Arab, yaitu falsafah atau juga dari bahasa Yunani yaitu philosophia – philien :
cinta dan sophia : kebijaksanaan. Jadi bisa dipahami bahwa filsafat berarti
cinta kebijaksanaan. Dan seorang filsuf adalah pencari kebijaksanaan, pecinta
kebijaksanaan dalam arti hakikat.
Pengertian filsafat secara terminologi sangat beragam.
Para filsuf merumuskan pengertian filsafat sesuai dengan kecenderungan
pemikiran kefilsafatan yang dimilikinya. Plato mengatakan bahwa : Filsafat
adalah pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang asli.
B. RUMUSAN MASALAH
apa yang di maksud dengan
filsafat bahasa?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
MEMAHAMI FILSAFAT BAHASA
Pengertian Filsafat Bahasa
Hadirnya
filsafat bahasa dapat dikatakan sebagai suatu hal yang baru.
Filsafat bahasa muncul bersamaan dengan kecenderungan filsafat abad ke-20 yang
bersifat logosentris. Berikut ini adalah beberapa pandangan para ahli
mengenai filsafat bahasa.
Verhaar
menunjukkan dua jalan yang dikandung dari filsafat bahasa, yakni 1)
filsafat mengenai bahasa dan 2) filsafat berdasarkan bahasa.
Verhaar memberikan dua pengertian “bahasa” yang dijadikan titik pangkal untuk
berfilsafat, yaitu bahasa yang diartikan eksklusif dan bahasa yang diartikan
inklusif.
Bahasa dalam pengertian
eksklusif merupakan suatu pelukisan yang dapat dipakai sebagai pedoman
pengantar umum atas aliran “filsafat analitik” (analisis bahasa) yang lahir di
Inggris. Sedangkan untuk bahasa yang diartikan sebagai “inklusif”
merupakan bahasa yang ditujukan untuk aliran hermeneutika.
Menurut
Rizal Muntansyir, filsafat bahasa ialah suatu penyelidikan secara mendalam
terhadap bahasa yang dipergunakan dalam filsafat, sehingga dapat dibedakan
pernyataan filsafat yang mengandung makna (meaningfull) dengan yang tidak
bermakna (meaningless).
Asep Ahmat
Hidayat berpendapat bahwa pengertan filsafat perlu didekati dari dua pandangan,
yaitu filsafat sebagai sebuah ilmu dan filsafat sebagai sebuah metode.
Oleh karena itu, pengertian filsafat bahasa pun bisa didekati dari dari dua
pandangan tersebut. Jika pengertian filsafat bahasa dilihat dari sebuah
ilmu, maka filsafat bahasa adalah kumpulan hasil pekiran para filosof mengenai
hakikat bahasa yang disusun secara sistematis untuk dipelajari dengan
menggunakan metode tertentu. Sedangkan, jika diartikan sebagai sebuah
metode berpikir, ia bisa diartikan sebagai metode berpikir secara mendalam ,
logis dan universal mengenai hakikat bahasa.
B.
Obyek
Filsafat Bahasa
Kata obyek
dalam kamus besar bahasa Indonesia mengandung lima pengertian, yaitu :
1. Hal, perkara
atau orang yang menjadi pokok pembicaraan
2. Benda, hal
dan sebagainya yang menjadi obyek untuk diteliti.
3. Pelengkap dalam kalimat
4. Hal atau
benda yang menjadi sasaran usaha sambilan
5. Bayangan
dari suatu sistem lensa
Dalam
konteks ilmu pengetahuan , penertian yang cocok dari kata obyek adalah hal,
benda atua perkara yang menjadi sasaran penelitian atau studi. Biasanya
obyek ilmu pengetahuanitu dibedakan menjadi dua, yaitu obyek material (material
object) dan obyek formal (formal object)
Obyek
material adalah benda, hal atau bahan yang menjadi obyek, bidang atau sasaran
penelitian. Misalnya manusia merupakan obyek material dan ilmu psikologi,
biologi, sosiologi dan sejarah. Sedangkan benda mati, merupakan
obyek material dan ilmu pengetahuan alam (fisika, kimia dan astronomi).
Sedangkan obyek formal ialah aspek atau sudut pandang tertentu terhadap obyek
materialnya.
C.
Metode
Mempelajari Filsafat Bahasa
Metode
merupakan kata dari bahasa Yunani, meta dan hodos. Meta
berarti menuju, melalui, sesudah, dan mengikuti. Sedang hodos
berarticara, jalan atau arah. Dalam ilmu pengetahuan, metode sering
diartikan dengan jalan berpikir dalam bidang penelitian untuk memperoleh
pengetahuan, atau merupakan salah satu langkah dari seluruh prosedur
(methodology) penelitian tentang pengetahuan.
Terdapat lima metode yang dapat digunakan untuk mempelajari filsafat
bahasa. Kelima metode itu adalah :
1. Metode
Historis
2. Metode
Sistematis
3. Metode
Kritis
4. Metode
Analisa Abstrak
5. Metode
Intuitif
Metode historis atau metode sejarah adalah suatu metode
pengkajian filsafat yang didasarkan pada prinsip-prinsip metode historigrafi
yangf meliputi empat tahapan: heuristic, kritik, intepretasi, dan
historigrafi. Heuristic artinya penentuan sumber kajian.
Intepretasi artinya melakukan intepretasi terhadap isi sebuah sumber kajian
atau pemikiran seorang ahli filsafat mengenai pemikirannya disekitar
bahasa. Sedangkan historigrafi adalah tahapan penulisan dalam bentuk
rangkaian cerita sejarah. Dalam konteks ini adalah cerita sejarah
filsafat bahasa.
Metode sistematis adalah metode pembahasan filsafat bahasa yang
didasarkan pada pendekatan material (isi pemikiran). Melalui metode ini,
seseorang bisa mempelajari filsafat bahasa mulai dari aspek ontology filsafat
bahasa, kemudian dilanjutkan pada aspek epistemology, dan akhirnya sampai pada
pembahasan mengenai aspek aksiologi filsafat bahasa. Selain itu melalui
metode sistematis ini,seseorang bisa juga mempelajari filsafat bahasa mulai
dari salah satu aliran tertentu dan selanjutnya mempelajari aliran
lainnya. Misalnya, mempelajari aliran bahasa (analitik), kemudian
mempelajari aliran lainnya, seperti positifisme logis, strukturalisme, post
strukturalisme dan postmodernisme.
Metode kritis digunakan oleh mereka yang mempelajari
filsafat tingkat intensif. Biasanya digunakan oleh mahasiswa tingkat
pasca sarjana. Bagi yang menggunakan metode ini haruslah sudah memiliki
pengetahuan filsafat. Mengkritik boleh jadi dengan menentang suatu
pemikiran atau bisa juga mendukung suatu pemikiran. Metode semacam ini
telah dilakukan oleh George Moore ketika mengkritisi filsafat
hegalianisme (neo idealisme) di Inggris dengan cara mengkritisi
pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para filsuf hegalianisme.
Selanjutnya diteruskan oleh para peletak dasar aliran analisa bahasa, seperti B.
Russel dan Wittgestein.
Metode analisis abstrak yaitu dengan cara melakukan kegiatan
urai setiap fenomena kebahasaan dengan cara memilah-milah. Selanjutnya
dilakukan generalisir secara abstrak sesuai dengan kaidah berfikir logis.
Analisis dilakukan dengan cara memadukan analisis logis deduksi dengan analisis
induksi sebagaimana yang telah dilakukan B. Russel.
Metode intuitif, yaitu dengan melakukan introspeksi intuitif dan
dengan memakai symbol-simbol. Metode ini telah lama dipraktekkan oleh
para ahli tasawuf (Islam) dan mengungkap hakikat kebahasaan secara
kasyaf. Di dunia barat, tokoh yang telah mempraktekkan metode ini adalah
Henry Bergson.
D
Manfaat Mempelajari Filsafat Bahasa
Berfilsafat adalah berusaha
menemukan kebenaran (realitas yang sesungguhnya) tentang segala sesuatu dengan
berpikir serius. Kecakapan berpikir serius sangat diperlukan oleh setiap
orang. Banyak persoalan yang tidak dapat di selesaikan sampai saat
ini. Hal ini dikarenakan karena persoalan tidak ditangani secara
serius, hanya diwacanakan saja.
Mempelajari filsafat (termasuk
filsafat bahasa) adalah berlatih secara serius untuk mampu menyelesaikan suatu
persoalan yang sedang dihadapi dengan cara menghadapi persoalan dengan tuntas
dan logis. Seseorang tidak akan memiliki kemampuan seperti ini jika ia
tidak melatihnya. Masih banyak manfaat yang dapat kita peroleh dengan
mempelajari bahasa, diantaranya adalah :
1. Menambah
pengetahuan baru
2. Bisa
berpikir logis
3. Biasa
berpikir analitik dan kritis
4. Terlatih
untuk menyelesaikan masalah secara kritis, analitik dan logis
5. Melatih
berpikir jernih dan cerdas
6. Melatih
berpikir obyektif
E. FILSAFAT BAHASA DALAM
PENGAJARAN DWIBAHASA
(BILINGUAL TEACHING)
Filsafat bahasa adalah beralasan penyelidikan ke alam, asal-usul, dan
penggunaan bahasa Sebagai topik, dengan filsafat bahasa untuk filsuf analitik
berkaitan dengan empat masalah utama: sifat makna , menggunakan
bahasa, bahasa kognisi , dan hubungan
antara bahasa dan realitas . Untuk filsuf
kontinental Namun, filsafat bahasa cenderung harus ditangani, bukan sebagai topik yang
terpisah, tetapi sebagai bagian dari logika , sejarah atau politik . (Lihat bagian "Bahasa
dan Continental Filsafat" di bawah ini.)
Pertama, filsuf bahasa ke menanyakan sifat makna, dan berusaha untuk
menjelaskan apa yang dimaksud dengan "berarti" sesuatu. Topik dalam vena yang mencakup sifat sinonim , asal makna itu sendiri, dan
bagaimana makna yang bisa benar-benar diketahui. Lain proyek yang sedang this
heading dari minat khusus untuk filsuf analytic bahasa is the penyelidikan the
cara which are dikomposisikan menjadi kalimat keluar whole Berarti
meaning of its parts.
Kedua, mereka ingin
memahami apa yang pembicara dan pendengar dengan bahasa dalam komunikasi , dan bagaimana ia
digunakan social kepentingan khusus mungkin mencakup topik belajar bahasa ,
penciptaan bahasa, dan tindak tutur .
Ketiga, mereka ingin tahu bagaimana bahasa berkaitan dengan pikiran baik
pembicara dan penerjemah . Dari bunga tertentu adalah
dasar untuk sukses terjemahan kata-kata ke kata lain.
Akhirnya, mereka menyelidiki bagaimana bahasa dan makna berhubungan dengan kebenaran dan dunia. Filsuf cenderung kurang
peduli dengan kalimat yang sebenarnya benar, dan banyak lagi dengan jenis
apa makna bisa benar atau salah. Seorang filsuf kebenaran berorientasi
bahasa mungkin bertanya-tanya apakah suatu kalimat bermakna bisa benar atau
salah, atau apakah kalimat dapat mengekspresikan
proposisi tentang hal-hal yang tidak ada, bukan kalimat cara digunakan.
Pengertian bahasa menurut Bloch and
Trager adalah sebagai berikut. Bahasa ialah….an arbitrary system of vocal sPeymbols,
by means of which members of a community interact with each other.
Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang sifatnya arbitraris yang dipakai
menjadi sarana komunikasi anggota masyarakatnya. Ada beberapa hal yang
penting, pertama bahasa adalah suatu sistem. Kedua, bahasa adalah
lambang. Ketiga, bahasa itu berbentuk bunyi. Keempat,
bahasa itu bersifat arbitraris. Kelima, bahasa itu berfungsi sebagai
sarana komunikasi antara masyarakat manusia.
Letak perbedaan antara filsafat
bahasa dengan linguistik adalah; Linguistik bertujuan mendapatkan
kejelasan tentang bahasa. Linguistik mencari hakikat bahasa. Jadi, para
ahli bahasa menganggap bahwa kejelasan tentang hakikat bahasa adalah tujuan
akhir kegiatannya. Sedangkan filsafat bahasa mencari hakikat ilmu
pengetahuan atau hakikat pengetahuan konseptual. Dalam usahanya mencari
hakikat pengetahuan konseptual, para filsuf mempelajari bahasa bukan sebagai
tujuan akhir, melainkan sebagai obyek sementara agar pada akhirnya dapat
diperoleh kejelasan tentang hakikat pengetahuan konseptual itu.
Didalam mendefinisikan bahasa, para ahli bahasa dari
aliran strukturalis berpendapat bahwa fungsi bahasa memang untuk
berkomunikasi, saling berinteraksi, untuk tanya jawab, menyuruh, menyahut,
melarang, meminta, berseru, dll.
Dapat dikatakan bahwa fungsi bahasa
beserta variasinya adalah sebagai berikut.
1. Sebagai alat
berkomunikasi (menyampaikan maksud)
2. Sebagai alat
penyampai rasa santun.
3. Sebagai
penyampai rasa keakraban dan hormat.
4. Sebagai alat
pengenalan diri.
5. Sebagai alat
penyampai rasa solidaritas.
6. Sebagai alat
penopang kemandirian bangsa.
7. Sebagai alat
penyalur rasa uneg-uneg.
8. Sebagai
cermin peradaban bangsa.
Masalah kebahasaan yang sering dibahas oleh para
filsuf biasanya berkisar pada simbol dan arti. Secara garis besar,
pemikiran itu dapat digambarkan sebagai berikut.
1. Metafisika
Metafisika adalah bagian filsafat yang berusaha
memformulasikan fakta yang paling umum dan paling luas, termasuk penyebutan kategori-kategori
yang paling pokok atas pengelompokan hal, benda dan gambaran.
2. Logika
Logika adalah studi tentang
inference (kesimpulan-kesimpulan). Logika berusaha menciptakan suatu
criteria guna memisahkan interferensi yang sahih dan tidak sahih.
Karena penalaran itu terjadi dengan bahasa, maka
analisis inteferensi itu tergantung pada analisis statement yang berbentuk
premis dan konklusi.
3. Epistemology
Epistemology (ilmu pengetahuan)
menaruh perhatian pada bahasa dalam beberapa aspek, terutama dalam masalah
pengetahuan apriori, yakni pengetahuan yang dianggap sudah diketahui tanpa
didasarkan pada pengalaman yang sudah dialami secara nyata.
Misal : 7+7 = 14
bagaimana kita tahu bahwa 7+7 = 14, salah satu
jawabnya adalah makna masing-masing istilah yang dipakai dalam perhitungan
matematika memang sudah kita anggap benar, tanpa melalui pemeriksaan lebih
lanjut.
4. Reformasi
bahasa
Para filsuf juga tertarik untuk
memperbaiki bahasa, dikarenakan kegiatan keilmuan para filsuf boleh dikatakan
tergantung pada pemakaian bahasa. Ada dua pandangan berbeda terhadap
bahasa.
a. Bahasa berfungsi sebagai sarana
pengantar filsafat.
b.
Bahasa yang
kita pakai sehari-hari kurang kuat dan kurang sesuai untuk dipakai sebagai
sarana pengantar filsafat. Bahasa kita samar, tidak eksplisit, ambigu,
tergantung pada konteks dan sering menimbulkan kesalahpahaman.
Pengertian
Kedwibahasaan (The Meaning Of Bilingual)
Menurut para
pakar linguistik kedwibahasaan didefinisikan sebagai berikut:
1.
Robert Lado
(1964:214)
Kedwibahasaan
merupakan kemampuan berbicara dua bahasa dengan sama atau hamper sama
baiknya. Secara teknis pendapat ini mengacu pada pengetahuan dua bahasa,
bagaimana tingkatnya oleh seseorang.
2.
MacKey
(1956:155)
Kedwibahasaan
adalah pemakaian yang bergantian dari dua bahasa.
3.
Hartman dan
Stork (1972:27)
Kedwibahasaan
adalah pemakaian dua bahasa oleh seorang penutur atau masyarakat ujaran.
4.
Haugen
(1968:10)
Kedwibahasaan adalah tahu dua bahasa
5.
Bloomfield (1958:56)
Kedwibahasaan
merupakan kemamouan untuk menggunakan dua bahasa yang sama baiknya oleh seorang
penutur.
Jika
diuraikan secara lebih umum maka maka pengertian kedwibahasaan adalah pemakaian
dua bahasa secara bergantian baik secara produktif maupun reseftif oleh seorang
individu atau oleh masyarakat.
Tipologi
kedwibahasaa
1.
Menurut Weinrich (1953)
Tipologi
kedwibahasaan didasarkan pada derajat atau tingkat penguasaan seorang terhadap
keterampilan berbahasa. Maka Weinreich membagi kedwibahasaan menjadi
tiga, yaitu:
a.
Kedwibahasaan Majemuk (Compound
Bilingualism)
b.
Kedwibahasaan
majemuk adalah kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa salah
satu bahasa lebih baik daripada kemampuan berbahasa yang lain.
c.
Kedwibahasaan
koordinatif / sejajar
Kedwibahasaan koordinatif/sejajar adalah kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa
pemakaian dua bahasa sama-sama baik oleh seorang individu.
d.
Kedwibahasaan
Sub-Ordinatif (kompleks)
Kedwibahasaan sub-ordinatif (kompleks) adalah kedwibahasaan yang menunjukkan
bahwa seorang individu pada saat memakai B1 sering memasukkan B2 atau
sebaliknya.
2.
Beaten Beardsmore (1985:22)
Beardsmore
menambahkankan satu derajat lagi yaitu kedwibahasaan awal (inception
bilingualism) yaitu kedwibahasan yang dimiliki oleh seorang individu yang
sedang dalam proses menguasai B2.
3.
Pohl (dalam Beatens
Beardmore, 1985;5) tipologi bahasa lebih didasarkan pada status bahasa yang ada
didalam masyarakat, maka Pohl membagi kedwibahasaan menjadi tiga tipe yaitu:
a.
Kedwibahasaan Horisontal (Horizontal Bilingualism)
Merupakan situasi pemakaian dua bahasa yang berbeda tetapi masing-masing bahasa
memiliki status yang sejajar baik dalam situasi resmi, kebudayaan maupun dalam
kehidupan keluarga dari kelompok pemakainya.
b.
Kedwibahasaan Diagonal (Diagonal Bilingualism)
Merupakan
pemakaian dua bahasa dialek atau atau tidak baku secara bersama-sama tetapi
keduanya tidak memiliki hubungan secara genetik dengan bahasa baku yang dipakai
oleh masyarakat itu.
c.
Kedwibahasaan
Vertikal (Vertical Bilinguism)
Merupakan
pemakaian dua bahasa apabila bahasa baku dan dialek, baik yang berhubungan
ataupun terpisah, dimiliki oleh seorang penutur.
4.
Menurut Arsenan (dalam Baerdsmore, 1985)
Tipe
kedwibahasaan pada kemampuan berbahasa. Maka Arsenan mengklasifikasikan
kedwibahasaan menjadi dua yaitu:
·
Kedwibahasaan
produktif (productive bilingualism) atau kedwibahasaan aktif atau kedwibahasaan
simetrik (symmetrical bilingualism) yaitu pemakaian dua bahasa oleh
seorang individu terhadap seluruh aspek keterampilan berbahasa (menyimak,
berbicara, membaca, dan menulis)
·
Kedwibahasaan
reseptif (reseptive bilingualism) atau kedwibahasaan pasif atau kedwibahasaan
asimetrik (asymetrical bilingualism)
F. DIAGLOSIA DALAM KEDWIBAHASAAN
Diaglosia
adalah situasi dimana dau dialek atau lebih biasa dipakai. (Charles
Fergison 1959:136). Diaglosia adalah suatu situasi bahasa yang relatif stabil
dimana, selain dari dialek-dialek utama satu bahasa (yang memungkinkan mencakup
satu bahasa baku atau bahasa-bahasa baku regional), ada ragam bahasa yang
sangat berbeda, sangat terkondifikasikan dan lebih tinggi, sebagai wacana dalam
keseluruhan kesusastraan tertulis yang luas dan dihormati, baik pada kurun
waktu terdahulu maupun masyarakat ujaran lain, yang banyak dipelajari lewat
pendidikan formal dan banyak dipergunakan dalam tujuan-tujuan tertulis dan
ujaran resmi, tapi tidak dipakai oleh bagian masyarakat apa pun dalam
pembicaraan-pembicaraan biasa. (Hudson 1980:54).
Diaglosia
adalah hadirnya dua bahasa baku dalam satu bahasa, bahasa tinggi dipakai dalam
suasana-suasana resmi dan dalam wacana-wacana tertulis, dan bahasa rendah
dipakai untuk percakapan sehari-hari.(Hartmann & Strork 1972:67). Diaglosia
adalah persoalan antara dua dialek dari satu bangsa, bukan antara dua bahasa.
Kedua ragam bahasa ini pada umumnya adalah bahasa baku (standard language) dan
dialek derah regional daerah (regional dialect).
Mackey
(1956) mengemukakan bahwa pengukuran kedwibahasaan dapat dilakukan melalui
beberapa aspek, yaitu;
a.
Aspek tingkat.
Dapat
dilakukan dengan mengamati kemampuan memakai unsure-unsur bahasa seperti
fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon serta ragam bahasa.
b.
Aspek fungsi
Dapat
dilakukan melalui kemampian pemakaian dua bahsa yang dimiliki sesuai dengan
kepentingan-kepentingan tertentu. Ada dua faktor yang harus diperhatikan dalam
pengukuran kedwibahasaan yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal adalah faktor yang menyangkut pemakaian bahasa secara internal.
Sedangkan
faktor eksternal adalah faktor dari luar bahasa. Hal ini antara lain menyangkut
masalah kontak bahasa yang berkaitan dengan lamanya waktu kontak seringnya
mengadakan kontak bahasa si penutur dapat ditentukan oleh lamanya waktu kontak,
seringnya kontak dan penekannya terhadap bidang-bidang tertentu. Misalnya,
bidang ekonomi, budaya, politik,dll.
c.
Aspek Pergantian
Yaitu pengukuran terhadap seberapa
jauh pemakai bahasa mampu berganti dari satu bahasa kebahasa yang
lain. Kemampuan berganti dari satu bahasa ke bahasa yang lain ini tergantung
pada tingkat kelancaran pemakaian masing-masing bahasa.
d.
Aspek interferensi
Yaitu
pengukuran terhadap kesalahan berbahasa yang disebabkan oleh terbawanya
kebiasaan ujaran berbahasa atau dialek bahasa pertama terhadap kegiatan
berbahasa. Robert Lado (1961) mengemukakan agar dalam pengukuran
kedwibahasaan seseorang dilakukan melalui kemampuan berbahasa dengan
menggunakan indikator tataran kebahasaan (sejalan dengan Mackey). Kelly
(1969) menyarankan agar kedwibahasaan seseorang diukur dengan cara
mendeskripsikan kemampuan berbahas seseorang dari masing-masing bahasa dengan
menggunakan indikator elemen kebahasaan kemudian dikorelasikan untuk menentukan
keterampilan berbahasa.
John
MacNawara (1969) memberikan disain teknik pengukuran kedwibahasaan dari aspek
tingkat dengan cara memberikan respon kemampuan
berbahasa dengan menggunakan konsep dasar analisis kesalahan berbahasa.
Pengukuran
dapat memakai indikator membaca pemahaman, membaca leksikon, kesalahan ucapan,
kesalahan ketatabahasaan, interferensi leksikal B2, pemahaman bahasa lisan,
kesalahan fonetis, makna kata dan kekayaan makna.
Berbeda
dengan pendapat-pendapat diatas yaitu Jakobovits (1970) memberikan desain
teknik pengukuran kedwibahasaan dengan cara:
1.
Menghitung
jumlah tanggapan terhadap rangsangan dalam B1.
2.
Menghitung
jumlah tanggapan dalam rangsangan dalam B2 terhadap B1.
3.
Menghitung
perbedaan total antara B1 dan B2.
4.
Menghitung
jumlah tanggapan dalam B1 terhadap
rangsangan dalam B1.
5.
Menghitung
jumlah tanggapan dalam B2 terhadap
rangsangan dalam B2.
6.
Menghitung
tanggapan dalam b2 terhadap rangsangan dalam B1.
7.
Menghitung
jumlah tanggapan dalam b1 terhadap rangsangan dalam B2.
8.
Menghitung
tanggapan terjemahan terhadap rangsangan dalam B2.
9.
Menyatakan
hasil dalam bentuk prosentase, dan
10.
Menghitung
tanggapan dua bahasa terhadap rangsangan B1 dan B2 jika
memungkinkan.
Lambert
(195:50, mengajukan teknik pengukuran kedwibahasaan dengan mengungkapkan
dominasi bahasa, artinya bahasa mana dari dari kedua bahasa itu dominan Mackey
(1968) memberikan teknik pengukuran kedwibahasaan dengan menggunakan tes
keterampilan berbahasa masing-masing bahasa.
Berikut
merupakan ciri-ciri teori kebahasaan tradisional:
1. Teori-teori
kebahasaan yang bersifat tradisional mengambil sumber asumsi-asumsi dan
hipotesis tentang bahasa filsafat dan logika. Jadi, Jadi dengan latar belakang
filsafat dan logikalah lahirlah asumsi dan hipotesis bahasa.
2. Data bahasa
yang diteliti mulanya adalah data bahasa tertulis dan bahasa yang telah
mengenal ejaan.
3. Data
bahasa tertulis itu terbatas pada bahasa Yunani dan latin.
4. Bahasa
dipandang bukan merupakan sebuah produk kebudayaan tetapi hanya dipandang
sebagai sarana dan alat komunikasi berpikir.
5. Data dan
Fakta bahasa yang tidak sesuai dengan teori-teori filsafat dianggap
kekecualiaan atau kesalahan atau perlu pula diperbaiki sesuai dengan teori
filsafat dan logika.
Kelemahan dari teori kebahasaan ini ialah:
1. Asumsi-asumsi
dan hipotesis kebahasan bukanlah harus dikaji dengan fakta dan data bahasa,
melainkan fakta dan data bahasa harus disesuaikan dengan asumsi dan hipotesis
filsafat dan logika tentang bahasa.
2. Teori
kebahasaan bersifat universal dan dapat dilakukan untuk semua bahasa di dunis,
sementara karakteristik setiap bahasa berbeda-beda.
BAB IV
KESIMPULAN
Didasarkan pada uraian yang telah disajikan dalam
bab-bab sebelumnya, terdapat pemikiran dasar yang akan ditekankan
dalam bab kesimpulan ini. Yang pertama adalah bahwa bahasa sejak dulu
hingga saat ini telah memberikan andil yang sangat besar bagi perkembangan
peradaban manusia. Melalui symbol-simbol bahasa, karya intelektual,
budaya manusia dilestarikan dan dtransformasikan dari satu periode generasi
kepada generasi berikutnya.
Lewat bahasa, manusia dapat menyampaikan dan
mengembangkan pemikirannya dalam aneka wujud kebudayaan. Simbol-simbol
bahasa memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan member
makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta.
Dari serangkaian pendapat-pendapat yang telah
diuraikan, menunjukkan tentang kebhinekaan pendapat mengenai konsep makna dan
bentuk pengajaran dwibahasa atau bilingual teaching yang disuguhkan oleh para
filsuf dari berbagai macam aliran. Ini membuktikan bahwa dalam filsafat
terdapat bermacam metode perenungan. Karena itu, jika kita hanya membahas
filsafat hanya kedalam satu jenis metode pembahasan khusus saja, ini berarti
kita telah berusaha untuk mengusir filsafat dari dunianya.
Langkah ini sungguh bertentangan dengan sifat atau
karakter yang telah dimiliki filsafat. Dari dulu hingga sekarang,
filsafat senantiasa memberikan berbagai alternatif metode
untuk memecahkan suatu persoalan.
DAFTAR PUSTAKA
Endraswara, Suwardi, 2006, Methodology Penelitian
Sastra, Pustaka Widyatama, Yogyakarta
Hidayat, Asep Ahmat, 2006, Filsafat Bahasa,
Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung
Pranowo, 1996, Analisis Pengajaran Bahasa,
Gajahmada University Press, Yogyakarta
Poedjosoedarmo, Soepomo, 2003, Filsafat Bahasa,
Muhammadiyah University Press, Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar