Rabu, 11 Juni 2014

FILSAFAT DISIPLIN ILMU(vena vulvena)


















BAB II
PEMBAHASAN
FILSAFAT TENTANG BERBAGAI DISIPLIN ILMU

      Sebagaimana telah disinggung terdahulu bahwa filsafat adalah induk dari semua disiplin ilmu, artinya pada mulanya filsafat itu mencakup seluruh ilmu pengetahuan yang dikenal saat ini. Namun kemudian, secara berangsur-angsur, satu demi satu ilmu-ilmu itu mulai melepaskan diri dari filsafat, menjadi mandiri dan terus mengembangkan diri. Dalam mengembangkan dirinya, ilmu-ilmu tersebut terus mencari dan menerapkan berbagai metode, sistem, prinsip dan sebagainya dengan mengadakan penelitian-penelitian faktual dan praktis. Akan tetapi ketika ilmu pengetahuan itu mengalami kebuntuan di dalam menghadapi persoalan realitas maka ia kembali lagi kepada iduknya, yakni filsafat untuk meminta jawaban.

      Oleh karena banyaknya pertanyaan atau persoalan yang diajukan kepada berbagai ilmu pengetahuan telah melampaui kompetensinya dan harus meminta jawaban dari filsafat, maka lahirlah filsafat khusus yang membahas tentang berbagai disiplin ilmu. Filsafat khusus ini menerapkan berbagai metode filosofis  dalam upaya mencari dan menemukan akan serta asas realitas yang dipersoalkan oleh bidang ilmu tersebut demi memperoleh kejelasan lebih pasti.

      Seperti diketahui bersama bahwa saat ini terdapat begitu banyak ilmu pengetahuan yang berkembang, yang pada dasarnya dapat diklasifikasikan kepada tiga kelompok besar, yaitu : ilmu-ilmu deduktif (ilmu formal), ilmu-ilmu induktif (ilmu empiris) dan ilmu-ilmu reduktif (sejarah dan sebagainya). Pada hakikatnya persoalan-persoalan falsafati terdapat di seluruh bidang ilmu dari ketiga kelompok tersebut. Dalam makalah ini hanya akan dikemukakan beberapa saja.

1.      FILSAFAT POLITIK

Filsafat politik adalah refleksi filosofis mengenai masalah-masalah sosial politik yagn dapat dibedakan menjadi dua bagian pembahasan yang berkaitan erat, yakni pertama mempersoalkan hakikat, kedua mempersoalkan fungsi dan tujuan. Akan tetapi dalam kenyataannya, filsafat politik bukan hanya mempersoalkan hakikat, fungsi dan tujuan negara, melainkan juga membahas soal keluaga dalam negara, pendidikan, agama, hak dan kewajiban individual, kekayaan dan harta milik pemerintah dan sebagainya. Filsafat politik berbeda dengan ilmu politik, karena ilmu politik bersifat deskriptif dan bersangkut paut dengan fakta-fakta, sedangkan filsafat politik bersifat normatif dan bersangkut paut dengan nilai-nilai.

Plato dalam bukunya Republika mempersoalkan dan membahas berbagai permasalahan tersebut. Menurut Plato, negara ideal adalah negara yang penuh dengan kebajikan dan keadilan. Setiap warganya berfungsi sebagaimana mestinya dalam upaya merealisasikan negara ideal itu, oleh karenanya maka pendidikan harus diatur oleh negara. Pendidikan menduduki tempat amat penting dalam filsafat politik Plato. Agar negara ideal itu dapat terwujud nyata, yang patut menjadi raja atau presiden adalah mereka yang mempelajari filsafat. Dengan kata lain raja haruslah seorang filsuf, karena hanya filsuflah yang benar-benar mengenal ide-ide. Selain itu filsuf juga tahu tentang kebijakan, kebaikan dan keadilan, sehingga pemerintahannya tidak akan mengarah pada kejahatan dan ketidakadilan. Menurut Plato, hanya filsuflah yang memiliki pengetahuan yang sesungguhnya, dan karena pengetahuan adalah kekuasaan, maka filsuflah yang layak memerintah.

Sementara Aristoteles berpendapat bahwa negara adalah persekutuan yang berbentuk polis yang dibentuk demi kebaikan tertinggi bagi manusia. Negara harus mengupayakan dan menjamin kesejahteraan bersama yang sebesar-besarnya karena hanya dalam kesejahteraan umum itulah kesejahteraan individual dapat diperoleh. Menurut dia alangkah baiknya apabila negara diperintah oleh seorang filsuf-raja yang memiliki pengetahuan sempurna dan amat bijaksana, karena akan menjamin tercapainya kebaikan tertinggi bagi para warganya. Akan tetapi lanjutnya, di dunia ini tidak mungkin dapat ditemukan seorang filsuf-raja yang sempurna, kareanya yang terpenting adalah menyusun hukum dan konstitusi terbaik yang menjadi sumber kekuasaan dan menjadi pedoman pemerintahan bagi para penguasa.

Filsafat politik klasik senantiasa bermuara pada etika, yang pada masa itu menduduki tempat paling mulia di antara segala cabang filsafat. Persoalan yang dikemukakan dan pertanyaan yang di ajukan merupakan abstraksi moral yang bersumber dari upaya untuk memberi arti dan makna bagi kehidupan individu dan masyarakat. Dengan demikian ada tujuan lebih pasti dan lebih agung yang hendak dicapai, kendati harus melewati perjuangan yang tidak kunjung selesai. Dalam filsafat politik modern, pokok persoalan yang utama adalah masalah individu dan hak-hak miliknya. Itu terlihat jelas lewat tema-tema pembahasan filsafat politik masa kini yang berkisar pada soal kebebasan, otoritas, hak-hak asasi manusia, demokrasi, hak dan kewajiban, keadilan dan lain-lain.

2.    FILSAFAT HUKUM

Filsafat hukum berbeda dengan ilmu hukum. Filsafat hukum bersifat universal, karena mem-persoalkan hukum secara umum. Filsafat hukum tidak membicarakan hukuk di Indonesia atau di Amerika Serikat, melainkan hukum itu an sich. Adapun ilmu hukum mempelajari isi perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, Amerika Serikat, Perandis dan lain sebagainya. Filsafat hukum merupakan refleksi filosofis mengenai masalah-masalah hukum. Yang dipersoaalkan adalah apakah sebenarnya dan hakikat hukum; apa dan bagaimana sifat hukum; apakah fungsi dan tujuan hukum; apakah keadilan itu; dan mengapa manusia harus patuh terhadap hukum.

Menurut Plato hukum hanya merupakan sebagian dari pengetahuan yang dimiliki penguasa negara, yaitu sang filsuf-raja. Hukum bisa berarti baik bagi yang diperintah, sejauh ia dinilai baik oleh sang filsuf-raja. Karena filsuf-raja selaku penguasa adalah orang yang paling arif serta memiliki moralitas dan pengetahuan yang sempurna, maka warga negara tidak perlu merasa khawatir bahwa pada suatu saat filsuf-raja akan menyalahgunakan kebebasannya terhadap hukum. Sikap Plato itu merupakan akibat logis dari keyakinannya yang menempatkan pengetahuan di atas segala-galanya. Ini karena apabila pengetahuan yang dinobatkan menjadi ‘yang mulia’ segala sesuatu yang lain –termasuk hukum– harus berada di bawahnya.

Akan tetapi kemudian Plato menyadari bahwa ternyata sangat sulit mencari orang yang benar-banar arif dan memiliki pengetahuan yang sempurna. Oleh sebab itu, dia mengungkapkan betapa perlunya menegakkan hukum dan membuat undang-undang. Dengan kata lain, para penguasa harus memerintah dengan hukum dan berdasarkan undang-undang. Itu bukan berarti bahwa Plato mendewakan dan mengagungkan hukum. Menurutnya, undang-undang dibuat demi kebutuhan praktis, namun tidak boleh mengikat, membelenggu dan membatasi gerak seorang negarawan sejati untuk mengubah, menambah atau membatalkan semua undang-undang yang telah usang. Plato juga berpendapat bahwa hukum dan undang-undang bukan semata-mata dimaksudkan untuk memelihara ketertiban dan menjaga stabilitas negara, tetapi juga untuk menolong warga negara mencapai keutamaan atau kebajikan pokok sehingga benar-benar layak menjadi warga negara ideal.

Selanjutnya Aristoteles berpendapat bahwa hukum adalah sumber kekuasaan dalam negara. Apabila hukum telah menjadi sumber kekuasaan, maka pemerintahan para penguasa akan terarah untuk kepentingan, kebaikan dan kesejahteraan umum. Hukum sebagai sumber kekuasaan harus memiliki kewibaan dan kedaulatan tertinggi dalam negara. Bagi Aristoteles hukumlah yang seharusnya memiliki kedaulatan tertinggi, bukan menusia. Karena bagaimanapun arifnya para penguasa itu tidak mungkin mereka dapat menggantikan kedudukan hukum.

Aristoteles adalah filsuf pertama yang membedakan antara hukum kebiasaan dan hukum tertulis. Hukum kebiasaan adalah landasan dari segala pengetahuan dan pengalaman manusia di sepanjang masa. Oleh sebab itu hukum kebiasaan bersifat abadi, berlaku dengan sendirinya dan pada dasarnya tidak berubah-ubah. Adapun hukum tertulis seluruhnya dibuat, disusun dan ditetapkan oleh manusia, maka dapat diubah sesuai dengan keadaan dan kebutuhan manusia.

3.    FILSAFAT AGAMA

Filsafat agama bukanlah cabang theologi, karenanya bukan merupakan pembelaan filosofis terhadap dogma, ajaran teologis tertentu dan keyakinan religius. Filsafat agama adalah cabang filsafat yang baru muncul pada abad ke 18. Filsafat agama ini sering kali dikacaukan dengan theologi natural – istilah yang telah dikenal sejak abad pertengahan – namun permasalahannya telah dipersoalkan sejak zaman Yunani kuno. Teologi natural merupakan upaya rasional untuk menjawab pertanyaan tentang Tuhan, yakni apakah Tuhan itu benar-benar ada ? Jika benar ada, bagaimana keberadaannya itu, bagaimana sifat-sifatnya dan bagaimana hubungannya dengan manusia dan alam ?. Sebagai contoh dalam hal ini Xenophanes (570-475 SM) mengatakan bahwa Tuhan itu benar ada dan satu adanya, Dia tidak diciptakan, tidak bergerak dan tidak berubah. Dia mengisi seluruh alam, mendengar dan melihat semua serta memimpin alam dengan kekuatan pikiranNya. Aristoteles mengatakan bahwa Tuhan adalah substansi yang sempurna, Dia bersifat imaterial, Dia penggerak pertama dan penggerak yang tidak digerakkan. Dengan demikian, teologi natural dapat dikakatakan sebagai puncak metafisika.

Dalam filsafat agama sesungguhnya berarti pemikiran filosofis atau pemikiran kritis analisis tentang agama. Yang hendak dianalisis oleh filsafat agama adalah hakikat agama itu sendiri, yakni pengalaman-pengalaman religius manusia. Jadi filsafat agama tidak menganalisis isi kepercayaan iman, melainkan mempertanyakan apakah hakikat iman an sich, di samping Selain itu filsafat agama juga menganalisis berupaya menjelaskan fenomena agama, terutama hakikat hubungan manusia dengan Tuhannya. Lalu apa hakikat agama?. Agama adalah suatu keyakinan akan adanya suatu kenyataan trans-empiris, yang begitu mempengaruhi dan menentukan, sekaligus membentuk dan menjadi dasar tingkah manusia. Oleh karena itu agama merupakan suatu misteri yang tidak terpecahkan oleh akal budi manusia.

Pengalaman religius adalah suatu hubungan pribadi antar manusia dan Tuhan. Hubungan itu menggoncangkan, tetapi juga memberi kedamaian. R. Otto mengatakan bahwa hubungan manusia dengan Tuhan membuat manusia gemetar, segan dan takut. Ungkapan Otto yang terkenal adalah : “Mysterium Tremendum et Fascinosum”, maksudnya adalah Yang Kudus yang membuat manusia gemetar, segan dan takut itu juga membuat manusia tertarik dan terdorong untuk menyatukan diri denganNya. Pengalaman manusia dalam hibingannya dengan Tuhan sangat berbeda dengan pengalaman biasa. Hubungan dengan Tuhan mendorong manusia untuk mengambil sikap tertentu, antara lain senantiasa berkomuniaksi denganNya lewat beriman, ibadah, berdo’a, menyerahkan diri, taat, mengasihi dan bergantung kepadaNya.

4.    FILSAFAT PENDIDIKAN

      Dalam arti yang sangat luas, filsafat pendidikan adalah pemikiran-pemikiran atau konsepsi filosofis tentang pendidikan. Ada pula yang mengartikan sebagai proses pendidikan, yaitu yang bersangkut paut dengan cita-cita, bentuk, metode atau hasil dari pendidikan. Juga ada yang mengatakan bahwa filsafat pendidikan adalah filsafat tentang disiplin ilmu pendidikan, yakni yang bersangkut paut dengan berbagai konsep, ide dan metode disiplin ilmu pendidikan. Secara historis, filsafat pendidikan yang dikembangkan oleh para filosuf awal seperti Aristoteles, Augustinus dan John Locke adalah tentang proses pendidikan sebagai bagian dari sitem filsafat mereka dalam konteks teori-teori etika, politik, epistemologi dan metafisika yang mereka anut. Sedangka filsafat pendidikan yang dikembangkan sekarang (oleh pengaruh filsafat analitik) merupakan filsafat tentang disiplin ilmu pendidikan dalam konteks dasar-dasar pendidikan yang dihubungkan dengan bagian-bagian disiplin ilmu lain, yaitu sejarah pendidikan, psikologi pendidikan dan sosiologi pendidikan.

Ada beberapa aliran filsafat yang begitu mempengaruhi perkembangan filsafat pendidikan saat ini, di antaranya yang paling terpenting adalah :
·   Filsafat Analitik, yaitu sebuah filsafat pendidikan yang menganalisis dan menguraikan istilah-istilah dan konsep-konsep seperti pengajaran (teaching), kemampuan (ability), pendidikan (education) dan sebagainya. Alat yang digunakan alam filsafat analitik untuk melaksanakan tugasnya adalah logika dan lingualistik serta teknik-teknik analisis yang berbeda antara seorang filsuf dengan filsuf yang lain.
·         Progresivisme, yang berpendapat bahwa pendidikan bukan sekedar mentransfer pengetahuan kepada anak didik, melainkan melatih kemampuan dan keterampilan berfikir dengan memberi rangsangan yang tepat. Seorang tokoh pragmatisme, John Dewey, menyatakan bahwa sekolah adalah institusi sosial dan pendidikan itu sendiri adalah suatu proses sosial. Selanjutnya, pendidikan adalah proses kehidupan (process of living), bukan sebagai persiapan untuk masa depan. Pendidikan adalah proses kiehidupan itu sendiri, maka kebutuhan individual anak didik harus lebih diutamakan, bukan subject-oriented.
·         Eksistensialisme, mengatakan bahwa yang menjadi tujuan utama pendidikan bukan agar anak didik dibantu mempelajari bagaimana menanggulangi masalah-masalah eksistensial mereka, melainkan agar dapat mengalami secara penuh eksistensi mereka. Para pendidik eksistensialis akan mengukur hasil pendidikan bukan semata-mata pada apa yang telah dipelajari dan di-ketahui oleh anak didik, tetapi yang lebih penting adalah apa yang mampu mereka ketahui dan alami. Oleh karena itu mereka menolak pendidikan dengan sistem indoktrinasi.
·         Rekonstruksionisme, yaitu terutama merupakan reformasi sosial yang menghendaki renaisan sivilisasi modern. Para penganut aliran ini melihat bahwa pendidikan dan reformasi sosial itu sesungguhnya sama. Mereka memandang kurikulum sebagai “preblem-centered”. Pendidikan pun harus menjawab pertanyaan George S. Cound : “Beranikah sekolah-sekolah membangun suatu orde sosial baru ?”



5.    FILSAFAT SEJARAH

Pembahasan filsafat sejarah mengikuti dua alur yang berbeda, yaitu pertama disebut filsafat sejarah spekulatif, yang berupaya untuk memandang proses sejarah secara menyeluruh, baru kemudian mencoba menafsirkannya sedemikian rupa untuk memahami arti dan makna serta tujuan sejarah. Alur kedua disebut filsafat sejarah kritis, yang tidak memandang kepada proses sejarah secara menyeluruh, melainkan justru memikirkan masalah-masalah pokok penyelidikan sejarah itu sendiri, cara dan metode yang digunakan oleh sejarahwan dan sebagainya.

Dalam filsafat sejarah spekulatif biasanya ada beberapa pertanyaan yang berupaya dijawab, antara lain : Apakah hakikat, arti dan makna sejarah itu?. Apakah sebenarnya yang menggerakkan proses sejarah itu?. Apakah tujuan akhir proses sejarah?. Tokoh filsafat sejarah spekulatif adalah Giambattista Vico (1668-1744), Johann Gottfried von Herder (1744-1803), Geong Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831), Karl Marx (1818-1883) dan Arnold Joseph Toynbee (1889-1975). Dasar yang digunakan mereka untuk menafsirkan proses sejarah begitu bervariasi. Ada yang menafsirkan atas dasar pertimbangan empiris, metafisis dan religius. Karl Max mengatakan bahwa sejarah sesungguhnya mengikuti pola garis lurus tunggal yang terarah pada suatu tujuan yang dapat diketahui sebelumnya. Menurut Tounbee, sejarah merupakan suatu siklus perubahan tetap yang senantiasa berulang.

Adapun hal-hal yang dipertanyakan dalam filsafat sejarah kritis muncul dari renungan atas pemikiran dan penalaran menurut ilmu sejarah, terutama bersifat epistemologis dan konseptual. Pada umumnya pembahasan berkisar pada dua pokok soal yang penting, yaitu mengenai logisitas ekspanasi yang diketengahkan oleh sejarahwan profesional dan status epistemologis narasi sejarah masa silam. Karena itu, timbullah pertanyaan-pertanyaan : Bagaimanakah sifat logis eksplanasi peristiwa-peristiwa yang dikemukakan oleh sejarahwan?. Apakah narasi sejarah memiliki validasi obyektif?. Tokohnya adalah Wilhelm Dilthey (1833-1911), Benedetto Croce (1866-1952) dan Robin George Collingwood (1889-1945).




6.    FILSAFAT BAHASA

Filsafat bahasa yang berkembang dewasa ini sering pula disebut sebagai filsafat analitik. Peloprnya adalah George Edward Moore (1873-1959), seorang filsuf Inggris dari Universitas Cambridge. Filsafat bahasa yang dikembangkannya merupakan kritikan terhadap neo-idelalism yang katanya membuat pernyataan-pernyataan filsafat yang tidak dapat dipahami karena tidak didasarkan pada logika. Menurutnya tugas filsafat bukanlah untuk memberi eksplanasi atau interpretasi mengenai pengalaman kita, melainkan memberi penjelasan dan keterangan terhadap konsep atau gagasan lewat analisis yang berdasar pada akal sehat (common sense). Dia berpendapat bahwa kekacauan dalam filsafat terjadi karena ungkapan filsafat bersimpang jalan dengan bahasa biasa yang digunakan sehari-hari. Hal itu justru menunjukkan bahwa akal sehat (common sense) telah diabaikan.

Filsuf lain yang mengembangkan filsafat analitik lebih lanjut adalah Bertrand Russell (1872-1970) dan Ludwig Wittgenstein (1889-1951), keduanya dari Universitas Caambridge. Menurut Bertrand Russell, bahasa yang benar merupakan deskripsi dari suatu realitas. Dengan menyelidiki unsur-unsur paling kecil dari bahasa, dia menemukan gambaran dari fakta-fakta atomis. Dia menyebut bagian-bagian yang paling kecil dari bahasa sebagai atom-atom logis. Rangkaian atom-atom logis itu membentuk apa yang disebutnya molekul-molekul logis, yaitu pernyataan-pernyataan sederhana. Russell berpendapat bahwa filsafat yang benar-benar bercorak ilmiah haruslah menggunakan bahasa logika, bukan bahasa biasa.

Sementara filsafat Ludwig Wittgenstein terbagi kepada dua periode yang masiug-masing mempengaruhi aliran filsafat tertentu. Pemikiran Wittgenstein dalam periode sebelum tahun 1930 (Wittgenstein I), yang dikenal lewat karya tulisnya berjudul Tractus Logico-philosophicus mempengaruhi Lingkaran Wina dan Neopositivisme di Inggris. Pikiran Wittgenstein sesudah tahun 1930 (Wittgenstein II) yang dikenal lewat karyanya berjudul Philosophical Investigations menjadi titik awal analitika bahasa.

Wittgenstein I menegaskan bahwa hanya pernyataan-pernyataan deskriptif yang memiliki arti. Bahasa haruslah merupakan suatu deskripsi atau gambaran yang jelas dari suatu realitas; sebab bila tidak, ia sama sekali tidak memiliki arti. Sedangkan Wittgenstein II menyatakan bahwa arti suatu pernyataan tergantung pada jenis bahasa yang digunakan. Ada berbagai jenis penggunaan bahasa yang semuanya memiliki logika dan kebenaran tersendiri. Dalam philosophical Investigations, Wittgenstein menjelaskan konsepnya tentang permainan bahasa (language game). Permainan bahasa adalah suatu proses pemakaian kata, termasuk pula pemakaian bahasa yang sederhana. Setiap bentuk permainan bahasa memiliki ketentuan dan aturan sendiri yang tidak boleh dicampuradaukkan agar tidak menimbulkan kekacauan. Dengan demikian, jelas terlihat bahwa tidak mungkin ada ketentuan dan perturan umum yang dapat mengatur seluruh bentuk permainan bahasa. Jelas pula bahwa arti sebuah kata tergantung pada pemakaiannya dalam kalimat, dan arti kalimat tergantung pada pemakaiannya dalam bahasa.

7.    FILSAFAT MATEMATIKA

      Sejak  sekitar millenia ke 5 sampai ke 3 SM, matekatika telah dikenal di Mesir dan Babilonia sebagai suatu alat yang sangat berguna untuk memecahkan berbagai persoalan dan masalah praktis. Sebagai contoh, banjir tahunan di lembah Nil memaksa orang-orang Mesir purba mengembangkan suatu rumusan atau formula yang membantu mereka menetapkan dan menentukan kembali batas-batas tanah. Rumus-rumus matematika juga digunakan untuk konstruksi, penyusunan kalender dan perhitungan dalam perniagaan. Akan tetapi, matematika sebagai ilmu baru dikembangkan oleh para filsuf Yunani sekitar 5000 tahun kemudian, dengan filsuf besar yang terkenal adalah Pythagoras dan Plato. Kendati dapat dikatakan bahwa para filsuf Yunani kuno bukan hanya menguasai matematika, melainkan juga ikut mengembangkan.

      Bagi Pythagoras, matematika adalah alat yang sangat penting untuk memahami filsafat. Dia juga menemukan fakta yang menunjukkan bahwa fenomena yang berbeda dapat memperlihat-kan sifat-sifat matematis yang identik. Karena itu dia menyimpulkan bahwa sifat-sifat tersebut dapat dilambangkan ke dalam bilangan dan dalam keterhubungan angka-angka. Semboyan Pythagoras yang sangat terkenal adalah Panta Arithmos, artinya segala sesuatu adalah bilangan. Sedangkan Plato berpendapat bahwa geometri adalah kunci untuk meraih pengetahuan dan kebenaran filosofis. Menurutnya, ada suatu ‘dunia’ yang disebutnya ‘dunia ide’ yang dirancang secara matematis. Segala sesuatu yang dapat dipahami lewat indera hanyalah suatu representasi tidak sempurna dari ‘dunia ide’ tersebut.

      Prinsip pertama dan utama matematika pada saat itu adalah abstraksi karena bagi para filsuf Yunani yang mengembangkan matematika kebenaran pada hakikatnya hanya bersangkut paut dengan suatu entitas permanen dan suatu keterhubungan serta pertalian yang tidak berubah-ubah. Dengan demikian jelas bahwa sejak semula matematika bukan hanya merupakan alat bagi pemahaman filsafat, melainkan juga merupakan bagian dari pemikiran filosofis itu sendiri. Pad masa kini filsafat matematika lebih mengeraskan titik tumpunya pada studi tentang konsep-konsep matematika, hakikat matematika –termasuk ciri-ciri dan karakteristiknya-, prinsip-prinsip serta justifikasi yang digunakan di dalam matematika dan landasan matematika. Adapun suara yang terdengar dari kalangan para ahli matematika yang mengharapkan agar para filsuf dapat berbuat lebih banyak dengan menjadikan filsafat matematika sebagai penyusun, penghimpun dan penerbit ilmu matematika yang dianggap telah berkeping-keping dan kacau balau selama berabad-abad.

















DAFTAR PUSTAKA

·            Abidin, Zainal. 2003. Filsafat Manusia Memahami Manusia Melalui Filsafat. Cet.3. Bandung: PT. Remaja rosdakarya offset
·            Bakhtiar, Amsal. 1997. Filsafat Agama 1. Jakarta: PT. LOGOS wacana Ilmu
·            Muslih, Mohammad. 2006. Filsafat Ilmu Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar