BAB II
PEMBAHASAN
FILSAFAT TENTANG
BERBAGAI DISIPLIN ILMU
Sebagaimana telah disinggung
terdahulu bahwa filsafat adalah induk dari semua disiplin ilmu, artinya pada
mulanya filsafat itu mencakup seluruh ilmu pengetahuan yang dikenal saat ini.
Namun kemudian, secara berangsur-angsur, satu demi satu ilmu-ilmu itu mulai
melepaskan diri dari filsafat, menjadi mandiri dan terus mengembangkan diri.
Dalam mengembangkan dirinya, ilmu-ilmu tersebut terus mencari dan menerapkan
berbagai metode, sistem, prinsip dan sebagainya dengan mengadakan
penelitian-penelitian faktual dan praktis. Akan tetapi ketika ilmu pengetahuan
itu mengalami kebuntuan di dalam menghadapi persoalan realitas maka ia kembali
lagi kepada iduknya, yakni filsafat untuk meminta jawaban.
Oleh karena banyaknya
pertanyaan atau persoalan yang diajukan kepada berbagai ilmu pengetahuan telah
melampaui kompetensinya dan harus meminta jawaban dari filsafat, maka lahirlah
filsafat khusus yang membahas tentang berbagai disiplin ilmu. Filsafat khusus
ini menerapkan berbagai metode filosofis
dalam upaya mencari dan menemukan akan serta asas realitas yang
dipersoalkan oleh bidang ilmu tersebut demi memperoleh kejelasan lebih pasti.
Seperti diketahui bersama
bahwa saat ini terdapat begitu banyak ilmu pengetahuan yang berkembang, yang
pada dasarnya dapat diklasifikasikan kepada tiga kelompok besar, yaitu :
ilmu-ilmu deduktif (ilmu formal), ilmu-ilmu induktif (ilmu empiris) dan
ilmu-ilmu reduktif (sejarah dan sebagainya). Pada hakikatnya
persoalan-persoalan falsafati terdapat di seluruh bidang ilmu dari ketiga
kelompok tersebut. Dalam makalah ini hanya akan dikemukakan beberapa saja.
1. FILSAFAT POLITIK
Filsafat politik adalah refleksi filosofis
mengenai masalah-masalah sosial politik yagn dapat dibedakan menjadi dua bagian
pembahasan yang berkaitan erat, yakni pertama mempersoalkan hakikat, kedua
mempersoalkan fungsi dan tujuan. Akan tetapi dalam kenyataannya, filsafat
politik bukan hanya mempersoalkan hakikat, fungsi dan tujuan negara, melainkan
juga membahas soal keluaga dalam negara, pendidikan, agama, hak dan kewajiban
individual, kekayaan dan harta milik pemerintah dan sebagainya. Filsafat
politik berbeda dengan ilmu politik, karena ilmu politik bersifat deskriptif
dan bersangkut paut dengan fakta-fakta, sedangkan filsafat politik bersifat
normatif dan bersangkut paut dengan nilai-nilai.
Plato dalam bukunya Republika
mempersoalkan dan membahas berbagai permasalahan tersebut. Menurut Plato,
negara ideal adalah negara yang penuh dengan kebajikan dan keadilan. Setiap
warganya berfungsi sebagaimana mestinya dalam upaya merealisasikan negara ideal
itu, oleh karenanya maka pendidikan harus diatur oleh negara. Pendidikan
menduduki tempat amat penting dalam filsafat politik Plato. Agar negara ideal
itu dapat terwujud nyata, yang patut menjadi raja atau presiden adalah mereka
yang mempelajari filsafat. Dengan kata lain raja haruslah seorang filsuf,
karena hanya filsuflah yang benar-benar mengenal ide-ide. Selain itu filsuf
juga tahu tentang kebijakan, kebaikan dan keadilan, sehingga pemerintahannya
tidak akan mengarah pada kejahatan dan ketidakadilan. Menurut Plato, hanya filsuflah
yang memiliki pengetahuan yang sesungguhnya, dan karena pengetahuan adalah
kekuasaan, maka filsuflah yang layak memerintah.
Sementara Aristoteles berpendapat bahwa negara
adalah persekutuan yang berbentuk polis yang dibentuk demi kebaikan tertinggi
bagi manusia. Negara harus mengupayakan dan menjamin kesejahteraan bersama yang
sebesar-besarnya karena hanya dalam kesejahteraan umum itulah kesejahteraan
individual dapat diperoleh. Menurut dia alangkah baiknya apabila negara
diperintah oleh seorang filsuf-raja yang memiliki pengetahuan sempurna dan amat
bijaksana, karena akan menjamin tercapainya kebaikan tertinggi bagi para
warganya. Akan tetapi lanjutnya, di dunia ini tidak mungkin dapat ditemukan
seorang filsuf-raja yang sempurna, kareanya yang terpenting adalah menyusun
hukum dan konstitusi terbaik yang menjadi sumber kekuasaan dan menjadi pedoman
pemerintahan bagi para penguasa.
Filsafat politik klasik senantiasa bermuara
pada etika, yang pada masa itu menduduki tempat paling mulia di antara segala
cabang filsafat. Persoalan yang dikemukakan dan pertanyaan yang di ajukan
merupakan abstraksi moral yang bersumber dari upaya untuk memberi arti dan
makna bagi kehidupan individu dan masyarakat. Dengan demikian ada tujuan lebih
pasti dan lebih agung yang hendak dicapai, kendati harus melewati perjuangan
yang tidak kunjung selesai. Dalam filsafat politik modern, pokok persoalan yang
utama adalah masalah individu dan hak-hak miliknya. Itu terlihat jelas lewat
tema-tema pembahasan filsafat politik masa kini yang berkisar pada soal
kebebasan, otoritas, hak-hak asasi manusia, demokrasi, hak dan kewajiban,
keadilan dan lain-lain.
2. FILSAFAT HUKUM
Filsafat hukum berbeda dengan ilmu hukum.
Filsafat hukum bersifat universal, karena mem-persoalkan hukum secara umum.
Filsafat hukum tidak membicarakan hukuk di Indonesia atau di Amerika Serikat,
melainkan hukum itu an sich. Adapun ilmu hukum mempelajari isi
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, Amerika Serikat, Perandis dan
lain sebagainya. Filsafat hukum merupakan refleksi filosofis mengenai
masalah-masalah hukum. Yang dipersoaalkan adalah apakah sebenarnya dan hakikat
hukum; apa dan bagaimana sifat hukum; apakah fungsi dan tujuan hukum; apakah
keadilan itu; dan mengapa manusia harus patuh terhadap hukum.
Menurut Plato hukum hanya merupakan sebagian
dari pengetahuan yang dimiliki penguasa negara, yaitu sang filsuf-raja. Hukum
bisa berarti baik bagi yang diperintah, sejauh ia dinilai baik oleh sang
filsuf-raja. Karena filsuf-raja selaku penguasa adalah orang yang paling arif
serta memiliki moralitas dan pengetahuan yang sempurna, maka warga negara tidak
perlu merasa khawatir bahwa pada suatu saat filsuf-raja akan menyalahgunakan
kebebasannya terhadap hukum. Sikap Plato itu merupakan akibat logis dari
keyakinannya yang menempatkan pengetahuan di atas segala-galanya. Ini karena
apabila pengetahuan yang dinobatkan menjadi ‘yang mulia’ segala sesuatu yang
lain –termasuk hukum– harus berada di bawahnya.
Akan tetapi kemudian Plato menyadari bahwa
ternyata sangat sulit mencari orang yang benar-banar arif dan memiliki
pengetahuan yang sempurna. Oleh sebab itu, dia mengungkapkan betapa perlunya
menegakkan hukum dan membuat undang-undang. Dengan kata lain, para penguasa
harus memerintah dengan hukum dan berdasarkan undang-undang. Itu bukan berarti
bahwa Plato mendewakan dan mengagungkan hukum. Menurutnya, undang-undang dibuat
demi kebutuhan praktis, namun tidak boleh mengikat, membelenggu dan membatasi
gerak seorang negarawan sejati untuk mengubah, menambah atau membatalkan semua
undang-undang yang telah usang. Plato juga berpendapat bahwa hukum dan
undang-undang bukan semata-mata dimaksudkan untuk memelihara ketertiban dan
menjaga stabilitas negara, tetapi juga untuk menolong warga negara mencapai
keutamaan atau kebajikan pokok sehingga benar-benar layak menjadi warga negara
ideal.
Selanjutnya Aristoteles berpendapat bahwa
hukum adalah sumber kekuasaan dalam negara. Apabila hukum telah menjadi sumber
kekuasaan, maka pemerintahan para penguasa akan terarah untuk kepentingan,
kebaikan dan kesejahteraan umum. Hukum sebagai sumber kekuasaan harus memiliki
kewibaan dan kedaulatan tertinggi dalam negara. Bagi Aristoteles hukumlah yang
seharusnya memiliki kedaulatan tertinggi, bukan menusia. Karena bagaimanapun
arifnya para penguasa itu tidak mungkin mereka dapat menggantikan kedudukan
hukum.
Aristoteles adalah filsuf pertama yang
membedakan antara hukum kebiasaan dan hukum tertulis. Hukum kebiasaan adalah
landasan dari segala pengetahuan dan pengalaman manusia di sepanjang masa. Oleh
sebab itu hukum kebiasaan bersifat abadi, berlaku dengan sendirinya dan pada
dasarnya tidak berubah-ubah. Adapun hukum tertulis seluruhnya dibuat, disusun
dan ditetapkan oleh manusia, maka dapat diubah sesuai dengan keadaan dan
kebutuhan manusia.
3. FILSAFAT AGAMA
Filsafat agama bukanlah cabang theologi,
karenanya bukan merupakan pembelaan filosofis terhadap dogma, ajaran teologis
tertentu dan keyakinan religius. Filsafat agama adalah cabang filsafat yang
baru muncul pada abad ke 18. Filsafat agama ini sering kali dikacaukan dengan theologi
natural – istilah yang telah dikenal sejak abad pertengahan – namun
permasalahannya telah dipersoalkan sejak zaman Yunani kuno. Teologi natural
merupakan upaya rasional untuk menjawab pertanyaan tentang Tuhan, yakni apakah
Tuhan itu benar-benar ada ? Jika benar ada, bagaimana keberadaannya itu,
bagaimana sifat-sifatnya dan bagaimana hubungannya dengan manusia dan alam ?.
Sebagai contoh dalam hal ini Xenophanes (570-475 SM) mengatakan bahwa Tuhan itu
benar ada dan satu adanya, Dia tidak diciptakan, tidak bergerak dan tidak
berubah. Dia mengisi seluruh alam, mendengar dan melihat semua serta memimpin
alam dengan kekuatan pikiranNya. Aristoteles mengatakan bahwa Tuhan adalah
substansi yang sempurna, Dia bersifat imaterial, Dia penggerak pertama dan
penggerak yang tidak digerakkan. Dengan demikian, teologi natural dapat
dikakatakan sebagai puncak metafisika.
Dalam filsafat agama sesungguhnya berarti
pemikiran filosofis atau pemikiran kritis analisis tentang agama. Yang hendak
dianalisis oleh filsafat agama adalah hakikat agama itu sendiri, yakni
pengalaman-pengalaman religius manusia. Jadi filsafat agama tidak menganalisis
isi kepercayaan iman, melainkan mempertanyakan apakah hakikat iman an sich,
di samping Selain itu filsafat agama juga menganalisis berupaya menjelaskan fenomena
agama, terutama hakikat hubungan manusia dengan Tuhannya. Lalu apa hakikat
agama?. Agama adalah suatu keyakinan akan adanya suatu kenyataan trans-empiris,
yang begitu mempengaruhi dan menentukan, sekaligus membentuk dan menjadi dasar
tingkah manusia. Oleh karena itu agama merupakan suatu misteri yang tidak
terpecahkan oleh akal budi manusia.
Pengalaman religius adalah suatu hubungan
pribadi antar manusia dan Tuhan. Hubungan itu menggoncangkan, tetapi juga
memberi kedamaian. R. Otto mengatakan bahwa hubungan manusia dengan Tuhan
membuat manusia gemetar, segan dan takut. Ungkapan Otto yang terkenal adalah :
“Mysterium Tremendum et Fascinosum”, maksudnya adalah Yang Kudus yang
membuat manusia gemetar, segan dan takut itu juga membuat manusia tertarik dan
terdorong untuk menyatukan diri denganNya. Pengalaman manusia dalam hibingannya
dengan Tuhan sangat berbeda dengan pengalaman biasa. Hubungan dengan Tuhan
mendorong manusia untuk mengambil sikap tertentu, antara lain senantiasa
berkomuniaksi denganNya lewat beriman, ibadah, berdo’a, menyerahkan diri, taat,
mengasihi dan bergantung kepadaNya.
4. FILSAFAT PENDIDIKAN
Dalam arti yang sangat luas,
filsafat pendidikan adalah pemikiran-pemikiran atau konsepsi filosofis tentang
pendidikan. Ada pula yang mengartikan sebagai proses pendidikan, yaitu yang
bersangkut paut dengan cita-cita, bentuk, metode atau hasil dari pendidikan.
Juga ada yang mengatakan bahwa filsafat pendidikan adalah filsafat tentang
disiplin ilmu pendidikan, yakni yang bersangkut paut dengan berbagai konsep,
ide dan metode disiplin ilmu pendidikan. Secara historis, filsafat pendidikan
yang dikembangkan oleh para filosuf awal seperti Aristoteles, Augustinus dan
John Locke adalah tentang proses pendidikan sebagai bagian dari sitem filsafat
mereka dalam konteks teori-teori etika, politik, epistemologi dan metafisika
yang mereka anut. Sedangka filsafat pendidikan yang dikembangkan sekarang (oleh
pengaruh filsafat analitik) merupakan filsafat tentang disiplin ilmu pendidikan
dalam konteks dasar-dasar pendidikan yang dihubungkan dengan bagian-bagian
disiplin ilmu lain, yaitu sejarah pendidikan, psikologi pendidikan dan
sosiologi pendidikan.
Ada beberapa aliran filsafat yang begitu mempengaruhi perkembangan
filsafat pendidikan saat ini, di antaranya yang paling terpenting adalah :
· Filsafat Analitik, yaitu sebuah filsafat pendidikan yang
menganalisis dan menguraikan istilah-istilah dan konsep-konsep seperti
pengajaran (teaching), kemampuan (ability), pendidikan (education) dan sebagainya. Alat yang
digunakan alam filsafat analitik untuk melaksanakan tugasnya adalah logika dan
lingualistik serta teknik-teknik analisis yang berbeda antara seorang filsuf
dengan filsuf yang lain.
· Progresivisme, yang berpendapat bahwa pendidikan bukan sekedar mentransfer pengetahuan
kepada anak didik, melainkan melatih kemampuan dan keterampilan berfikir dengan
memberi rangsangan yang tepat. Seorang tokoh pragmatisme, John Dewey,
menyatakan bahwa sekolah adalah institusi
sosial dan pendidikan itu sendiri adalah suatu proses sosial. Selanjutnya, pendidikan adalah proses kehidupan
(process of living), bukan sebagai persiapan untuk masa depan. Pendidikan
adalah proses kiehidupan itu sendiri, maka kebutuhan individual anak didik
harus lebih diutamakan, bukan subject-oriented.
· Eksistensialisme, mengatakan bahwa yang menjadi tujuan utama pendidikan bukan agar anak
didik dibantu mempelajari bagaimana menanggulangi masalah-masalah eksistensial
mereka, melainkan agar dapat mengalami secara penuh eksistensi mereka. Para
pendidik eksistensialis akan mengukur hasil pendidikan bukan semata-mata pada
apa yang telah dipelajari dan di-ketahui oleh anak didik, tetapi yang lebih
penting adalah apa yang mampu mereka ketahui dan alami. Oleh karena itu mereka
menolak pendidikan dengan sistem indoktrinasi.
· Rekonstruksionisme, yaitu terutama merupakan reformasi sosial yang menghendaki renaisan
sivilisasi modern. Para penganut aliran ini melihat bahwa pendidikan dan
reformasi sosial itu sesungguhnya sama. Mereka memandang kurikulum sebagai
“preblem-centered”. Pendidikan pun harus menjawab pertanyaan George S. Cound :
“Beranikah sekolah-sekolah membangun suatu orde sosial baru ?”
5. FILSAFAT SEJARAH
Pembahasan filsafat sejarah mengikuti dua alur
yang berbeda, yaitu pertama disebut filsafat sejarah spekulatif, yang
berupaya untuk memandang proses sejarah secara menyeluruh, baru kemudian
mencoba menafsirkannya sedemikian rupa untuk memahami arti dan makna serta
tujuan sejarah. Alur kedua disebut filsafat sejarah kritis, yang tidak
memandang kepada proses sejarah secara menyeluruh, melainkan justru memikirkan
masalah-masalah pokok penyelidikan sejarah itu sendiri, cara dan metode yang
digunakan oleh sejarahwan dan sebagainya.
Dalam filsafat sejarah spekulatif biasanya ada
beberapa pertanyaan yang berupaya dijawab, antara lain : Apakah hakikat, arti
dan makna sejarah itu?. Apakah sebenarnya yang menggerakkan proses sejarah
itu?. Apakah tujuan akhir proses sejarah?. Tokoh filsafat sejarah spekulatif
adalah Giambattista Vico (1668-1744), Johann Gottfried von Herder (1744-1803),
Geong Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831), Karl Marx (1818-1883) dan Arnold
Joseph Toynbee (1889-1975). Dasar yang digunakan mereka untuk menafsirkan
proses sejarah begitu bervariasi. Ada yang menafsirkan atas dasar pertimbangan
empiris, metafisis dan religius. Karl Max mengatakan bahwa sejarah sesungguhnya
mengikuti pola garis lurus tunggal yang terarah pada suatu tujuan yang dapat
diketahui sebelumnya. Menurut Tounbee, sejarah merupakan suatu siklus perubahan
tetap yang senantiasa berulang.
Adapun hal-hal yang dipertanyakan dalam
filsafat sejarah kritis muncul dari renungan atas pemikiran dan penalaran
menurut ilmu sejarah, terutama bersifat epistemologis dan konseptual. Pada
umumnya pembahasan berkisar pada dua pokok soal yang penting, yaitu mengenai
logisitas ekspanasi yang diketengahkan oleh sejarahwan profesional dan status
epistemologis narasi sejarah masa silam. Karena itu, timbullah
pertanyaan-pertanyaan : Bagaimanakah sifat logis eksplanasi peristiwa-peristiwa
yang dikemukakan oleh sejarahwan?. Apakah narasi sejarah memiliki validasi
obyektif?. Tokohnya adalah Wilhelm Dilthey (1833-1911), Benedetto Croce
(1866-1952) dan Robin George Collingwood (1889-1945).
6. FILSAFAT BAHASA
Filsafat bahasa yang berkembang dewasa ini sering
pula disebut sebagai filsafat analitik. Peloprnya adalah George Edward Moore
(1873-1959), seorang filsuf Inggris dari Universitas Cambridge. Filsafat bahasa
yang dikembangkannya merupakan kritikan terhadap neo-idelalism yang katanya
membuat pernyataan-pernyataan filsafat yang tidak dapat dipahami karena tidak
didasarkan pada logika. Menurutnya tugas filsafat bukanlah untuk memberi
eksplanasi atau interpretasi mengenai pengalaman kita, melainkan memberi
penjelasan dan keterangan terhadap konsep atau gagasan lewat analisis yang
berdasar pada akal sehat (common sense). Dia berpendapat bahwa kekacauan
dalam filsafat terjadi karena ungkapan filsafat bersimpang jalan dengan bahasa
biasa yang digunakan sehari-hari. Hal itu justru menunjukkan bahwa akal sehat (common
sense) telah diabaikan.
Filsuf lain yang mengembangkan filsafat
analitik lebih lanjut adalah Bertrand Russell (1872-1970) dan Ludwig
Wittgenstein (1889-1951), keduanya dari Universitas Caambridge. Menurut
Bertrand Russell, bahasa yang benar merupakan deskripsi dari suatu realitas.
Dengan menyelidiki unsur-unsur paling kecil dari bahasa, dia menemukan gambaran
dari fakta-fakta atomis. Dia menyebut bagian-bagian yang paling kecil dari
bahasa sebagai atom-atom logis. Rangkaian atom-atom logis itu membentuk apa
yang disebutnya molekul-molekul logis, yaitu pernyataan-pernyataan sederhana.
Russell berpendapat bahwa filsafat yang benar-benar bercorak ilmiah haruslah
menggunakan bahasa logika, bukan bahasa biasa.
Sementara filsafat Ludwig Wittgenstein terbagi
kepada dua periode yang masiug-masing mempengaruhi aliran filsafat tertentu.
Pemikiran Wittgenstein dalam periode sebelum tahun 1930 (Wittgenstein I), yang
dikenal lewat karya tulisnya berjudul Tractus Logico-philosophicus
mempengaruhi Lingkaran Wina dan Neopositivisme di Inggris. Pikiran Wittgenstein
sesudah tahun 1930 (Wittgenstein II) yang dikenal lewat karyanya berjudul Philosophical
Investigations menjadi titik awal analitika bahasa.
Wittgenstein I menegaskan bahwa hanya
pernyataan-pernyataan deskriptif yang memiliki arti. Bahasa haruslah merupakan
suatu deskripsi atau gambaran yang jelas dari suatu realitas; sebab bila tidak,
ia sama sekali tidak memiliki arti. Sedangkan Wittgenstein II menyatakan bahwa
arti suatu pernyataan tergantung pada jenis bahasa yang digunakan. Ada berbagai
jenis penggunaan bahasa yang semuanya memiliki logika dan kebenaran tersendiri.
Dalam philosophical Investigations, Wittgenstein menjelaskan konsepnya tentang
permainan bahasa (language game). Permainan bahasa adalah suatu proses
pemakaian kata, termasuk pula pemakaian bahasa yang sederhana. Setiap bentuk
permainan bahasa memiliki ketentuan dan aturan sendiri yang tidak boleh
dicampuradaukkan agar tidak menimbulkan kekacauan. Dengan demikian, jelas
terlihat bahwa tidak mungkin ada ketentuan dan perturan umum yang dapat
mengatur seluruh bentuk permainan bahasa. Jelas pula bahwa arti sebuah kata
tergantung pada pemakaiannya dalam kalimat, dan arti kalimat tergantung pada
pemakaiannya dalam bahasa.
7. FILSAFAT MATEMATIKA
Sejak sekitar millenia ke 5 sampai ke 3 SM,
matekatika telah dikenal di Mesir dan Babilonia sebagai suatu alat yang sangat
berguna untuk memecahkan berbagai persoalan dan masalah praktis. Sebagai
contoh, banjir tahunan di lembah Nil memaksa orang-orang Mesir purba
mengembangkan suatu rumusan atau formula yang membantu mereka menetapkan dan
menentukan kembali batas-batas tanah. Rumus-rumus matematika juga digunakan
untuk konstruksi, penyusunan kalender dan perhitungan dalam perniagaan. Akan
tetapi, matematika sebagai ilmu baru dikembangkan oleh para filsuf Yunani
sekitar 5000 tahun kemudian, dengan filsuf besar yang terkenal adalah
Pythagoras dan Plato. Kendati dapat dikatakan bahwa para filsuf Yunani kuno
bukan hanya menguasai matematika, melainkan juga ikut mengembangkan.
Bagi Pythagoras, matematika
adalah alat yang sangat penting untuk memahami filsafat. Dia juga menemukan
fakta yang menunjukkan bahwa fenomena yang berbeda dapat memperlihat-kan
sifat-sifat matematis yang identik. Karena itu dia menyimpulkan bahwa
sifat-sifat tersebut dapat dilambangkan ke dalam bilangan dan dalam
keterhubungan angka-angka. Semboyan Pythagoras yang sangat terkenal adalah Panta Arithmos, artinya segala sesuatu
adalah bilangan. Sedangkan Plato berpendapat bahwa geometri adalah kunci untuk
meraih pengetahuan dan kebenaran filosofis. Menurutnya, ada suatu ‘dunia’ yang
disebutnya ‘dunia ide’ yang dirancang secara matematis. Segala sesuatu yang
dapat dipahami lewat indera hanyalah suatu representasi tidak sempurna dari
‘dunia ide’ tersebut.
Prinsip pertama dan utama
matematika pada saat itu adalah abstraksi karena bagi para filsuf Yunani yang
mengembangkan matematika kebenaran
pada hakikatnya hanya bersangkut paut dengan suatu entitas permanen dan suatu
keterhubungan serta pertalian yang tidak berubah-ubah. Dengan demikian jelas
bahwa sejak semula matematika bukan hanya merupakan alat bagi pemahaman
filsafat, melainkan juga merupakan bagian dari pemikiran filosofis itu sendiri.
Pad masa kini filsafat matematika lebih mengeraskan titik tumpunya pada studi
tentang konsep-konsep matematika, hakikat matematika –termasuk ciri-ciri dan
karakteristiknya-, prinsip-prinsip serta justifikasi yang digunakan di dalam
matematika dan landasan matematika. Adapun suara yang terdengar dari kalangan
para ahli matematika yang mengharapkan agar para filsuf dapat berbuat lebih
banyak dengan menjadikan filsafat matematika sebagai penyusun, penghimpun dan
penerbit ilmu matematika yang dianggap telah berkeping-keping dan kacau balau
selama berabad-abad.
DAFTAR PUSTAKA
· Abidin,
Zainal. 2003. Filsafat Manusia Memahami Manusia Melalui Filsafat.
Cet.3. Bandung: PT. Remaja rosdakarya offset
· Bakhtiar,
Amsal. 1997. Filsafat Agama 1. Jakarta: PT. LOGOS wacana Ilmu
· Muslih,
Mohammad. 2006. Filsafat Ilmu Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar