BAB I
PENDAHULUAN
Pada
dasarnya, penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 tentang sistem
pemerintahan Indonesia dijelaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas
hukum (rechtsstaat) bukan berdasarkan atas kekuasaan
belaka (machtsstaat), dalam hal ini terlihat bahwa kata “hukum”
dijadikan lawan kata “kekuasaan”. Tetapi apabila kekuasaan adalah serba
penekanan, intimidasi, tirani, kekerasan dan pemaksaan maka secara filosofis
dapat saja hukum dimanfaatkan oleh pihak tertentu yang menguntungkan dirinya tetapi
merugikan orang lain.
Hubungannya
dengan hal tersbut di atas, maka sesungguhnya perlu dipahami akan makna dari
filsafat hukum. Filsafat hukum mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang
bersifat dasar dari hukum. Pertanyaan-pertanyaan tentang “hakikat hukum”,
tentang “dasar-dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum”, merupakan
contoh-contoh pertanyaan yang bersifat mendasar itu. Atas dasar yang demikian
itu, filsafat hukum bisa dihadapkan kepada ilmu hukum positif. Sekalipun
sama-sama menggarap bahan hukum, tetapi masing-masing mengambil sudut pemahaman
yang berbeda sama sekali. Ilmu hukum positif hanya berurusan dengan suatu tata
hukum tertentu dan mempertanyakan konsistensi logis asas-asas,
peraturan-peraturan, bidang-bidang serta sistem hukumnya sendiri.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun yang
menjadi rumusan masalah dalam tulisan ini adalah bagaimana hakekat, pengertian
hukum menurut beberapa ahli?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN FILSAFAT HUKUM
Untuk membahas mengenai pengertian daripada filsafat hukum, ada baiknya
kita tahu lebih dahulu sekelumit tentang apa yang dimaksud dengan fisafat itu
sendiri dan apa pula pengertian daripada hukum.
Filsafat adalah merupakan suatu perenungan atau pemikiran secara mendalam
terhadap sesuatu hal yang telah kita lihat dengan indera penglihatan, kita
rasakan dengan indera perasa, kita cium dengan indera penciuman ataupun kita
dengar dengan indera pendengaran samapai pada dasar atau hakikat daripada
sesuatu hal tersebut. Louis O Kattsoff mengatakan di dalam bukunya, bahwa
filsafat bertujuan untuk mengumpulkan penegtahuan manusia sebanyak mungkin,
mengajukan kritik dan menilai pengetahuan ini, menemukan hakikatnya, dan
menerbitkan serta mengatur semuanya itu di dalam bentuk yang sistematis.
Katanya lebih lanjut, filsafat membawa kita pada pemahaman dan pemahaman
membawa kita kepada tindakan yang lebih layak .Filsafat dapat kita jadikan
sebagai pisau analisis dalam menganalisa suatu masalah dan menyususn secara
sistematis suatu sudut pandang ataupun beberapa sudut pandang, yang kemudian
dapat menjadi dasar untuk melakukan suatu tindakan.
Sedangkan hukum sendiri, menurut seorang ahli hokum Indonesia Wirjono
Prodjodikoro,, adalah rangkaian peraturan mengenai tingkah laku orang – orang
sebagai anggota suatu masyarakat, sedangkan satu – satunya tujuan dari hokum
ialah menjamin keselamatan, kebahagiaan, dan tata tertib dalam masyarakat itu.
Kemudian, Notohamidjojo berpendapat, bahwa hokum adalah keseluruhan peraturan
yang tertulis dan tidak tertulis yang biasanya bersifat memaksa untuk kelakuan
manusia dalam masyarakat Negara serta antarnegara, yang berorientasi pada dua
asas yaitu keadilan dan dayaguna, demi tata tertib dan damai dalam masyarakat.
Secara umum hukum dapat dipandang sebagai norma, yaitu norma yang mengandung nilai
– nilai tertentu (Darji Darmodiharjo, shidarta, 2004 : 13).
Selanjutnya filsafat hukum dapat disebut juga sebagai filsafat tingkah laku atau nilai – nilai etika, yang mempelajari hakikat hukum. Filsafat hokum ialah merupakan ilmu yang mengkaji tentang hukum secara mendalam sampa kepada inti atau dasarnya yang disebut dengan hakikat (Darji Darmodiharjo, shidarta, 2004 : 11). Seorang filsuf hukum pasti akan mencari apa inti atau hakikat daripada hukum, ingin mengetahui apa yang ada di belakang hukum, mencari apa yang tersembunyi di dalam hukum, menyelidiki kaidah – kaidah hokum sebagai pertimbangan nilai, memberi penjelasan tentang nilai – nilai, postulat – postulat (dasar –dasar) hokum sampai pada dasar – dasarnya filsafat yang terakhir, dan berusaha mencapai akar dari hokum (Mr.soetiksno, 1986 : 02). Jadi, filsafat hokum adalah suatu perenungan atau pemikiran secara ketat, secara mendalam tentang pertimbangan nilai - nilai di balik gejala – gejala hokum sebagaimana dapat diamati oleh pancaindera manusia mengenai perbuatan – perbuatan manusia dan kebiasaan – kebiasaan masyarakat.
Selanjutnya filsafat hukum dapat disebut juga sebagai filsafat tingkah laku atau nilai – nilai etika, yang mempelajari hakikat hukum. Filsafat hokum ialah merupakan ilmu yang mengkaji tentang hukum secara mendalam sampa kepada inti atau dasarnya yang disebut dengan hakikat (Darji Darmodiharjo, shidarta, 2004 : 11). Seorang filsuf hukum pasti akan mencari apa inti atau hakikat daripada hukum, ingin mengetahui apa yang ada di belakang hukum, mencari apa yang tersembunyi di dalam hukum, menyelidiki kaidah – kaidah hokum sebagai pertimbangan nilai, memberi penjelasan tentang nilai – nilai, postulat – postulat (dasar –dasar) hokum sampai pada dasar – dasarnya filsafat yang terakhir, dan berusaha mencapai akar dari hokum (Mr.soetiksno, 1986 : 02). Jadi, filsafat hokum adalah suatu perenungan atau pemikiran secara ketat, secara mendalam tentang pertimbangan nilai - nilai di balik gejala – gejala hokum sebagaimana dapat diamati oleh pancaindera manusia mengenai perbuatan – perbuatan manusia dan kebiasaan – kebiasaan masyarakat.
Makna Filsafat Hukum Oleh Para Ahli
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto
Misalnya, merumuskan filsafat hukum itu sebagai perenungan dan perumusan
nilai-nilai; kecuali itu, filsafat hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilai,
misalnya penyeresaian antara ketertiban dan ketentraman, antara kebendaan
dengan keakhlakan, dan antara kelanggengan atau konservatisme dengan
pembaharuan.
Satjipto Rahardjo
mengemukakan pendapatnya bahwa filsafat hukum itu mempersoalkan
pertanyaan-pertanyaan yang bersifat dasar dari hukum. Pertanyaan-pertanyaan tentang
hakikat hukum, tentang dasar-dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum, merupakan
contoh-contoh pertanyaan yang mendasar itu.
Gustav Rdbruch
merumuskannya dengan sederhana,
yaitu bahwa filsafat hokum itu adalah cabang filsafat yang mempelajari hukum
yang benar, sedangkan Langemeyer (1948) mengatakannya pembahasan secara
filosofis tentang hukum.
Van Apaldoorn
menguraikan sebagai berikut: “Filsafat hukum menghendaki jawaban atas
pertanyaan: apakah hukum? Ia menghendaki agar kita berpikir masak-masak tentang
tanggapan kita dan bertanya pada diri sendiri, apa yang sebenarnya kita tanggap
tentang “hukum”. Tak dapatkah ilmu pengetahuan hukum menjawabnya? Dapat, hanya,
tak dapat memberikan jawaban yang serba memuaskan karena tak lain daripada
jawaban yang sepihak, karena ilmu pengetahuan hukum hanya melihat gejala-gejala
hukum belaka. Ia tak melihat “hukum”; hanya ia melihat apa yang dapat dilihat dengan
panca indera, bukan melihat dunia hukum yang tak dapat dilihat, yang
tersembunyi didalamnya; ia semata-mata melihat hukum sebagai dan sepanjang ia
menjelma dalam perbuatan-perbuatan manusia, dalam kebiasaan-kebiasaan hukum.
Kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai terletak di luar pandangannya.
E. Utrecht
E. Utrecht
Ia mengetengahkan sebagai berikut: ‘Filsafat hukum member jawaban atas
pertanyaan seperti: Apakah hukum itu sebenarnya? (persoalan:adanya tujuan
hukum) Apakah sebabnya maka kita menaati hukum? (persoalan:berlakunya hukum)
Apakah keadilan menjadi ukuran untuk baik buruknya hukum itu?
(persoalan:keadilan) Inilah pertanyaan yang sebetulnya juga dijawab ilmu hukum.
Akan tetapi, bagi orang banyak jawaban ilmu hukum tidak memuaskan. Ilmu hukum
sebagi suatu empiris hanya melihat hukum sebagai suatu gejala saja, yaitu
menerima hukum sebagai suatu gegebenheit belaka.
Kusumadi Pudjosewojo
yang mengajukan beberapa pertanyaan penting yang harus diselidiki oleh
filsafat hukum. Pertanyaan yang dikemukakan , karena sifatnya yang sangat
mendasar, tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan hukum. Pertanyaan yang
dikemukakan adalah: “Dan seekali mempersoalkan hal-hal dari ilmu hukum,
dekatlah orang kepada pertanyaan seperti: Apakah tujuan dari hukum itu? Apakah
semua syarat keadilan? Apakah keadilan itu? Bagaimanakah hubungannya antara
hukum dan keadilan?. Dengan pertanyaan demikian, orang sudah melewati
batas-batas ilmu pengetahuan hukum sebagaimana arti lazimnya, dan menginjak
lapangan “filsafat hukum” sebagian ilmu pengetahuan filsafat.
L. Bender O.P.
sebagai berikut: “Filsafat hukum adalah suatu ilmu yang merupakan bagian
dari filsafat. Filsafat itu terdiri dari barbagai bagian. Salah satu bagian
utamanya adalah filsafat moral, yang disebut etika. Objek dari bagian utama ini
ialah tingkah laku manusoa, yaitu baik atau buruk menurut kesusilaan. Menurut
keyakinan saya, filsafat hukum adalah bagian dari filsafat moral atau etika
Bambang Sutiyoso, SH. M.Hum
Ada pendapat yang mengatakan
bahwa karena filsafat hukum merupakan bagian khusus dari filsafat pada umumnya,
maka berarti filsafat hukum hanya mempelajari hukum secara khusus. Sehingga,
hal-hal non hukum menjadi tidak relevan dalam pengkajian filsafat hukum.
Penarikan kesimpulan seperti ini sebetulnya tidak begitu tepat. Filsafat hukum
sebagai suatu filsafat yang khusus mempelajari hukum hanyalah suatu pembatasan
akademik dan intelektual saja dalam usaha studi dan bukan menunjukkan hakekat
dari filsafat hukum itu sendiri.
Sebagai filsafat, filsafat hukum
tunduk pada sifat-sifat, cara-cara dan tujuan-tujuan dari filsafat pada
umumnya. Di samping itu, hukum sebagai obyek dari filsafat hukum akan
mempengaruhi filsafat hukum. Dengan demikian secara timbal balik antara
filsafat hukum dan filsafat saling berhubungan.
Secara sederhana dapat dikatakan
bahwa filsafat hukum adalah cabang filsafat, yaitu filsafat tingkah laku atau
etika, yang mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan lain, filsafat hukum
adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Jadi objek filsafat hukum
adalah hukum, dan obyek tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau
dasarnya, yang disebut hakikat.
Pertanyaan tentang apa apa
hakikat hukum itu sekaligus merupakan pertanyaan filsafat hukum juga.
Pertanyaan tersebut mungkin saja dapat dijawab oleh ilmu hukum, tetapi jawaban
yang diberikan ternyata serba tidak memuaskan. Menurut Apeldorn , hal tersebut
tidak lain karena ilmu hukum hanya memberikan jawaban yang sepihak. Ilmu hukum
hanya melihat gejala-gejala hukum sebagaimana dapat diamati oleh pancaindra
manusia mengenai perbuatan-perbuatan manusia dan kebiasaan-kebiasaan
masyarakat. Sementara itu pertimbangan nilai di balik gejala-gejala hukum,
luput dari pengamatan ilmu hukum. Norma atau kaidah hukum, tidak termasuk dunia
kenyataan (sein), tetapi berada pada dunia nilai (sollen), sehingga norma hukum
bukan dunia penyelelidikan ilmu hukum.
Hakikat hukum dapat dijelaskan
dengan cara memberikan suatu definisi tentang hukum. Sampai saat ini menurut
Apeldorn, sebagaimana dikutip dari Immanuel Kant, para ahli hukum masih mencari
tentang apa definisi hukum. Definisi (batasan) tentang hukum yang dikemukakan
para ahli hukum sangat beragam, tergantung dari sudut mana mereka melihatnya.
Ahli hukum Belanda J. van Kan ,
Ahli hukum Belanda J. van Kan ,
mendefinisikan hukum sebagai
keseluruhan ketentuan-ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, yang
melindungi kepentingan-kepentingan orang dalam mayarakat. Pendapat tersebut
mirip dengan definisi dari Rudolf von Ihering, yang menyatakan bahwa hukum
bahwa hukum adalah keseluruhan norma-norma yang memaksa yang berlaku dalam
suatu negara. Hans Kelsen menyatakan hukum terdiri dari norma-norma bagaimana
orang harus berperilaku. Pendapat ini di dukung oleh ahli hukum Indonesia,
Wiryono Prodjodikoro , yang menyatakan hukum adalah rangkaian peraturan mengenai
tingkah lau orang-orangsebgai anggota suatu masyarakat, sedangkan satu-satunya
tujuan dari hukum ialah menjamin keselamatan, kebahagiaan, dan tata tertib
dalam masyarakat itu. Selanjutnya Notohamidjoyo berpendapat bahwa hukum adalah
keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulisyang biasanya bersifat
memaksa untuk kelakuan manusia dalam masyarakat negara serta antar negara, yang
berorientasi pada dua asas, yaitu keadilan dan daya guna, demi tata tertib dan
kedamaian dalam masyarakat.
Definisi-definisi tersebut
menunjukkan betapa luas sesungguhnya hukum itu. Keluasan bidang hukum itu
dilukiskan oleh Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dengan menyebutkan
sembilan arti hukum. Menurut mereka, hukum dapat diartikan sebagai :
(1) ilmu pengetahuan, yakni
pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran;
(2) disiplin, yakni suatu sistem
ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi ;
(3) norma, yakni pedoman atau patokan siakap
tindak atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan;
(4) tata hukum, yakni struktur
dan proses perangkat norma-norma hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat
tertentu serta berbentuk tertulis;
(5) petugas, yakni
pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan
hukum (law enforcement officer) ;
(6) keputusan penguasa, yakni
hasil proses diskresi ;
(7) proses pemerintahan, yaitu
proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan;
(8) sikap tindak ajeg atau perikelakuan
yang teratur, yakni perikelakuan yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang
bertujuan untuk untuk mencapai kedamaian;
(9) jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari
konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk.
Dengan demikian, apabila kita
ingin mendefinisikan hukum secara memuaskan, kita harus dapat merumuskannya
dalam suatu kalimat yang cukup panjang yang meliputi paling tidak sembilan arti
hukum di atas.
Mengingat objek filsafat hukum
adalah hukum, maka masalah atau pertanyaan yang dibahas oleh filsafat hukum
itupun antara lain berkaitan dengan hukum itu sendiri, seperti hubungan hukum
dengan kekuasaan, hubungan hukum kodrat dengan hukum positif, apa sebab orang
menaati hukum, apa tujuan hukum, sampai pada masalah-masalah kontemporer
seperti masalah hak asasi manusia, keadilan dan etika profesi hukum.
Apeldorn ,
menyebutkan tiga pertanyaan penting yang dibahas oleh filsafat hukum, yaitu
:
(1) adakah pengertian hukum yang
berlaku umum ;
(2) apakah dasar kekuatan mengikat dari hukum
;
(3) adakah sesuatau hukum kodrat.
Lili Rasyidi menyebutkan pertanyaan yang menjadi masalah filsafat hukum, antara lain :
(1) hubungan hukum dengan
kekuasaan ;
(2) hubungan hukum dengan
nilai-nilai sosial budaya ;
(3) apa sebabnya negara berhak
menghukum seseorang ;
(4) apa sebab orang menaati hukum
;
(5) masalah pertanggungjawaban ;
(6) masalah hak milik ;
(7) masalah kontrak ;
(8) dan masalah peranan hukum
sebagai sarana pembaharuan masyarakat.
Apabila kita perbandingkan antara
apa yang dikemukakan oleh Apeldorn dan Lili Rasyidi tersebut, tampak bahwa
masalah-masalah yang dianggap penting dalam pembahasan filsafat hukum terus
bertambah dan berkembang, seiring dengan perkembangan zaman. Demikian pula
karena semakin banyaknya para ahli hukum yang menekuni dunian filsafat hukum.
Bambang Sutiyoso, SH. M.Hum
Berfilsafat adalah berfikir.
Hal ini tidak berarti setiap berfikir adalah berfilsafat, karena
berfilsafat itu berfikir dengan ciri-ciri tertentu. Ada beberapa ciri berpikir
secara kefilsafatan, yaitu :
1. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara radikal. Radikal berasal dari kata Yunani, radix yang berarti “akar”. Berfikir secara radikal adalah berfikir sampai ke akar-akarnya. Berfikir sampai ke hakikat, essensi, atau samapai ke substansi yang dipikirkan. manusia yang berfilsafat tidak puas hanya memperoleh pengetahuan lewat indera yang selalu berubah dan tidak tetap. Manusia yang berfilsafat dengan akalnya berusaha untuk dapat menangkap pengetahuan hakiki, yaitu pengetahuan yang mendasari segala pengetahuan inderawi.
2. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara universal (umum). Berfikir
secara universal adalah berfikir tentang hal-hal serta proses-proses yang
bersifat umum. Filsafat bersangkutan dengan pengalaman umum dari ummat manusia
(common experience of mankind). Dengan jalan penjajakan yang radikal, filsafat
berusaha untuk sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang universal. Bagaimana cara
atau jalan yang ditempuh untuk mencapai sasaran pemikirannya dapat
berbeda-beda. Akan tetapi yang dituju adalah keumuman yang diperoleh dari
hal-hal khusus yang ada dalam kenyataan.
3. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara konseptual. Yang dimaksud
dengan konsep di sini adala hasil generalisasi dan abstraksi dari pengalaman
tentang hal-hal sertya proses-proses individual. Berfilsafat tidak berfikir
tentang manusia tertentu atau manusia khusus, tetap[i berfikir tentang manusia
secara umum. Dengan ciri yang konseptual ini, berfikir secara kefilsafatan
melampoi batas pengalaman hidup sehari-hari.
4. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara koheren dan konsisten.
Koheren artinya sesuai dengan kaidah-kaidah berfikir (logis). Konsisten artinya
tidak mengandung kontradiksi. Baik koheren maupun konsisten, keduanya dapat
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, yaitu runtut. Adapun yang dimaksud runtut
adalah bagan konseptual yang disusun tidak terdiri atas pendapat-pendapat yang
saling berkontradiksi di dalamnya.
5. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara sistematik. Sistematik
berasal dari kata sistem yang artinya kebulatan dari sejumlah unsur yang saling
berhubungan menurut tata pengaturan untuk mencapai sesuatu maksud atau
menunaikan sesuatu peranan tertentu. Dalam mengemukakan jawaban terhadap
sesuatu masalah, digunakan pendapat atau argumen yang merupakan uraian
kefilsafatan yang saling berhubungan secara teratur dan terkandung adanya
maksud atau tujuan tertentu.
6. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara komprehensif. Komprehensif
adalah mencakup secara menyeluruh. Berfikir secara kefilsafatan berusaha untuk
menjelaskan fenomena yang ada di alam semesta secara keseluruhan sebagai suatu
sistem.
7. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara bebas. Sampai batas-batas
yang luas, setiap filsafat boleh dikatakan merupakan suatu hasil dari pemikiran
yang bebas. Bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis, kultural, atau religius.
Sikap-sikap bebas demikian ini banyak dilukiskan oleh filsuf-filsuf dari segala
zaman. Socrates memilih minum racun dan menatap maut daripada harus
mengorbankan kebebasannya untuk berpikir menurut keyakinannya. Spinoza karena
khawatir kehilangan kebebasannya untuk berfikir, menolak pengangkatannya
sebagai guru besar filsafat pada Universitas Heidelberg.
8. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan dengan pemikiran yang
bertanggungjawab. Pertangungjawaban yang pertama adalah terhadap hati
nuraninya. Di sini tampak hubungan antara kebebasan berfikir dalam filsafat
dengan etika yang melandasinya.
Sebagaimana berfikir secara kefilsafatan, maka pemikiran filsafat hukum juga memiliki beberapa sifat atau karakteritik khusus yang membedakannya dengan ilmu-ilmu lain. Pertama, filsafat hukum memiliki karakteristik yang bersifat menyeluruh dan universal. Dengan cara berfikir holistik tersebut, maka siapa saja yang mempelajari filsafat hukum diajak untuk berwawasan luas dan terbuka. Mereka diajak untuk menghargai pemikiran, pendapat dan pendirian orang lain. Itulah sebabnya dalam filsafat hukumpun dikenal pula berbagai aliran pemikiran tentang hukum, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan demikian diharapkan para cendekiawan hukum, tidak bersikap arogan dan apriori, bahwa disiplin ilmu yang dimilikinya lebih tinggi dengan disiplin ilmu yang lainnya.
Sebagaimana berfikir secara kefilsafatan, maka pemikiran filsafat hukum juga memiliki beberapa sifat atau karakteritik khusus yang membedakannya dengan ilmu-ilmu lain. Pertama, filsafat hukum memiliki karakteristik yang bersifat menyeluruh dan universal. Dengan cara berfikir holistik tersebut, maka siapa saja yang mempelajari filsafat hukum diajak untuk berwawasan luas dan terbuka. Mereka diajak untuk menghargai pemikiran, pendapat dan pendirian orang lain. Itulah sebabnya dalam filsafat hukumpun dikenal pula berbagai aliran pemikiran tentang hukum, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan demikian diharapkan para cendekiawan hukum, tidak bersikap arogan dan apriori, bahwa disiplin ilmu yang dimilikinya lebih tinggi dengan disiplin ilmu yang lainnya.
Kemudian filsafat hukum dengan sifat universalitasnya, memandang kehidupan
secara menyeluruh, tidak memandang hanya bagian-bagian dari gejala kehidupan
saja atau secara partikular. Dengan demikian filsafat hukum dapat menukik pada
persoalan lain yang relevan atau menerawang pada keseluruhan dalam perjalanan
reflektifnya, tidak sekedar hanya memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.
Dalam filsafat hukum, pertimbangan-pertimbangan di luar obyek adalah salah satu
ciri khasnya. Filsafat hukum tidak bersifat bebas nilai. Justru filsafat hukum
menimba nilai yang berasal dari hidup dan pemikiran.
Ciri yang kedua, filsafat hukum juga memiliki sifat yang mendasar atau memusatkan diri pada pertanyaan-pertanyaan mendasar (basic or fundamental questions). Artinya dalam menganalisis suatu masalah, seseorang diajak untuk berpikir kritis dan radikal. Dengan mempelajari dan memahami filsafat hukum berarti diajak untuk memahami hukum tidak dalam arti hukum positif belaka. Orang yang mempelajari hukum dalam arti positif belaka, tidak akan mampu memanfaatkan dan mengembangkan hukum secara baik. Apabila orang itu menjadi hakim misalnya, dikhawatirkan ia akan menjadi hakim yang bertindak selaku “corong undang-undang” semata.
Ciri berikutnya yang
tidak kalah pentingnya adalah sifat filsafat yang spekulatif. Sifat ini tidak
boleh diartikan secara negatif sebagai sifat gambling. Sebagai dinyatakan oleh
Suriasumantri , bahwa semua ilmu yang berkembang saat ini bermula dari sifat
spekulatif tersebut. Sifat ini mengajak mereka yang mempelajari filsafat hukum
untuk berpikir inovatif, selalu mencari sesuatu yang baru. Memang, salah satu
ciri orang yang berpikir radikal adalah senang kepada hal-hal yang baru. Tentu
saja tindakan spekulatif yang dimaksud di sini adalah tindakan yang terarah,
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan berpikir spekulatif
dalam arti positif itulah hukum dapat dikembangkan ke arah yang dicita-citakan
bersama. Secara spekulatif, filsafat hukum terjadi dengan pengajuan
pertanyaan-pertanyaan mengenai hakekat hukum. Pertanyaan-pertanyaan itu
menimbulkan rasa sangsi dan rasa terpesona atas suatu kebenaran yang dikandung
dalam suatu persoalan. Apabila jawaban-jawabannya diperoleh maka
jawaban-jawaban itu disusun dalam suatu sistem pemikiran yang universal dan
radikal.
Kemudian ciri yang lain
lagi adalah sifat filsafat yang reflektif kritis. Melalui sifat ini, filsafat
hukum berguna untuk membimbing kita menganalisis masalah-masalah hukum secara
rasional dan kemudian mempertanyakan jawaban itu secara terus menerus. Jawaban
tersebut seharusnya tidak sekedar diangkat dari gejala-gejala yang tampak,
tetapi sudah sampai kepada nilai-nilai yang ada dibalik gejala-gejala itu.
Analisis nilai inilah yang membantu kita untuk menentukan sikap secara
bijaksana dalam menghadapi suatu masalah kongkret. Secara kritis, filsafat
hukum berusaha untuk memeriksa gagasan-gagasan tentang hukum yang sudah ada,
melihat koherensi, korespodensi dan fungsinya. Filsafat hukum berusaha untuk
memeriksa nilai dari pernyataan-pernyataan yang dapat dikategorikan sebagai
hukum.
Filsafat itu juga bersifat introspektif atau mempergunakan daya upaya introspektif.
Artinya, filsafat tidak hanya menjangkau kedalaman dan keluasan dari
permasalahan yang dihadapi tetapi juga mempertanyakan peranan dari dirinya dan
dari permasalahan tersebut. Filsafat mempertanyakan tentang struktur yang ada
dalam dirinya dan permasalahan yang dihadapinya. Sifat introspektif dari
filsafat sesuai dengan sifat manusia yang memiliki hakekat dapat mengambil
jarak (distansi) tidak hanya pada hal-hal yang berada di luarnya tetapi juga
pada dirinya sendiri.
Sebagai bahan perbandingan, Radhakrisnan dalam bukunya The History of
Philosophy, mengemukakan pula tentang arti penting mempelajari filsafat,
termasuk dalam hal ini mempelajari filsafat hukum, bukanlah sekedar
mencerminkan semangat masa ketika kita hidup, melainkan membimbing kita untuk
maju. Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan,
menentukan arah, dan menuntun pada jalan baru. Filsafat hendaknya mengilhamkan
keyakinan kepada kita untuk menopang dunia baru, mencetak manusia-manusia yang
tergolong ke dalam berbagai bangsa, ras dan agama itu mengabdi kepada cita-cita
mulia kemanusiaan. Filsafat tidak ada artinya sama sekali apabila tidak
universal, baik dalam ruang lingkupnya maupun dalam semangatnya.
Adanya karakteristik khusus dari pemikiran filsafat hukum di atas sekaligus
juga menunjukkan arti pentingnya. Dengan mengetahui dan memahami filsafat hukum
dengan berbagai sifat dan karakternya tersebut, maka sebenarnya filsafat hukum
dapat dijadikan salah satu alternatif untuk ikut membantu memberikan jalan keluar
atau pemecahan terhadap berbagai krisis permasalahan yang menimpa bangsa
Indonesia dalam proses reformasi ini. Tentu saja kontribusi yang dapat
diberikan oleh filsafat hukum dalam bentuk konsepsi dan persepsi terhadap
pendekatan yang hendak dipakai dalam penyelesaian masalah-masalah yang terjadi.
Pendekatan mana didasarkan pada sifat-sifat dan karakter yang melekat pada
filsafat hukum itu sendiri.
Dengan pendekatan dan analisis filsafat hukum, maka para para pejabat,
tokoh masyarakat, pemuka agama dan kalangan cendekiawan atau siapapun juga
dapat bersikap lebih arif dan bijaksana serta mempunyai ruang lingkup pandangan
yang lebih luas dan tidak terkotak-kotak yang memungkinkan dapat menemukan akar
masalahnya. Tahap selanjutnya diharapkan dapat memberikan solusi yang tepat.
Karena penyelesaian krisis yang terjadi di negara kita itu tidak mungkin dapat
dilakukan sepotong-potong atau hanya melalui satu bidang tertentu saja, tapi
harus meninjau melalui beberapa pendekatan lain sekaligus (interdisipliner.atau
multidisipliner).
Tidak ada lagi pihak-pihak yang merasa dirinya paling benar atau paling
jago dengan pendapatnya sendiri dan menafikan pendapat yang lain. Atau dengan
kata lain hanya ingin menangnya sendiri tanpa mau menghargai pendapat orang
lain. Karena masing-masing bidang atau cara pandang tertentu, mempunyai
kelebihan dan keterbatasannya masing-masing. Justru pandangan-pandangan yang
berbeda kalau dapat dikelola dengan baik, dapat dijadikan alternatif
penyelesaian masalah yang saling menopang satu sama lain.
Apalagi krisis permasalahan yang melanda bangsa Indonesia sesungguhnya amat
kompleks dan multidimensional sifatnya, mulai krisis ekonomi, politik, hukum,
pemerintahan serta krisis moral dan budaya, yang satu sama lain berkaitan
sehingga diperlukan cara penyelesaian yang terpadu dan menyeluruh yang
melibatkan berbagai komponen bangsa yang ada. Dalam konteks ini diperlukan
adanya kerjasama dan sinergi yang erat dari berbagai komponen tersebut. Maka
pejabat pemerintah harus mendengar aspirasi dari rakyat, para pakar mau
mendengar pendapat pakar lainnya, tokoh masyarakat harus saling menghormati
terhadap dengan tokoh masyarakat yang lain. Semua bekerja bahu membahu dan
menghindarkan diri dari rasa curiga, kebencian dan permusuhan. Dengan
pendekatan dan kerangka berfikir filsafati seperti di atas, diharapkan dapat
membantu ke arah penyelesaian krisis yang sedang menerpa bangsa Indonesia saat
ini.
Para pakar telah mengklasifikasikan aliran-aliran filsafat hukum adalahsebagai berikut:
a.Soerjono Soekanto
membagi aliran filsafat hukum, adalah sebagai berikut: Mazhabformalitas,
Mazhab sejaran dan kebudayaan, Aliran utilitarianisme, Aliran
sociologicalyurisprudence dan Aliran realism hukum.
b.Satjipto Rahardjo,
mengemukakan berbagai aliran filsafat hukum adalah sebagai berikut;Teori
Yunani dan Romawi, Hukum alam, Positivisme dan utilitarianisme, Teori
hukummurni, Pendekatan sejarah dan antropologis, dan Pendekatan sosiologis.
c.Lili Rasdji,
mengemukakan aliran-aliran yang
paling berpengarus saja adalah sebagaiberikut; Aliran hukum alam, Aliran hukum
positif, Mazhab sejarah, Sociologicaljurisprudence, Pragmatic legal realism.
Adapun berbagai teori tentang hukum adalah sebagai berikut:
1.Aliran Hukum Alam
Aliran hukum alam adalah hukum yang berlaku universal dan abadi yang
bersumber dari Tuhan,
filsafat keadilan sebagaimana dikembangkan oleh teori plato/ aristoteles dan
Thomas Aquino.
a.Plato
a.Plato
mengutarakan pandangan tentang harmoni suasana yang alami tentram
b.Aristoteles
b.Aristoteles
mengutarakan (membagi dua adalah hukum alam dan hukum positif)
teoridualisme, sebagai kontribusi (manusia bagian dari alam, manusia adalah
majikan dari alam)
c.Thomas Aquino :
Summa Theologica´ dan ³De Regimene Principum´. Membagi asas
hukum alam menjadi dua adalah sebagai berikut:
i.Principia Prima adalah merupakan asas yang dimiliki oleh manusia semenjak
lahir
dan bersifat mutlak.
dan bersifat mutlak.
ii.Principia Secundaria adalah merupakan asas yang tidak mutlak dan dapat
berubah
menurut tempat dan waktu
menurut tempat dan waktu
d.Immanuel Kant
mengutarakan pandangan tentang hukum kodrat metafisis yaitu tentangkodrat
dan kebebasan. Kodrat adalah merupakan lapangan dari akal budi, yang tersusunatas
kategori kategori pikiran, yang terdiri atas empat komponen dasar, yaitu
kualitet,kuantitet, relasi dan modalitet, tetapi dibatasi ruang dan waktu.
Kebebasan adalahlapangan dari dan bagi akal budi praktis, wilayah moralitas,
yaitu kebebasan normativeetis dari manusia, yang menampilkan ideal kepribadian
manusia.
Hukum Alam Irasional
Filsafat Thomas Aquinas mengakui bahwa disamping kebenaran wahyu juga
terdapat kebenaran akal. Adanya pengetahuan yang tidak ditembus aleh akal dan
untuk itulah diperlukan iman.Dengan demikian, menurut Aquinas, ada dua
pengetahuan yang berjalan bersama-sama, yaitupengetahuan alamiah dan
pengetahuan iman.
Mengenai pembagian hukum,Friedmann menggambarkan pemikiran Aquinas
denganmenyatakan ada empat macam hukum yang diberikan Aquinas, yaitu lex
aeterna (hukum rasioTuhan yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera manusia),
lex divina (hukum rasio Tuhanyang bisa ditangkap oleh pancaindera manusia), lex
naturalis (hukum alam, yaitu penjelmaan lexaeterna ke dalam rasio manusia) dan
lex positivis (penerapan lex naturalis dalam kehidupanmanusia di dunia).
Hukum alam merupakan sebagai metode tertua yang dapat dikenali sejak zaman
sampai abadpertengahan (abad 7 dan ke-18). Hukum alam adalam merupakan sebagai
substansi (isi) yaituberisikan norma-norma, peraturan-peraturan dapat
diciptakan dari asas-asas hak sasasi manusia.Hukum alam menganggap pentingnya
hubungan antara hukum dan moral.
2. Aliran Hukum Positifisme
Aliran Positifisme menganggap bahwa keduanya hukum dan moral dua hal yang
harus
dipisahkan. Dan aliran ini dikenal sadnya dua subaliran yang terkenal yaitu;
a.Aliran hukum positif yang analitis, pendasarnya adalah John Austin.
Ada empat unsure penting menurut Austin dinamakan sebagai hukum;
dipisahkan. Dan aliran ini dikenal sadnya dua subaliran yang terkenal yaitu;
a.Aliran hukum positif yang analitis, pendasarnya adalah John Austin.
Ada empat unsure penting menurut Austin dinamakan sebagai hukum;
-Ajarannya tidak berkaitan dengan penelitian baik-buruk, sebab penelitian ini berada
di luar bidang hukum.
-Kaidah moral secara yuridis tidak penting bagi hukum walaupun diakui ad
pengaruhnya pada masyarakat.
pengaruhnya pada masyarakat.
-Pandangannya bertentangan baik dengan ajaran hukum alam maupun dengan mazhab
sejarah.
sejarah.
-Masalah kedaulatan tak perlu dipersoalkan, sebab dalam ruang lingkup hubungan
politik sosiologi yang dianggap suatu yang hendak ada dalam kenyataan.
Akan tetapi aliran hukum positif pada umumnya kurang atau tidak memberikan tempat bagihukum yang hidup dalam masyarakat. Austin mengemukakan cirri-ciri positivism, adalah sebagiberikut;y
-Hukum adalah perintah manusia (command of human being).
-Tidak ada hubungan mutlak antar hukum moral dan yang lainnya.
-Analitis konsepsi hukum dinilai dari studi historis dan sosiologis.
-System hukum adalah merupakan system yang logis, tetap, dan bersifat
tertutup dan
di dalamnya terhadap putusan-putusan yang tetap.
di dalamnya terhadap putusan-putusan yang tetap.
b.Aliran hukum positif murni, dipelopori oleh Hans Kelsen. Latar belakan
ajaran
hukum murni merupakan suatu pemberontakan terhadap ilmu idiologis, yaitu
mengembangkan hukum sebagai alat pemerintah dalam negara totaliter. Dan
dikatakan murni karena hukum harus bersih dari anasir-anasir yang tidak yuridis
yaitu anasir etis, sosiologis,politis, dan sejarah. Maka menurut Hans Kelsen
hukum itu berada dalam dunia sollen´dan bukan dalam dunia ³sain´. Sifatnya
adalah hipotetis, lahir karena kemauan dan akalmanusia.
Ajaran Hans Kelsen mengemukakan Stufenbau des Recht (hukum itu tidak boleh
bertentangandengan ketentuan yang lebih atas derajatnya). Dan John Austin
mengemukakan ada dua bentukhukum, adalah sebagai berikut; Positif law dan
Positif morality.
3. Aliran Mazhab Sejarah
3. Aliran Mazhab Sejarah
Aliran Mazhab sejarah dipeloporiFriedrich Carl von Savigny (Volk geist)
hukum kebiasaansumber hukum formal. Hukum tidak dibuat melainkan tumbuh dan
berkembang bersama samadengan masyarakat. Pandangannya bertitik tolak bahwa di
dunia ini terdapat banyak bangsa dantiap-tiap bangsa memiliki ³volksgeist´ jiwa
rakyat. Dia berpendapat hukum semua hukumberasal dari adat-istiadat dan
kepercayaan dan bukan berasal dari pembentukan undang undang.
4. Aliran Sociological Yurisprudence
Sociological Yurisprudence (living law) dipelopori Eugen Ehrlich (german)
tapi berkembang diAmerika Serikat (Roscoe) konsep hukum, hukum yang dibuat agar
memperhatikan hukum yanghidup dalam masyarakat baik tertulis maupun tidak
tertulis. Mengakui sumber hukum formalbaik undang undang maupun bukan undang
undang asal. Dipengaruhi oleh aliran positifsosiologis dan August Comte yang
orientasinya sosiologis.
Inti pemikiran Roscoe Pound hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan
hukum yanghidup di dalam masyarakat. Berpegang kepada pendapat pentingnya, baik
akal maupunpengalaman.
5. Aliran Pragmatic Legal Realism
5. Aliran Pragmatic Legal Realism
Aliran Pragmatic Legal Realism dipelopori oleh Roscoe Pound konsep hukumnya
( Law as a
tool of social engineering ) sub aliran positivisme hukum Wiliam James dan Dewey
mempengaruhi lahirnya aliran ini. Titik tolaknya pada pentingnya rasio atau akal sebagai sumberhukum. Menurut Liewellyn, aliran realism adalah merupakan bukan aliran dalam filsafat hukum,tetapi merupakan suatu gerakan ³movement´ dalam cara berfikir tentang hukum.
6. Aliran Antropolitica Yurisprudence
tool of social engineering ) sub aliran positivisme hukum Wiliam James dan Dewey
mempengaruhi lahirnya aliran ini. Titik tolaknya pada pentingnya rasio atau akal sebagai sumberhukum. Menurut Liewellyn, aliran realism adalah merupakan bukan aliran dalam filsafat hukum,tetapi merupakan suatu gerakan ³movement´ dalam cara berfikir tentang hukum.
6. Aliran Antropolitica Yurisprudence
-Northrop dan Mac Dougall. Northrop mengutarakan pendapatnya bahwa hukum
mencerminkan nilai sosial budaya.
mencerminkan nilai sosial budaya.
-Mac dougall dan Values system mengutarakan pendapatnya bahwa hukum
mengandung
sistem nilai. Mempengaruhi pendapat Mochtar Kusumaatmadja
sistem nilai. Mempengaruhi pendapat Mochtar Kusumaatmadja
7. Aliran Utilitarianisme
Aliran Utilitarianisme dikemukakan tokoh aliran ini dalah Jeremy Bentham
dan mengutarakanpendapatnya memegang prinsip manusia akan melakukan tindakan
untuk mendapatkankebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan
(hukum itu harus bermanfaatbagi masyarakat, guna mencapai hidup bahagia).
Merupakan aliran yang meletakkan dasar dasarekonomi bagi pemikiran hukum,
prinsip utamanya adalah tujuan dan evaluasi hukum.Bentham dan Jhon Stuart Mill
memiliki pendapat yang sejalan yaitu pembentukan undang-undang hendaknya dapat
melahirkan undang-undang yang dapat mencerminkan keadilan bagisemua individu.
DAFTAR PUSTAKA
Huijbers, Theo, Filsafat
Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993.
Kencana, Syafiie Inu, Pegantar Filsafat. Penerbit PT Refika
Aditama, Bandung, 2004.
Muchsin, Ikhtisar Filsafat Hukum, cetakan kedua , Badan
Penerbit Iblam Jakarta, 2006
Pound, Roscoe, Pengantar Filsafat Hukum, (Terj.) Muhammad
radjab, Penerbit Bhratara, Jakarta, 1996.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar